Agenda pembangunan pendidikan suatu bangsa
tidak akan pernah berhenti dan selesai. Ibarat patah tumbuh hilang berganti,
selesai memecahkan suatu masalah, muncul masalah lain yang kadang tidak kalah rumitnya.
Begitu pula hasil dari sebuah strategi pemecahan masalah pendidikan yang ada,
tidak jarang justru mengundang masalah baru yang jauh lebih rumit dari masalah
awal. Itulah sebabnya pembangunan bidang pendidikan tidak akan pernah ada
batasnya. Selama manusia ada, persoalan pendidikan tidak akan pernah hilang
dari wacana suatu bangsa. Oleh karena itu, agenda pembangunan sektor pendidikan
selalu ada dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat suatu
bangsa.
Bangsa Indonesia tidak pernah berhenti
membangun sektor pendidikan dengan maksud agar kualitas sumber daya manusia
yang dimiliki mampu bersaing secara global. Jika demikian halnya, persoalan
unggulan kompetitif bagi lulusan suatu institusi pendidikan sangat perlu untuk
dikaji dan diperjuangkan ketercapaiannya dalam proses belajar mengajar oleh
semua lembaga pendidikan di negeri ini agar lembaga pendidikan yang
bersangkutan mampu menegakkan akuntabilitas kepada lingkungannya.
Untuk dapat melakukan hal-hal yang
demikian, lembaga pendidikan perlu melakukan berbagai upaya ke arah peningkatan
kualitas secara berkesinambungan. Tanpa ada peningkatan kualitas secara
berkesinambungan, pembangunan pendidikan akan terjebak pada upaya sesaat dan
hanya bersifat tambal sulam yang reaktif. Upaya yang demikian itu tidak akan
mampu memecahkan persoalan pendidikan yang sedang dan akan kita hadapi pada era
milenium III ini. Sebaliknya, agar sektor pendidikan mampu mendorong semua
proses pemberdayaan bangsa, ia harus direncanakan dan diprogramkan secara sistematis
dan proaktif. Untuk dapat melakukan hal ini, kita perlu melakukan upaya-upaya
yang bersifat reflektif dan reformatif.
Upaya yang bersifat reflektif perlu
dilakukan agar kita tidak mengulang hal-hal yang keliru di masa lampau. Bukan
itu saja, dengan upaya yang bersifat reflektif, akhirnya kita akan mampu
memberi makna suatu program dan proses pendidikan secara lebih kontekstual.
Dengan cara seperti itu, pada akhirnya institusi pendidikan dapat membumikan
programnya untuk memberdayakan peserta didik. Bukan sebaliknya, peserta didik
yang justru harus dikendalikan agar cocok dan sesuai dengan program serta
proses yang telah ada di suatu institusi pendidikan. Kalau hal seperti itu
sampai terjadi, pada akhirnya pendidikan akan terjebak pada kegiatan-kegiatan
yang bersifat drilling. Kegiatan belajar yang demikian tidak akan mampu
menolong peserta didik untuk mencari jati dirinya secara lebih mandiri.
Akhirnya, peserta didik tidak akan mampu
mengembangkan kemampuan imajinatif yang bermanfaat untuk menumbuhkan
kreativitas yang inovatif. Upaya yang bersifat reformatif dalam proses
pendidikan juga sangat diperlukan agar pendidikan kita tidak berjalan di
tempat. Tujuan utama melakukan upaya yang bersifat reformatif dalam sektor
pendidikan ialah untuk melakukan rekonstruksi sosial ke arah bentuk masyarakat
madani ideal seperti yang dicita-citakan. Dengan upaya yang reformatif, semua
praksis pendidikan yang bertentangan dengan proses demokratisasi kehidupan yang
sehat, adil, dan berharkat, perlu disingkirkan. Dengan paradigma yang demikian
itu, rekonstruksi sosial akan mampu membangun masyarakat menjadi masyarakat
madani yang penuh dengan praktik-praktik kehidupan atas dasar kasih sayang
antara sesama warga masyarakat secara egaliter.
Makalah ini disusun untuk tujuan ikut
serta memberikan bahan dan informasi kepada semua pihak yang memiliki komitmen
terhadap pendidikan. Sudah tentu informasi yang tercakup dalam makalah ini
bukanlah segala-galanya, komprehensif, serta mampu mewakili semua praksis
kebijakan, dan pengembangan sektor pendidikan. Dengan demikian, aspek-aspek
penting dalam pendidikan yang akan mendapat sorotan dalam tulisan ini ialah
kurikulum, siswa, guru, proses pembelajaran, dan partisipasi masyarakat.
A. Kurikulum Dalam Bidang Pendidikan
Kurikulum merupakan unsur penting dalam
setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit
rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang
diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu
dipahami dengan baik oleh semua pelaksana kurikulum.Pada kenyataannya,
sementara pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata
yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus
ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika
demikian adanya, maka dinamika PBM serta kreativitas guru dan murid akan
terhenti. Guru dan murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dicanangkan
pada buku kurikulum itu saja tanpa memperhatikan aspek lain yang telah
berkembang begitu cepat di masyarakat.
Di lain pihak memang ada yang memandang
kurikulum dalam arti luas, yaitu kurikulum yang menyangkut semua kegiatan yang
dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun
informal guna mencapai tujuan pendidikan.Beane (1986) membagi kurikulum dalam
empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program,
(3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai
pengalaman belajar bagi siswa. Hal ini seiring dengan pendapat Said Hamid Hasan
(1988) yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi
kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (b) kurikulum
sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan
(d) kurikulum sebagai hasil belajar.
Kurikulum sekolah kita dalam arti produk
masih mengandung banyak kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA
serta SMK memiliki kurikulum yang amat sarat dengan mata pelajaran. Dampak
nyata yang terlihat ialah daya serap peserta didik tidak optimal dan mereka
cenderung belajar tentang banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan
amat membengkak dan sangat gemuk di samping kurikulum tersebut dalam arti
program terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya proses belajar.
Kemudian kurikulum itu direvisi lagi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon
telah mementingkan proses belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga
tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa Kurikulum 1984 itu ramping, tetapi
“montok”. Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta
didik.Persoalan lain yang dianggap cukup urgen dalam kurikulum ialah tumpang
tindih baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Secara vertical materi di kelas satu
muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama.
Sedangkan secara horizontal muncul berbagai pokok bahasan yang sama pada
beberapa mata pelajaran yang berbeda. Kesemuanya itu tentu tidak akan
menguntungkan bila dilihat dari proses belajar mengajar, peserta didik akan
merasa jemu untuk mengikutinya.Masalah berikutnya yang berkaitan dengan aspek
kurikulum dalam arti proses belajar dan pengalaman belajar memiliki kaitan yang
erat dengan perilaku guru di depan kelas dalam konteks belajar mengajar.
Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses
membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint
yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut akan tidak
bermakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi
gedung itu akan didirikan. Analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi
dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas.
B. Wajib Belajar Sembilan Tahun
Siswa wajib belajar sembilan tahun telah
menjadi agenda nasional yang amat penting, hal ini memang memiliki alasan dan
legitimasi yang amat strategik. Suyanto (2000) menyatakan bahwa “angkatan kerja
kita saat ini sebagian besar, kurang lebih 76 %, hanya memiliki pendidikan
tidak lebih dari sekolah dasar.” Kondisi seperti ini cukup mencemaskan jika
harus bersaing secara global dalam berbagai aspek kehidupan. Kita tidak dapat
lagi menjadikan jumlah penduduk yang besar dengan upah yang murah sebagai salah
satu daya tarik investor asing untuk ikut menanamkan modal di Indonesia. Justru
kualitas penduduk yang perlu dijadikan sebagai daya tarik bagi para investor
asing untuk memasuki Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena pada abad ke-21,
ciri penting pola hubungan antarnegara dan bangsa ialah adanya interdependensi
satu sama lain. Jika kita tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi maka kita akan banyak mengalami kerugian dalam pola hubungan
antarbangsa seperti itu.
Permasalahan yang ada bahwa wajib belajar
sembilan tahun hanya enak diucapkan, didengar, disemboyankan, apalagi
dinyanyikan. Sebagian besar bangsa ini tentu mengetahui makna wajib belajar
sembilan tahun, Akan tetapi, belum tentu semua warga Negara di republik
tercinta ini sadar akan arti penting wajib belajar bagi kehidupan global bangsa
di abad ke-21. Oleh karena itu, wajib belajar sembilan tahun perlu
diimplementasikan dengan berbagai strategi yang terpadu dan tersistematis
secara rapi. Pendekatan melalui jalur pendidikan sekolah saja belum tentu
menjamin keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Mengapa demikian ? Karena
wajib belajar tidak semata-mata berurusan dengan pembebasan SPP untuk para
pelajar sampai dengan tingkat SMP. Namun jauh lebih rumit sebab berurusan
dengan faktor-faktor lainnya seperti arti ekonomi anak bagi orang tua terhadap
pendidikan, aspirasi pendidikan masyarakat, budaya masyarakat, dan
sebagainya.Masalah berikutnya adalah masalah yang merupakan dampak negative
dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap anak-anak pada era globalisasi
ini. Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat
globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu
anak-anak tidak sedikit yang menderita. Oleh karena itu, persoalan yang
dihadapi oleh anak-anak Indonesia menjadi semakin beragam.
Anak-nak Indonesia akan mengalami krisis
idola nasional sebagai akibat begitu meledaknya teknologi komunikasi lewat TV
yang bersifat global. Lebih parahnya lagi lahan tempat bermain anak-anak menjadi
semakin sempit, bahkan di kota-kota besar anak-anak memang telah mengalami
kesulitan untuk mencari tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain.
Masalah lainnya yang berkaitan dengan siswa adalah masalah siswa yang memiliki
kemampuan luarbiasa. Dalam UUSPN anak-anak yang memiliki bakat istimewa, yaitu
mereka yang super pintar memang memperoleh jaminan untuk bisa diperlakukan atau
dididik secara khusus. Pasal 8 ayat (2) dari UUSPN menyatakan bahwa “Warga
Negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh
perhatian khusus.” Namun demikian, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal (2) tersebut masih harus ditetapkan dengan keputusan menteri.
Inilah yang perlu segera diperhatikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, agar
sistem pendidikan kita segera bisa memberikan perlakuan khusus terhadap
anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa.
C. Kualitas Guru
Guru berkaitan dengan kualitas guru ini,
Raka Joni (1980) mengemukakan adanya tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi
tenaga kependidikan, antara lain :
- Kompetensi personal atau pribadi, maksudnya seorang guru harus memeiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
- Kompetensi professional, maksudnya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
- Kompetensi kemasyarakatan, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan isswa, sesame guru, maupun masyarakat luas.
Salah satu upaya pemerintah untuk
meningkatkan kompetensi guru yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya
program penataran. Penataran yang selama ini dilakukan dalam berbagai bentuk
dan materi memang memiliki legitimasi akademik yang tinggi di bawah paradigma in-service-training,
namun demikian, sebenarnya penataran itu saja masih belum mampu melakukan
intervensi secara makro terhadap perbaikan praksis pendidikan.
Indikator yang paling mudah diketahui
ialah masih rendahnya nilai ujian nasional. Fenomena itu menggambarkan bahwa
hasil penataran tidak bias diadopsi oleh guru kita pada proses pembelajaran di
kelas. Memang banyak guru yang pada waktu ditatar menunjukkan prestasi yang
baik dan menakjubkan, tetapi setelah pulang ke sekolah mereka kembali pada
praktik lama, yaitu tidak mau menerapkan hasil penataran pada proses pembelajaran
di kelas masing-masing. Keengganan menerapkan hasil penataran merupakan gejala
umum bagi guru di mana saja dan di jenjang pendidikan mana pun. Hal ini terjadi
karena materi penataran sebenarnya tidak selalu sesuai dengan apa yang
diharapkan para guru.
D. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang ideal adalah
proses pembelajaran yang dikemas dengan memperhatikan adanya berbagai aspek
baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor. Apabila proses pendidikan dapat
dilaksanakan dengan memperhatikan adanya kesimbangan ketiga aspek tersebut maka
output pendidikan akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan masyarakat.
Sebaliknya, apabila proses pembelajaran mengabaikan aspek-aspek tersebut dan
hanya menitikberatkan pada aspek kognitif saja, jadinya akan lain. Jangan
diharap output pendidikan mampu menterjemahkan serta merta mengantisipasi
kemajuan dan perkembangan masyarakat yang telah berjalan demikian cepat. Oleh
sebab itu, pendidikan kita harus mampu mengemas proses pendidikan dengan baik.
Dengan kata lain, proses belajar mengajar
kita harus memperhatikan aspek kreativitas. Pengembangan kreativitas para
peserta didik yang dimulai sejak awal akan mampu membentuk kebiasaan cara
berpikir peserta didik yang sangat bermanfaat bagi peserta didik itu sendiri di
kemudian hari.Kenyataan yang ada saat ini, hampir semua sistem sekolah yang ada
di negeri ini kurang menyentuh dan mengembangkan aspek kreativitas. Ini terjadi
akibat tuntutan kurikulum 1975 yang sangat berorientasi pada hasil belajar.
Kurikulum tersebut akhirnya diperbaiki, kemudian muncul kurikulum 1984 yang
sedikit bergeser orientasinya kearah proses. Namun, praksis pendidikan
telanjurt memihak pada orientasi produk. Oleh karena itu, pergeseran orientasi
itu tidak semudah yang dibayangkan para pengambil kebijakan dalam sistem
persekolahan kita.
Kurikulum 1994 secara filosofis sangat
menaruh perhatian terhadap proses pembelajaran yang dinamis sehingga sistem
target dan produk harus diterjemahkan secara kreatif dan kontekstual. Namun,
pada kenyataannya sebagian besar guru telah merasa mapan dengan semangat kerja
model kurikulum 1984, guru telanjur mekanistis dalam proses pembelajaran di
sekolah, akhirnya persoalan kreativitas masih saja terabaikan tidak tersentuh.
Hal ini terjadi karena terlalu saratnya muatan yang diemban oleh kurikulum
1994. Dengan demikian hal pokok yang dikembangkan tetap aspek kognitif,
sementara afektif dan psikomotor tetap terabaikan.
E. Partisipasi Masyarakat
UUSPN pasal 54 ayat 2 menyatakan bahwa
peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. Peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis
masyarakat sehingga pendidikan tetap memiliki keterkaitan dengan kondisi dan
tuntutan masyarakat. Sementara untuk mewadahi peran serta masyarakat
dibentuklah satu institusi yang bersifat independen dengan dewan pendidikan di
tingkat kabupaten/kota, sementara untuk tingkat persekolahan dikenal dengan
istilah komite sekolah.
Peran serta masyarakat yang berbentuk
yayasan nirlaba telah bias dilihat dengan nyata dalam ikut serta
menyelenggarakan pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, maupun pendidikan
tinggi. Suyanto (2000) menyatakan saat ini paling tidak yayasan-yayasan
pendidikan yang ada dalam masyarakat telah mampu mendirikan sekolah dasar
swasta sebanyak 10.120, SLTP, SMA, dan SMK sebanyak 57.554. Namun angka-angka
tersebut tidak serta merta memberikan hal yang membahagiakan kita sebab masih
terdapat kecenderungan bahwa penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah-sekolah
swasta tersebut masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan.
Dengan demikian, untuk melibatkan peran
serta masyarakat pengusaha harus diawali dari proses sosialisasi yang positif.
Pemerintah perlu meyakinkan bahwa dengan ikut serta dalam pengembangan sistem
pendidikan nasional, para pengusaha juga akan memetik keuntungan berupa sumber
daya manusia yang berkualitas bagi perusahaan mereka.
ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Nasional
Kelahiran Undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu
wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respons terhadap
berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun
lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: “Bahwa sistem pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan.” Moch. Surya (2004) menyatakan bahwa
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang
menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional. Paradigma tersebut, antara
lain :
1. Penyelenggaraan pendidikan nasional
dilandasi dengan prinsip-prinsip berikut ini :
a) Secara demokratis dengan menjunjung tinggi
nilai kemanusiaan, keagamaan, dan budaya bangsa.
b) Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
sistem terbuka dan multi makna.
c) Sebagai proses pembudayaan dan
pemberdayaan yang berlangsung sepanjang hayat.
d) Sebagai proses keteladanan membangun
kemauan dan kreativitas dalam proses pembelajaran.
e) Mengembangkan budaya belajar (baca, tulis,
dan hitung) bagi segenap warga masyarakat.
f) Memberdayakan masyarakat melalui
partisipasi dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
2. Demokratisasi dan desentralisasi sebagai
semangat yang melandasi penyelenggaraan pendidikan nasional dengan lebih
menekankan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah dalam keseluruhan
aktivitas penyelenggaraan pendidikan.
3. Peran serta masyarakat sebagai konsekuensi
demokratisasi pendidikan nasional maka masyarakat memperoleh kesempatan yang
seluas-luasnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
4. Tantangan global, hal ini berimplikasi
bahwa pendidikan nasional harus beradaptasi dengan perkembangan global yang
menuntut sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam menghadapi persaingan
global di segala bidang.
5. Kesetaraan dan keseimbangan, bahwa Undang-undang
Sisdiknas yang baru mengandung paradigma dengan menerapkan konsep kesetaraan
dalam penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah memeiliki
kesetaraan dengan satuan pendidikan yang dislenggarakan oleh masyarakat
(swasta). Sedangkan yang dimaksud keseimbangan ialah keseimbangan yang utuh
antara unsur-unsur kepribadian yang meliputi aspek intelektual, spiritual,
emosional, fisik, sosial, moral, dan kultural.
PENUTUP
Uraian di atas telah menunjukkan beberapa
butir analisis kritis terhadap sistem pendidikan terutama pada aspek kurikulum,
siswa, guru, proses pembelajaran, dan aspek partisipasi masyarakat. Tentu saja,
masih terdapat aspek-aspek lainnya yang cukup signifikan namun tidak dapat
dikupas dalam makalah ini, hal ini terjadi mengingat waktu dan ruang yang
terbatas.
Tentu saja, penyajian arah kebijakan di
atas masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati
menanti urun rembuk para pembaca guna kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Beane, J.A. and Toepfer, C.F.
et al. 1986. Curriculum Planning and Development. Boston
Peraturan Daerah Kab. Kuningan
Nomor 06 Tahun 2004 Tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Kuningan
Tahun 2004-2008.
Peraturan Daerah Kab. Kuningan
Nomor 07 Tahun 2004 Tentang Pola Pembangunan Daerah Kabupaten Kuningan Tahun
2004-2008.
Peraturan Daerah Kab. Kuningan
Nomor 08 Tahun 2004 Tentang Rencana Strategis Kabupaten Kuningan Tahun
2004-2008.
Raka, Joni. 1980. Pengembangan
Kurikulum IKIP/FIP/PKG: Suatu Kasus Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi.
Jakarta :P3G.
Sindhunata. 2001. Pendidikan:Kegelisahan
Sepanjang Zaman. Yogyakarta; Kanisius.
Surya, Mohamad. 2004. Implikasi
Kebijakan Otonomi daerah terhadap Tuntutan Pengembangan Sumber daya Manusia.
Makalah dalam Seminar Sehari
Dalam rangka Dies Natalis I Universitas Kuningan, tanggal 17 Juni 2004,
Kuningan.
Suyanto dan Djihad Hisyam.
2000. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III.Yogyakarta:Adicita Karya
Nugraha.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar