Daftar Blog Saya

Senin, 07 November 2011

TRADISI “ MITONI”


Bagi orang Jawa, mengadakan upacara tradisional adalah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, supaya eling marang purwa daksina.Adat istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketentraman hidup lahir dan batin. Tradisi kebatinan orang jawa itu bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya daerah. Oleh karena itu, orientasi kehidupan rohani orang jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Disamping itu, upacara tradisional dilakukan orang jawa dalam rangka memperoleh solidaritas sosia,l lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif yang tercermin dalam ungkapan gotong royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional itu memang dilaksanakan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual dengan dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga berkaiatan dengan lingkunngan hidup.
Peranan upacara ( baik ritual maupun seremonial ) adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara-upacara, warga suatu masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secra rutin. (menurut skala waktu tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif dan yang nyata ada menjadi kabur, dan upacar-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari jangkauan kenyataan. Tetapi sebaliknya telah menjadi sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata. Dengan demikian upacara (slametan,misalnya) dapat dilihat sebagai aspek keagaamaan, yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi serangkaian metefor dan simbol. Disamping itu, upacara dapat juga dapat dilihat dalam perspektif sosiologi yang menekankan pada aspek kelakuan, yaitu sebagai sesuatu adat atau kebiasaan yang dilakukan secara tetap menurut waktu dan tempat tertentu dan untuk peristiwa atau keperluan tertentu.
Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Harsja Bachtiar (1973) bahwa pada orang jawa di Suriname (1976) ia memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dinamakan Agana Jawa bukanlah agama pemujaan leluhur. Tetapi berintikan pada prinsip utama yang dinamakan sangkan paraning dumedi (dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia di masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya). Hakikat dari tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam betuk upacara adalah untuk mencapai tingkat selamat atau kesejahteraan, yaitu suatu keadaan ekuilibrium unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah tertentu. Tindakan-tindakan keagamaan ini berintikan pada azas saling menukar prestasi yang terwujudtuk persembahan pemberian sesuatu (biasanya makanan,minuman,,bunga,menyan) ke makhluk-makhluk halus tetentu dan sebagai imbalannya makhluk halus tersebut akan memberi prestasi sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memberi persembahan.
Dari uraian diatas dapat kita lihat gambaran yang lebih jelas mengenai tradisi slametan orang jawa yang kali ini akan difokuskan pada tradisi mitoni . Upacara peralihan tahap (rites of passage) orang jawa menggambarkan sebuah busur, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi keahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacara-upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. Dalam keseluruhannya slametan menyediakan kerangka; apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati, dan kompleksitas simbolis khusus dari peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambugan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewatinya.
Pada masa kehamilan, pada umumnya, masyarakat jawa hanya melaksanakan upacara tradisi Ngaliman ( hamil lima bulan ) dan mitoni (hamil tujuh bulan). Upacara tradisi mitoni ini bertujuan menolak bala dan mohon keselamatan bagi anak yang sedang dikandung dan sang ibu yang sedang mengandung. Selain mitoni, tradisi ini juga disebut juga tingkeban.
Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu.  Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).


Perlengkapan upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut :
*      Golongan Bangsawan : sajen : tumpeng robyong, tumpeng gundul, sekul asrep – asrepan, ayam hidup, satu buah kelapa, lima macam bubur, dan jajan pasar. Kenduri : nasi majemukan, tujuh pasang nasi, pecel ayam, sayur menir, ketan kolak, apem, nasi gurih, ingkung, nasi punar, ketupat, rujak, dan dawet, emping ketan, air bunga dan kelapa tabonan.
*      Golongan Rakyat Biasa : Sajen : sego jangan, jajan pasar, jenang abang putih, jenang baro – baro, emping ketan, tumpeng robyong, sego golong, sego liwet, dan bunga telon. Kenduri : sego gurih, sego ambengan, jajan pasar, ketan kolak, apem, pisang raja, sego jajanan, tujuh buah tumpeng, jenang, kembang boreh, dan kemenyan.
Tingkeban
Di sekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan berbagai slametan kecil. Slametan utama diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan (tingkeban atau mitoni; yang diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran atau brokohan), liam hari sesudah kelahiran (pasran), dam ketujuh bulan setelah kelahiran (pitonan). Tingkeban mencerminkan perkenalan seorang wanita jawa kepada kehidupan sebagai ibu. Karena ketidaktentuan yang relatif tentang waktu konsepsi, maka tingkeban tidak diadakan pada hari tertentu sesuai dengan mulainya kehamilan, tetapi selalu pada hari sabtu yang terdekat dengan bulan kandungan yang ketujuh sepanjang hal itu bisa diperkirakan. Timgkeban artinya tutup, sehingga tingkeban merupakan upacara penutup selama kehamilan sampai bayi dilahirkan. Upacara ini dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan di waktu setelah maghrib dan di hadiri oleh si ibu, suami, keluarga, dukun dan ulama. Terdapat makanan pantangan yaitu ikan gabus atau sungsang, daging yang bersifat panas, belut, kepiting, buah durian dan maja. Upacara ini terbagi menjadi dua : mitoni untuk calon ibu yang akan mempunya anak pertama dengan tambahan siraman dan mitoni untuk anak kedua dan seterusnya hanya dilakukan slametan kendhuri.
Para petani yang kaya atau para pegawai pemerintah tingkat desa yang meraykan suatu slametan mitoni untuk anak pertama, seringkali mengadakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Cerita lakon yang dipertunjukan pada acara mitoni biasanya mengenai kelahiran salah seorang Pandawa atau seorang raja atau tokoh keramat dalam cerita wayang. Orang – orang di daerah Kebumen seperti juga halnya orang – orang santri di daerah – daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur seringkali mengadakan pertunjukan perjanjen yaitu nyanyian – nyanyian Islam, pada suatu perayaan tingkeban. Para keluarga priyayi yang tinggal di kota – kota besar biasanya merayakan peristiwa semacam itu dengan sederhana saja, bersama kerabat dekatnya.
Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan mantra – mantra. Kecuali itu seorang seorang wanita hamil juga harus minum jamu setiap minggu dan air tajin setiap pagi. Adapun larangan untuk makan berbagai makanan tertentu, seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan yang berpatil, dan buah – buahan yang letak bijinya melintang, sebenarnya sudah dimulai sejak awal kehamilannya. Orang – orang tua sering memberikan penjelasan yang berbeda – beda terhadap berbagai pantangan makan itu yang semuanya mempunyai arti simbolik yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan berdasarkan asosiasi pikiran sederhana. Buah – buahan dengan biji – biji yang tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi letak yang salah dari si jabang bayi. Karena itu larangan untuk makan buah semacam itu dapat menghindari kemungkinan terjadinya letak yang salah seperti itu.
Kecuali memperhatikan pantangan – pantangan tersebut diatas, seorang calon ayah dan ibu juga harus berhati – hati dan tidak melakukan hal – hal seperti : membiarkan sendok didalam tempat menyimpan garam, menutup lubang semut, menyakiti atau membunuh binatang, duduk diatas lesung, dan sebagainya. Jika secara tidak sengaja terjadi pelanggaran atas suatu pantangan maka calon ayah dan ibu bersangkutan harus segera mengucapkan “ nyuwun sewu jabang bayi”, untuk mengahapus kesalahannya.
Dalam bulan kesimbilan dari kehamilan diadakan suatu slametan lagi yaitu slametan mumuli sedherek , untuk menghormati “saudara- saudara kembar” anak yang belum lahir itu. Toya Kawah ( air ketuban) secara perlambang dianggap sebagai sedherek sepuh ( saudara kandung yang lebih tua ), sedangkan ari – ari dianggap sebagai sedherek enem ( adik ). Orang jawa menganggap keduanya itu memiliki jiwa sendiri – sendiri yang kelak akan menjadi roh pelindung bagi bayi yang lahir bersamanya. Selama beberapa minggu sebelum melahirkan, si calon ibu harus minum jamu temulawak tiga kali sehari. Kembali ke tradisi sebelumnya, tingkeban atau mitoni.
Tingkeban diselenggarakan dirumah ibu si calon ibu, dan slametan yang khusus disiapkan dengan unsur-unsur utama berikut ini:
·         Sepiring nasi untuk setiap tamu dengan nasi putih diatas dan nasi kuning dibawahnya. Nasi putih melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta. Ini harus dihidangkan diatas wadah dari daun pisang (takir) yang direkatkan dengan jarum baja agar anak yang bakal lahir kuat dan tajam fikirannya.
·         Nasi dicampur dengan kelapa parutan dan ayam irisan. Ini dimaksudkan untuk menhhormati nabi Muhammad maupun untuk menjamin slamet bagi semua peserta dan anak yang bakal lahir.
·         Tujuh tumpeng kecil nasi putih terutama melambangkan tujuh bulan kehamilan, tatapi seringkali beberapa “hajat” lain ditambahkan, seperti untuk menghormati hari yang tujuh dari satu minggu, langit yang berlapis tujuh dan semacamnya.
·         Delapan(kadang-kadang sembilan) bola nasi putih yang dibentuk dengan genggaman tangan untuk melambangkan delapan atau sembilan wali- penyebar Islam yang legendaris di Indonesia dab khususnya untuk memuliakan Sunan Kalijaga yang paling terkenal dan paling berkuasa dari semua Wali, yang biasanya dianggap penemu wayang ,slametan, dan agama abangan pada umumnya.
·         Sebuah tumpeng nasi yang besar, biasanya disebut tumpeng “kuat” karena ia dibuat dari beras ketan yang maksudnya agar anak yang dalam kandungan itu kuat dan juga memuliakan danyang desa itu.
·         Beberapa hasil tanaman yang tumbuh dibawah tanah (seperti singking) dan bebarap  buah yang tumbuh bergantung diatas, yang pertama untuk melambangkan bumi sedang yang kemudian untuk melambangkan langit, yang maasing-masing dianggap memiliki tujuh tingkatan.
·         Tiga jenis bubur : putih, merah, (dibuat demikian dengan memberinya gula kelapa) dan suatu campuran dari keduanya: yang putih diseputar bagian luar, sedang yang merah ditengah piring. Bubur putih melambangkan “air” sang ibu, yang merah “air” ayah, dan campuran keduanya (disebut bubur sengkala yang harfiah berarti bubur malapetaka) dianggap sangat mujarap untuk mencegah masuknya makhluk halus jenis apapun.
·         Rujak legi, suatu ramuan yang sedap dari berbagai buah-buahan, cabe, bumbu-bumbu dan gula. Ini sangat penting dalam hubungannya dengan tingkeban, dan yang paling khas: kebanyakan antara lain terdapat dalam slametan-slametanlain, tetapi rujak hanya terdapat disini. Konon, bila rujak itu terasa “pedas” atau “sedap” oleh si ibu, ia akan melahirkan anak perempuan, sebaliknya kalau terasa biasa saja, ia akan melahirkan anak laki-laki.
Dalam ujub ( sambutan pembukaan) ada seorang tua sekitar umur tujuh puluhan, mempersembahkan hidangan dan maksud baik kepada Nabi Adam dan Hawa, Nabi Muhammad, isterinya, anak-anaknya, sahabat-sahabatnya, kepada danyang desa dan anak-anaknya yang menjaga keempat pojok desa; kepada kedua roh kembar yang menjaga orang yang terlibat dalam upacara itu yang berasal dari bekas tali pusarnya dan air ketuban ibunya.
Dalam tingkeban, sebagaimana dalam semua slametan, disamping hidangan, sajian gabungan baik kepada roh-roh maupun kepada para tetangga , ada lagi sajian khusus untuk makhluk halus secara keseluruhan yakni sajen. Dengan komposisi yang kurang lebih selalu tetap, sajen senantiasa muncul dalam semua upacara orang jawa dan seringkali diadakan khusus sekalipun tidak ada upacara. Contoh kasus tingkeban yang ada di Mojokuto sajen yang ada berupa satu sisir rambut kecil, sebungkus peniti, sepotong kemenyan kecil, satu campuran buah pinang, sedikit nasi, sebutir telur dan masih banyak lagi. Semuanya ditaruh dalam keranjang daun pisang yang besar yang diberi garis dengan buah pisang dan diletakkan pada satu sisi tempat para undangan duduk. Bila bagian slametan dari tingkeban itu sudah selesai, sajen itu diberikan kepada dukun bayi yang memimpin upacara berikutnya dan yang biasanya membantu kelahiran nanti. Namun sekarang ini, dukun bayi yang melakukan upacara tingkeban tidak selalu menjadi bidan dalam kelahiran,dan bahkan orang yang kemudian melahirkan anaknya di rumah sakit kadang-kadang mengadakan upacara tingkeban bersama seorang dukun bayi. Pada upacara tingkeban mungkin dukun manten yang tadinya meresmikan pernikahan pasangan itulah yang mengetuai upacara dan bukan si calon dukun bayi. Ketika sambutan pembukaan selesai, donga (do’a dari bahasa arab) telah dibacakan, hidangan telah dicicipi dan dibungkus untuk dibawa pulang, maka upacara untuk tingkeban yang sebenarnya pun mulailah. Satu bak air yang ditaburi daun-daun bunga disiapkan; air itu secara teoritis diambil dari tujuh mata air. Konon dalam air mandi serupa itulah para dewa-dewi itu mandi dan karena pasangan itu sementara dianggap suci, dan segayung demi segayung air ini disiramkan kepada mereka oleh sang dukun,yang mengucapkan mantera (japa).
Seutas benang tenun Jawa kemudian diambil dari sajen, lalu si wanita itu mengikatkannya dengan longgar dipinggangnya. Si lelaki mengambil mengambil keris jawa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atasnya kepalanya untuk menghormatinya, dan kemudian memotong benang itu dari bawah ke atas di sebelah dalam agar terpotong menuju arah dirinya. Keris itu kemudian disarungkan. Dalam suatu tingkeban keris yang digunakan itu dari pihak istri, dan keris itu tidak pernah digunakan selain untuk tingkeban. Sementara si suami melakukan tugas ini sang dukun mengucapkan sebuah japa lainnya. Kemudian kumparan untuk menenun dijatuhkan oleh dukun kedalam sarung wanita itu. Ia ditangkap dibawah oleh ibu si suami dengan sebuah selendang, yang lalu menggendongnya seolah-olah benda itu benar-benar seorang anak. Ibu sang suami akan berkelakar, berbicara kepada kumparan yang di timang-timang itu, katanya : “ Oh cucuku laki-laki” , sedangkan ibu si istri akan mengatakan : “Oh cucuku perempuan”. Dua buah kelapa muda yang dilukisi dengan Janaka dan Sumbadra, tokoh pewayangan dan isterinya, yang oleh orang jawa dianggap manusia paling cantik dan paling tampan, diletakkan didepan sang suami. Ia membelah tiap-tiap buah itu, dengan golok besar sekali pukul. Kalau kedua-duanya terbelah, itu berarti kelahirannya nanti sangat lancar, tidak ada kesulitan sama-sekali. Kalau hanya satu yang terbelah, maka yang tidak terbelah menunjukkan jenis kelamin yang bayi (kalau Janaka yang tidak terbelah, bayi itu laki-laki dan seterusnya). Kalau tak satupun yang terbelah, maka kelahirannya akan sulit dan mungkin tidak selamat sama sekali. Berbagai gerakkan isyarat lainnya seperti menjatuhkan telur lewat sarung sang istri, melemparkan kendi keluar pintu(yang kedua-duanya pecah) dan sebagainya, sering dilakukan juga untuk melambangkan kelahiran yang mudah. Sekarang si wanita melakukan pekerjaan rutin ganti pakaian. Dikenakannya kain sehelai demi sehelai, menarik kain yang dipakai sebelumnyadari bawah. Setiap kali melakukan itu mereka yang berkerumun berteriak-teriak di tengah- tengah keriuhan, “ Oh,itu tidak pantas” sampai perempuan itu mengenakan sarung yang ketujuh dan terakhir, yang disebut toh watu . Sebuah toh watu, tepatnya berarti suatu tanda pada sebuah batu yang tak bisa dihapus. Sarung toh watu adalah jenis khusus yang dibuat dari katun tebal yang tak akan luntur dan dengan demikian melambangkan hubungan yang abadi antara ibu dan anak sepanjang hayat, ketakterpisahan mereka selama hidup. Kemanjuran sarung ibu untuk menyadarkan seseorang yang lagi pingsan telah dikisahkan sebelumnya, tetapi pelambangan hubungan anak-ibu dalam pakaian ibu adalah lebih umum lagi.
Upacara tingkeban akhirnya ditutup dengan penjualan rujak legi oleh sang istri, dibantu oleh suaminya, kepada semua yang hadir yang membayarnya dengan sbuah mata uang. Dan uang yang terkumpul tadi konon digunakan oleh sang ibu untuk membeli obat si bayi. Melahirkan anak tanpa suatu tingkeban dikatakan sebagai ngebokne si anak, menjadikan anak seperti kerbau. Mengatakan ini terhadap anak seseorangmerupakan penghinaan berat, sebab ini berarti orang tua itu sebagai binatang, yang tak tahu “aturan manusia”. Asekalipun demikian, kadang-kadang jika seoramg wanita telah tiga atau empat kali mengalami keguguran kandungan atau anaknya mati waktu melahirkan, suaminya bisa mengucapkan sumpah, “yen kowe meteng meneh tak kebokne” (kalau kamu hamil lagi, saya akan mengerbaukan anak itu), dan bahwa ia tak akan lagi mengadakan tingkeban atau berbagai slametan kelahiran lainnya. Ii merupak hal yang berat untuk dilakukan karena tidak saja hal itu membuat orang tak lagi terlindung terhadap gangguan makhluk-makhluk halus, tetapi juga menyebabkan dia jadi sasaran kritik di kemudia hari kalau anak itu ternyata keras kepala seperti yang lazim terjadi dalam kasus demikian.
Hal Lain Tentang “ Mitoni”
Asal –Usul Mitoni
Ritual mitoni atau tingkeban telah ada sejak zaman kuno. Menurut peneuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal-usulnya sebagai berikut : Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Setingkeb, pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak orang pintar, dukun tetapi belum juga berhasil. Karena sudah tidak tahan lagi menghadapi derita berat dan panjang, kedua suami istri itu memberanikan diri memohon pertolongan dari Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti dan bijak. Raja baya yang bijak dan yang sangat dekat dengan rakyatnya, dengan senang hati memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita.
Kedua suami istri, dinasehati supaya melaukan ritual, caranya : Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin menyembah kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong danwelas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus mensucikan diri, menyembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir dan batin. Sesudah itu memohon kepada Gusti, Tuhan, apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat do’a dan penolak balak, supaya mendapat berkah Tuhan. Rupaya Tuhan memperkenankan permohonan mereka, Ki Sedya dan Niken Satingeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban.



PERSYARATAN :

1.      Bubur 7 macam :
Kombinasi 7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih, (4)  putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga.


Bahan:Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa); Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2.      Gudangan Mateng  (sayurnya direbus) :
Bahan : Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang  panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3.      Nasi Megono : Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4.      Jajan Pasar : Biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5.      Rujak : Bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6.      Ampyang :Ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7.      Aneka Ragam Kolo : Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat  (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja. Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah. Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ; yakni cangelo; kacang tanah  +  ketela (ubi jalar).
8.      Ketan : Dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau,   coklat, kuning.
9.      Tumpeng nasi putih: kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang.
10.  Telur : telur ayam 7 butir.
11.  Pisang : pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12.  Tumpeng tujuh macam warna: Tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai.

Sesaji
Sesaji sangat penting didalam upacara tradisional. Sebenarnya maksud dan tujuan sesaji adalah seperti sebuah do’a. Kalau doa diucapkan dengan kata-kata, sedangkan sesaji diungkapkan melalui sesaji yang berupa berbagai bunga, dedaunan, dan hasil bumi yang lain. Tujuan sesaji adalah mengagungkan asma Gusti., Tuhan dan merupakan permohonan tulus kepada Gusti supaya memberikan berkah dan perlindungan. Mengingat dan menghormati pinisepuh, supaya mendapat tempat tentram dialam keabadian.



TATA CARA
Ø  Tumpeng ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sisa potongan  daun pisang diletakkan di antara cobek dan pantat kalo.
Ø  Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung  atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal. (urutan ini dari bawah ke atas; lihat gambar).
Ø  Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi vertikal.
Ø  Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.
Ø  Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.
Ø  Tumpeng tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.
Ø  Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.
Ø  Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa: Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu): “Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.
Ø  Apabila orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca  surat Yusuf, biasanya jabang bayi lahir laki-laki.
Ø  Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.
Ø  Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu:

·         Siraman, memasukkan telor ayam kampung di dalam kain calon ibu dilakukan oleh calon bapak, ganti baju tujuh kali,  brojolan (memasukkan kelapa gading muda), memutus benang lawe atau lilitan benang (atau janur), memecah wajan dan gayung, mencuri telor dan terakhir kendhuri.  
·         Sehelai tikar tua dan dedaunan untuk siraman
·         Seekor ayam jago yang sehat, hidup, melambangkan keluarga akan hidup baik ditengah masyarakat.
·         Tujuh macam nasi tumpeng, antara lain :
a.       Tumpeng Megana ( dengan sayuran mengelilingi nasi), artinya menumbuhkan kehidupan.
b.      Tumpeng Robyong, melambangkan keselamatan dan dicintai semua orang.
c.       Tumpeng urubung damar, sinar lampu, sinar kehidupan yang berguna dan berwibawa.
d.      Tumpeng gundul
Ø  Tujuh macam sambal, artinya hidup menjadi semangat, aktif, dan kreatif.
Ø  Sambal rujak, supaya segar, cerah hidupnya.
Ø  Dlingo-blenge, untuk menghindarkan pengaruh roh-roh jahat.
Ø  Kue-kue manis terbuat dari kacang, artinya hidup ini manis.
Ø  Lauk pauk dari sayuran, artinya anak-anak menjadi sehat.
Ø  Tujuh buah ketupat diisi abon, artinya sudah ada jalan buat keluarnya bayi, tinggal tunggu saatnya.
Ø  Telur kura-kura ditaruh diatas tumpeng.
Ø  Panganan srabi dan klepon
Ø  Telur ura-kura ditaruh diatas tumpeng megana. Kura-kura itu kuat dan peka instinknya.
Ø  Bubur merah putih, berarti selalu ingat dan hormat kepada orangtua dan pinisepuh.
Ø  Berbagai macam buah-buahan untuk kesehatan dan kebugaran.
Ø  Berbagai macam nasi seperti nasi gurih, nasi punar, nasi kebuli, dll.
Ø  Boneka laki-laki dan boneka perempuan. Maksudnya yang lahir pria atau wanita sama saja.
Ø  Gayung yang dibuat dari kelapa. Kelapa utuh dipecah menjadi dua, dibawahnya diberi lubang. Sisi atas dipasangi tangkai untuk pegangan. Maksudnya supaya bisa berguna seperti pohon kelapa yang semua bagiannya bermanfaat baik buahnya, daunnya, lidinya, batangnya, dsb.



Jualan Rujak dan Dawet
Keseluruhan upacara siraman, diakhiri oleh kedua calon orang tua yang berbahagia dengan berjualan rujak dan dawet. Alat pembayarannya adalah kreweng, pecahan genteng. Rujak menggambarkan kehidupan yang antusias. Dawet yang dijual namanya Dawet Plencing. Dawet itu minuman sehat, plencing artinya pergi tanpa pamit. Jadi, dawet plencing melambangkan kehidupan yang sehat dan selamat.
Setu Wage
Hari pelaksanaan siraman biasanya diadakan pada hari Setu Wage, Sabtu wage. Makna singkatan dari Setu Wage adalah Tu artinya metu, keluar dan Ge artinya gage, cepat-cepat. Jadi maksudnya, pada waktu kelahiran bayi, si bayi supaya cepat keluar, sehat, dan selamat.
Ritual Untuk Tujuh Bulan Kehamilan
Ketika wanita hamil untu pertama kalinya, pada bulan ketujuh kehamilannya diadakan ritual mitoni. Mitoni berasal dari kati pitu yaitu tujuh. Ritual mitoni diadakan dengan maksud untuk memohon berkah Tuhan, untuk keselamatan calon orang tua dan anaknya. Bayi lahir pada masanya dengan sehat, selamat, demikian ibunya melahirkan dengan lancar, sehat, dan selamat. Selanjutnya diharapka seluruh keluarga hidup bahagia. Hal- hal penting pada upacara mitoni adalah :
v  Siraman ( pemandian calon ibu)
v  Pendandanan calon ibu
v  Angreman
Tempat, berbagai baraang atau ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah tersedia lengkap. Biasanya, pelaksanaan siraman diadakan di kamar mandi atau di tempat khusus yang dibuat siraman, di halaman belakang, atau samping rumah. Siraman dari kata siram artinya mandi. Pada saat mitoni adalah pemandian untuk sesuci lahir batin bagi seorang calon ibu atau orang tua beserta bayi dalam kandungan. Yang baku, di tempat siraman ada bak atau tempat air yang telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air yang dicampur dengan bunga siraman, yang terdiri dari melati, mawar, kenanga dan kantil. Di pagi hari atau sore hari yang cerah, ada terdengar alunan suara gamelan yang semarak, mengiringi pelaksanaan siraman. Di depan tempat siraman yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek, dan ibu – ibu yang ikut memandikan. Mereka semua berpakain tradisional Jawa, bagus, dan rapi. Tentu saja disaksikan oleh para undangan yang hadir untuk menyaksikan dan memberi restu kepada calon ibu. Calon ibu dengan berpakaian kain putih yang praktis, tanpa mengenakan asesoris seperti gelang, kalung, subang, dsb datang ke tempat siraman dengan diiringi oleh beberapa ibu. Dia langsung didudukan diatas sebuah kursi yang dialasi dan dihias dengan sebuah tikar tua, maksudnya orang wajib bekerja sesuai kemampuannya dan dedaunan seperti : opok – opok, alang – alang, oro – oro, dadap sreb, awar – awar yang melambangkan keselamatandan daun kluwih sebagai perlambang kehidupan yang makmur.
Orang pertama yang mendapat kehormatan untuk memandikan adalah calon kakek, kemudian calon nenek, dan disusul oleh beberapa ibu yang sudah punya cucu. Sesuai kebiasaan, jumlah yang memandiakan adalah tujuh orang. Diambil perlambang positifnya, yaitu tujuh, bahasa jawanya pitu, supaya memberi pitulungan, pertolongan. Sesudah selesai dimandikan dengan di guyur air suci, terakhir di kucuri dengan air suci dari sebuah kendi sampai airnya habis. Kendi yang kosong dibanting ketanah. Dilihat bagaimana pecahnya. Kalau paruh atau corot kendi tidak pecah, hadirin ramai – ramai berteriak : Lanang! Artinya bayi yang akan lahir laki – laki. Apabila pecah, yang akan lahir wadon, perempuan. Perlu diketahui bahwa suasana selama pelaksanaan siraman adalah sakral tetapi riang. Pada masa kini, upacar siraman di pandu oleh seorang ibu yang profesional dalam bidangnya, disertai seorang MC sehingga upacara berjalan runut, lancar, dan bagus.

Peluncuran Teropong  
Ada kalanya, sesudah selesai pecah kendi, sebuah teropong, alat tenun dari kayu diluncurkan kedalam kain tekstil yang mempunya tujuh warna. Ini perlambang kelahiran bayi dengan lancar dan selamat.
Siraman Gaya Mataram
Siraman gaya mataram atau jogjakarta kuno, sekarang boleh dibilang tidak dilakukan lagi. Pada siraman tsb yang dimandikan tidak hanya calon ibu tapi juga calon ayah, secara bebarengan.

Pendandanan Calon Ibu     
            Di sebuah ruangan yang telah disiapkan untuk upacara pendandanan, beberapa ibu dengan disaksikan beberapa hadirin, mendandani calon ibu denga beberapa motif kain batik dan lurik. Ada enam motif kain batik, antara lain motif ksatrian, melambangkan sikap satria, wahyu tumurun yaitu wahyu yang menurunkan kehidupan mulia, sidomukti , maksudnya hidup makmur, sidoluhur , berbudi luhur, dsb.
            Satu persatu kain batik itu dikenakan, tetapi tidak ada yang sreg, sesuai. Lalu yang ketujuh dikenakan kain lurik bermotif  lasem , dengan semangat para hadirin berseru : Ya, ini cocok ! Lurik adalah bahan yang sederhana tetapi kuat, motif lasem mewujudkan perajutan kasih yang bahagia, tahan lama. Begitulah perlambang positif dari upacara pedandanan. Lurik yang dikenakan calon ibu tsb diikat dengan tali yang terdiri dari benabg dan anyaman daun kelapa. Tali itu dipotong oleh calon ayah dengan menggunakan sebilah keris yang ujungnya ditutup kunyit. Ini perlambang bahwa semua kesulitan yang dihadapi keluarga, akan diatasi oleh sang ayah. Sesudah memotong tali, sang ayah mengambil tiga langkah kebelakang, membalikan badan dan lari keluar. Ini melambangkan kelahiran yang lancar dan selamat, bagi bayi dan ibu.
Brojolan
            Dua buah kelapa gading diluncurkan kedalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh diatas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat.Kedua buah kelapa gading itu di ukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantuk, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur, dan mapan lahir batin.
Calon ayah mengambil salah satu kelapa tersebut dan memecahnya, dengan menggunakan golok. Kalau kelapa itu pecah jadi dua, hadirin berseru : Wadon, perempuan. Kalau kelapa itu airnya menyembur keluar, hadirin berteriak riang : Lanang, Lelaki!. Anak yang dilahirkan laki maupun putri, sama saja tetap akan diasuh, dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Kelapa yang satunya, yang masih utuh diambil lalu dengan di emban oleh calon nenek ditaruh ditempat tidur calon orang tua.
Angreman
Angreman berasal dari kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk diatas tumpukan kain yang tadi dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu sampai bayinya lahir dengan sehat dan selamat. Mereka mengambil beberapa macam makanan dari sesaji dan ditaruh di sebuah cobek. Mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu menggambarkan ari – ari bayi. Di pagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau di pagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa tersebut harus diberikan. Lalu, wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih haruslah diutamakan.


sumber : 

Geertz, Clifford. Abangan,Santri,Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Pustaka Jaya
.google.com  
http:bukhari.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar