Daftar Blog Saya

Kamis, 01 Agustus 2013

PRIMBON

A.    FENOMENA PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA

1.      Isi primbon
Primbon amat lengkap memuat berbagai hal; tentang persoalan hidup. Biasanya, primbon tersebut bersifat anonym. Kalau ada nama yang tertera, sebagian besar hanya penghimpun saja. Karena itu, primbon termasuk kitab yang menjadi timbunan berbagai ngelmu kejawen. Mungkin, kandungan primbon berasal dari leluhur, dari kitab-kitab suluk, kitab-kitab wirid, dan sastra ajaran yang lain. Primbon termaksud ada yang disakralkan, sehingga setiap Malam Selasa Kliwon dan Malam Jemuwah Kliwon juga diberi kutukan kemenyan. Bahkan ada diantara orang Jawa yang membungkus primbon dengan kain mori, diletakkan pada tempat khusus yang tak boleh dibuka oleh anak kecil (Endraswara, 2006: 118-119).
Isi primbon berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam (Sublidinata, 1985: 55), termasuk diantaranya tentang penyakit dan pengobatannya. Karena itu, di dalam primbon pun ditemukan petunjuk-petunjuk untuk mendapatkan kesehatan dengan pengobatan dan resep-resepnya.
Isi primbon, sedikitnya menyangkut:
1)      pranata mangsa,
Kehebatan orang Jawa membaca alam semesta, telah melahirkan pranatamangsa yang amat luhur. Pranatamangsa adalah ngelmu tafsir alam semesta yang lahir dari kejernihan batin. Ini termasuk fenomena ramalan, yang dalam dunia modern sering menyembul pada “prakiraan cuaca” TVRI, misalnya.
Pranatamangsa sampai sekarang masih banyak digunakan kaum tani di pedesaan. Mereka, dengan cerdik tahu mangsa (saat tepat) untuk menanam kelapa, pisang, menyebar benih padi, menebang bamboo, dan sebagainya. Ternyata, atas dasar pranatamangsa itu, orang Jawa dapat menyiasati dan meminimallisir petaka yang mungkin menimpa (Endraswara, 2006: 122)
Masih dalam Endraswara (2006: 123) dijelaskan bahwa pranatamangsa, sering melebur lembut menjadi “horoskop” dan atau “bintang anda” (Nasib Panjenengan) di media cetak. Biasanya, setahun penuh (12 bulan) ada juga yang mingguan (khusus di Koran tergantung masa terbitnya). Horoskop di media cetak, tergolong petungan ringan, yang belum tentu seratus persen ditaati.
2)      Petungan,
Numerologi Jawa sering disebut petung (perhitungan). Perhitungan tersebut merupakan pertimbangan memet (sungguh-sungguh), memanfaatkan nalar jelas, dan disertai laku tertentu. Petungan berarti pertimbangan yang jernih. Dalam petungan terkandung pengertian kalkulasi, penafsiran (appraisal), dan pertimbangan (judgement). Petungan Jawa lebih khas dibanding perhitungan budaya lain. Karena, di dalamnya memasukkan hal-hal yang rasional dan irrasional.
Dalam kehidupan orang Jawa, petungan menjadi jati diri. Petungan telah lekat dan sulit dihilangkan dalam benak mereka. Karenanya, segala sikap dan perilaku orang Jawa selalu bernuansa petungan. Petungan termaksud biasanya didasarkan atas peredaran matahari, bulan, bintang, dan planet lain untuk meramal nasib manusia. Ilmu yang popular dalam menghitung nasib baik dan buruk orang Jawa tersebut dinamakan astrologi. Lepas dari cocok tidaknya sebuah hasil petungan, orang Jawa tetap sulit meninggalkna pola pikir tersebut. Maka boleh dinyatakan bahwa orang Jawa selalu menggunakan petungan dalam gerak dan langkah hidup, agar dirinya selamat dari gangguan adikodrati.
Hari dalam perhitungan (numerology) Jawa berjumlah tujuh, lalu disebut dina pitu, dan pasaran berjumlah lima disebut pasaran lima. Atau sering disingkat dina lima dina pitu. Keduanya akan menentukan jumlah neptune dina (hidupnya hari dan pasaran). Masing-masing hari dan pasaran memiliki nilai angka yang dapat digunakan untuk meramallkan berbagai hal.
Nilai angka nama-nama hari yaitu: Senin = 8, Selasa = 3, Rabu = 7, Kamis = 8, Jumat = 6, Sabtu = 9. Nilai angka pasaran: Legi = 5, Paing = 9, Pon = 7, Wage = 4, lan Kliwon = 8. Rupa-rupanya  para pengamat budaya Jawa masih kesulitan menjelaskan secara logis tentang nilai-nilai angka tersebut. Umumnya orang Jawa hanya taat pada budaya tradisi leluhur, tanpa ada upaya untuk memecahkan persoalan tersebut. Akibatnya, perhitungan angka demikian selamanya masih misterius.
Secara rinci, terjadinya perhitungan hidupnya hari dan pasaran dapat dilihat pada table sebagai berikut:


Tabel asal-usul hari dan pasaran
Aturan asal-usul neptuning dina
Bersatunya hari dan pasaran
Perhitungan pancasuda
Sabtu 0+1 Legi
= 1
1.    Wasesa Segara
          1+1
= 2
2.    Tunggak semi
Ahad 1+2 Paing
= 3
3.    Satriya wibawa
          2+2
= 4
4.    Satriya wirang
Senin 2+3 Pon
= 5
5.    Bumi kapetak
          3+3
= 6
6.    Lebu katiyub angin
Tabel Hidupnya hari dan pasaran
Selasa 3+4 Wage
= 7
1.    Wasesa segara
           4+4
= 8
2.    Tunggak semi
Senin 4+5 Legi
= 9
3.    Satriya wibawa
          5+5
= 10
4.    Satriya wirang
Ahad 5+6 (-)
= 11
5.    Bumi kapetak
          6+6
= 12
6.    Lebu katiyub angin
Jumat 6+7 Pon
= 13
1.    Wasesa segara
           7+7
= 14
2.    Tunggak semi
Rebo 7+8 Kliwon
= 15
3.    Satriya wibawa
          8+8
= 16
4.    Satriya wiring
Kemis 8+9 Paing
= 17
5.    Bumi kapetak
           9+9
= 18
6.    Lebu katiyub angin
Sabtu 9 0



Dari tabel tersebut dapat dipahami, mengapa hari dan pasaran memiliki watak tertentu. Perhitungan tabel diatas juga ada neptuning dina yang amat rahasia, yaitu berjumlah 11. Tampaknya angka ini dianggap sakral dalam perhitungan Jawa. Hidupnya pasaran juga tak ada yang bernilai 6, ini mungkin menggambarkan bahwa 6 adalah bilangan rahasia dalam budaya Jawa.
Jika ditelusur lebih jauh lagi, dapat dimengerti asal-usul hari dan pasaran. Yakni, Sabtu menjadi akhir hari dina dan Legi menjadi awal mula pasaran. Keduanya secara filosofi merupakan gambaran awal-akhir dunia. Sabtu, berarti akhir dari (mengakhiri). Akhir kebodohan yaitu pandai, ini sebagai perilaku ening. Akhir dari pencarian ngelmu, adalah bodoh sampai pandai (bontos ing kawruh). Sedangkan Legi, sebagai awal pasaran. Ini merupakan gambaran permulaan pandai dari kebodohan, yaitu perilaku budi. Maka Sabtu Legi sebagai gambaran perburuan ilmu. Bodoh dan pandai sebenarnya ada awal akhirnya.
Sabtu Legi juga sebagai lambang wasesa segara, yaitu akhir budi, juga permulaan hidup. Mulai lahir dari kandungan ibu, manusia telah diberi anugerah berupa budi. Manusia yang tadinya bodoh akan menjadi pandai. Melalui budi tersebut manusia mampu mencapai keluhuran hidup di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika manusia tak mau mengasah budi, akan bodoh seperti kerbau. Jika bodoh, jelas akan menajdi kendala hidup. Orang yang cerdik mengasah budi, ibarat wong lumpuh ngideri jagad. Maksudnya, meskipun manusia tadi tak mampu sdampai kemana-mana, jika budinya berkembang dan luhur, akan mengetahui apa saja dan dimana saja.
Hari Ahad Paing, dilambangkan sebagai satriya wibawa. Yakni sebagai kekuatan budi. Jika ada bayi yang lahir pada hari tersebut, jika kuwat menjalankan laku, bias mengolah budi, akan menjadi satriya yang bijaksana. Sebaliknya, jika gagal mengasah budi akan menjadi satriya wiring. Maksudnya, hidupnya akan menanggung malu dan sengsara.
Hari yang paling gawat adalah Senin Pon, karena termasuk hari Sampar Wangke. Ada juga hari semacam ini yang menyebut hari Tali Wangke. Xhari tersebut dilambangkan bumi pinetak. Maksudnya, manusia mudah apes dan celaka, bahkan sampai meninggal akibatnya jika kurang waspada. Bumi pinetak telah menggambarkan bahwa manusia berasal dari anasir tanah (bumi). Karena itu, pada hari tersebut manusia harus berhati-hati. Segala sikap dan tindakan seharusnya benar-benar ditata, tak tergesa-gesa, dan Orang Jawa berprinsip alon-alon waton klakon.
Perkembangan selanjutnya, petungan Jawa telah merambah pada sela-sela masyarakat Jawa modern. Dalam petungan Jawa, ada yang disebut istilah gotek (jare). Gotek (jarene wong biyen) ini akan melahirkan gugon tuhon yang umurnya sudah sangat panjagng. Lebih-lebih, kalau gotek tadi berhubungan dengan peristiwa yang kurang menyenangkan – orang Jawa akan segera mengantisipasi.
Dasar petungan tidak hanya tahun, bulan, minggu, dan hari, melainkan jam dan menit pun dapat diramalkan. Setiap jam dalam diri manusia dapat diramal tentang daya linuwihnya. Yang diramal, berkaitan dengan: keadaan alam semesta, keadaan orang yang lahir, masa kanak-kanak, remaja, cirri-ciri yang mencolok, kesehatan, hubungan sosial, pekerjaan yang cocok, karier, rejeki, hobi, jodoh, warna yang disukai, watak dan lain-lain (Doyodipuro, 1998, dalam Endraswara, 2006: 122).
Petungan tersebut, sebenarnya untuk menentukan dina becik-naas. Saat yang tepat, akan membawa keselamatan, begitu sebaliknya. Hal ini, menurut hematnya juga akan menghadirkan sejumlah persoalan.
3)      pawukon,
Wuku adalah nama sebuah kesatuan waktu yang terdiri dari 30 pekan. Satu pekan atau minggu terdiri dari 7 hari. Maka satu ‘tahun’ wuku terdiri dari 210 hari. Perhitungan tahun secara wuku terutama digunakan di Bali dan Jawa.
Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu seperti layaknya horoskop atau perbintangan yang kita kenal
Sebenarnya ide dasar daripada perhitungan menurut wuku ini adalah bertemu dua hari dalam sistem pancawara(pasar) dan saptawara(pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari.
Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti. Misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.

4)      Pengobatan,
Sistem pengobatan dapat dimasukkan pada salah satu unsure budaya yaitu ke dalam unsure sistem pengetahuan, yang dalam realisasinya akan mengarah pada unsure teknologi. Kebudayaan Jawa mempunyai sistem pengetahuan pengobatan yang sudah ratusan tahun digunakan oleh masyarakat Jawa, yakni sebelum masuknya teknik-teknik kedokteran modern. Sistem pengobatan tersebut disebut sebagai sistem pengobatan tradisional.
Menurut Foster dan Anderson (1978: 51), di dalam masyarakat pedesaan konsep penyakit dikenal dengan istilah sistem personalistik dan sistem naturalistic. Sistem personalistik adalah penyakit  yang dipercaya disebabkan oleh sesuatu hal diluar si sakit seperti gangguan gaib seseorang (guna-guna), jin, makhluk halus, kutukan, dan sebagainya; sistem naturalistic adalah penyakit yang disebabkan oleh sebab alamiah seperti cuaca dan gangguan keseimbangan tubuh.
Pemahaman tentang penyakit tersebut mempengaruhi pola pengobatan dan pemilihan alternative pengobatan. Setidak-tidaknya, konsep pengobatan tradisional Jawa yang memiliki pandangan kosmologis tentang penyakit, memandang penyakit tidak saja pada apa yang menyebabkan sakit, melainkan juga bagaimana dan mengapa seseorang menajdi sakit.
Dalam tradisi Jawa, sistem pengobatan tradisionalnya mempunyai beberapa karakter yang khas. Dalam menentukan penyakit, primbon menggunakan perhitungan yang berdasarkan perhitungan waktu. Perhitungan yang banyak digunakan ialah perhitungan yang menggunakan dasar perhitungan hari dan pasaran.jumlah neptu dina lan pasaran saat datangnya penyakit dapat digunakan untuk menentukan (1) asal penyakit, (2) tingkat penyakit, (3) bagian yang sakit.
Antara primbon yang satu dengan yang lain kadang-kadang berbeda. Namun, dari perhitungan-perhitungan itu, dapat ditarik berbagai jenis penyakit, yaitu: 1) dari Allah, 2) karena perkatannya sendiri yang tidak dipenuhi (ujar), 3) dari jin/setan, dan 4) dari perbuatan jahat orang lain (teluh tarangnyana) (sutrisno, 1961: 36-37).

5)      wirid / wejangan
Istilah wirid berasal dari bahasa Arab yang memiliki banyak arti. Asal katanya adalah warada yang berarti mengambil, kemudian bila berubah bentuk menjadi wardah berarti sekuntum bunga mawar, atau wârid yang membawa, wurûd berarti tiba, datang, atau warîd berarti urat leher; sedangkan wirdun berarti bacaan-bacaan zikir, do'a yang dibiasakan membacanya. Dalam Islam, istilah wirid ini sudah populer, sehingga karena populernya tidak lagi dipersoalkan apa makna sesungguhnya dari istilah tersebut.
Wirid atau wejangan, biasanya berupa sastra wedha. Didalamnya terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju pada suatu titik mistik. Utamanya kea rah memayu hayuning bawana. Agar tercipta keindahan dan harmonui manusia Jawa dengan sesame, alam semesta dan Tuhan.
Wejangan memang masih banyak yang relevan untuk dunia sekarang. Lebih-lebih tentang Maklumat Jati, yang mencakup 8 hal: wirayat jati, laksita jati, panunggal jati, karana jati, purba jati, saloka jati, sasmita jati dan wasana jati (Wibatsu, 1994: 13, dalam Endraswara, 2006: 124). Makliumat ini berisi wejangan kebatinan untuk menuju pengalaman mistik. Hal semacam ini, mungkin tak akan using dimakan zaman. Wirid atau wejangan adalah horoskop yang bersumber dari kawruh leluhur. Di dalamnya menyangkut pepali, seperti Pepali Ki Ageng Sela.
Tradisi wirid ini bertolak dari Hadis Nabi Muhammad saw yang menyatakan; "Ahabbu al-a'mâl ilâ Allâhi adwâmuhâ wa in qalla" (Amal-amal kepada Allah yang paling sisukai adalah yang dilakukan secara kontiniu (berulang-ulang), walaupun amal itu sedikit (kecil). Dengan demikian, pada dasarnya kegiatan wirid adalah suatu kegiatan amal yang bernilai ibadah, kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang pada setiap waktu tertentu, sehingga menjadi kebiasaan.

2.      Fungsi primbon
Isi primbon yang berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Kendati sistem dalam primbon yang berbelit-bnelit, namun pada konsep ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai, sebagaimana kesesuain kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu pemecahan untuk soal matematik, serta persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak mereka bercerai). Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu dan bisa diketahui. Sistem petungan dalam primbon misalnya, memberikan suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan adalah salah satu bentuk dari primbon yang merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan (Clifford Geertz, 1989: 38-39).
Pada intinya, fungsi primbon bagi kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa yang mempercayainya adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari bencana atau malapetaka yang disebabkan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan antara alam. Seperti misalnya pada perhitungan nikah (Endraswara, 2006: 115) menunjukkan bahwa orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja).

B.     Persepsi masyarakat Jawa terhadap primbon
1.      Masyarakat Jawa dulu
Persepsi mengenai primbon yang akan diangkat dalam sub bab ini lebih mengarah pada bentuk primbon yang berujud petungan. Karena petungan ini yang paling banyak kami temui ketika kami mengadakan observasi dan wawancara terhadap masyarakat Jawa pesisir.
Primbon pada zaman dahulu dipakai sebagai acuan penting dalam menentukan sebuah peringatan (kematian, kelahiran, sukuran, membangun rumah dan sebagainya) karena dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut  kehidupan kedepan/masa depan individu. Pada zaman dahulu juga masyarakat Jawa masih berpegang teguh pada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi pendahulu, karena seperti yang telah disebutkan diatas, ada suatu perasaan patuh yang didasarkan pada tiga konsep sifat orang Jawa yaitu wedi, isin dan sungkan. Ketiga sifat inilah yang mungkin melatarbelakangi masih digunakannya primbon pada masa sekarang ini.
Sistem perhitungan yang terkait dengan primbon yang paling sering digunakan oleh masyarakat Jawa adalah perhitungan yang menyangkut proses pemilihan jodoh dan sistem pengobatan tradisional Jawa.
a.       Perhitungan Jodoh
Pada perhitungan jodoh masyarakat Jawa “kuno” terdapat beberapa pertimbangan yang dihitung dengan berlandaskan kitab primbon, yaitu diantaranya pertimbangan “pasatowan”. Bagi orang Jawa yang akan mempunyai hajat pernikahan, ada pertimbangan khusus dalam pemilihan jodoh yang disebut pasatowan, yaitu mempersatukan dua unsure dari pihak laki-laki dan perempuan. Pertimbangan ini biasa disebut dengan pasatowan salaki rabi, yang bias dilaksanakan dengan menghitung jumlah neptu (hari kelahiran) calon pengantin wanita ditambah jumlah hari kelahiran calon pengantin pria lalu dibagi 5, yang kemudian akan ditemukan makna dari penjumlahan neptu kedua calon mempelai tersbut. Jika perhitungan pasatowan di atas tak ditemukan yang menurut orang Jawa menguntungkan, biasanya dihindari. Karena, orang Jawa takut terhadap akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari. Apabila perhitungan tersebut telah dilampaui, ternyata dalam membangun keluarga ada hal-hal yang di luar jangkauan, tentu akan diterima sebagai pesthi. Jadi, orang Jawa tetap menyadari bahwa perhitungan termasuk sekedar sebagai upaya preventif, bukan mutlak hasilnya (Endraswara, 2006: 112-113).
Selain pertimbangan pasatowan tersebut, ada pula pertimbangan keturunan dan watak. Dalam Endraswara (2006: 114) juga disebutkan wanita yang akan dijadikan isteri, perlu dipertimbangkan dari aspek keturunan. Keturunan ini penting, karena dalam perkawinan kelak akan melahirkan anak yang dapat didambakan. Di samping itu, memilih isteri juga perlu mempertimbangkan unsure: 1) bobot, memilih wanita yang asli (keturunan ayah), 2) bebet, ayah wanita yang supudya, banyak harta, dermawan, 3) bibit, wanita cantik, pandai. Konsep bobot, bebet, bibit tersebut dipercaya akan memudahkan hubungan suami isteri di masa yang akan datang.
Selain itu, juga ditentukan watak-watake hari dalam menyelenggarakan pernikahan dan slametan, yang tentunya watak-watak hari tersebut ada yang baik dan ada yang buruk. Ada hari yang mampu mendatangkan keuntungan dan ada hari naas (mendatangkan marabahaya). Khusus bagi orang tua yang akan menikahkan anaknya, dalam menentukan hari dan pasaran pernikahan dapat menempuh perhitungan menjumlah hari dan pasaran dan membagi 7.
Perhitungan nikah diatas menunjukkan bahwa orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja). Keberuntungan juga ditandai apabila dalam pernikahan mendapat keturunan yang baik.

b.      Sistem Pengobatan
Dalam tradisi Jawa, sistem pengobatan tradisionalnya mempunyai beberapa karakter yang khas. Dalam menentukan penyakit, primbon menggunakan perhitungan yang berdasarkan perhitungan waktu. Perhitungan yang banyak digunakan ialah perhitungan yang menggunakan dasar perhitungan hari dan pasaran.jumlah neptu dina lan pasaran saat datangnya penyakit dapat digunakan untuk menentukan (1) asal penyakit, (2) tingkat penyakit, (3) bagian yang sakit. Sebagai contoh, asal penyakit ditentukan dengan angka-angka kelipatan tiga sampai sisa terakhir. Sisa tersebut sebagai penentu asal penyakit yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Sisa satu, jatuh hitungan tikus, penyakit datang dari dalam rumah. Tebusannya adalah nasi golong, pecel ayam, dan sayur menir.
2)      Sisa dua, jatuh hitungan kadal, penyakit berasal dari luar rumah (halaman). Tebusannya adalah tukon pasar.
3)      Sisa tiga, jatuh hitungan ular, penyakit datang dari air. Tebusannya adalah jenang baning.
Antara primbon yang satu dengan yang lain kadang-kadang berbeda. Namun, dari perhitungan-perhitungan itu, dapat ditarik berbagai jenis penyakit, yaitu: 1) dari Allah, 2) karena perkatannya sendiri yang tidak dipenuhi (ujar), 3) dari jin/setan, dan 4) dari perbuatan jahat orang lain (teluh tarangnyana) (sutrisno, 1961: 36-37).
Etiologi penyakit menurut primbon ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk “diagnose penyakit” yang disesuaikan dengan pandangan dan kondisi zaman primbon tersebut pertama kali ditulis. Sebagai contoh, etiologi penyakit dapat ditentukan berdasarkan lenggahipun dinten (tempat duduk hari). Tempat duduk hari tersebut dapat dilihat dalam table berikut ini:
Nama Hari
Tempat duduk penyakit
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
sabtu
Telinga
Hidung
Perut
Tulang
Mata
Tungkai

Berdasarkan hari dimulainya sakit, maka dapat ditentukan anggota badan yang memulai sakit atau sebab penyakitnya. Misalnya, bila sakit dimulai hari Senin, asal penyakit dari telinga. Penyebabnya bias karena mendengar berita buruk, menahan marah, dan sebagainya yang bersumber dari telinga (Tjakraningrat, 1983: 23).
Berdasarkan hari dimulainya sakit juga dapat ditentukan tentang jenis-jenis penyakit sebagaimana diuraikan dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (Tjakraningrat, 1991: 228) yang dibuat table sebagai berikut:

Nama hari
Sebab penyakit
Senin

Selasa

Rabu

Kamis

Jumat

Sabtu

Minggu

Mempunyai nadzar yang belum dilaksanakan
Diguna-gunai oleh orang lain

Diganggu oleh makhluk halus/setan

Terkena tulah dari orang tua

Diganggu makhluk halus yang ada di kolong rumah
Diganggu oleh setan yang berasal dari hutan
Diganggu oleh makhluk halus/setan


2.      Masyarakat jawa kekinian
Menurut para informan yang kami temui di daerah Lempung Kabupaten Rembang, petungan memang masih banyak dipakai, tetapi kebanyakan mereka mengungkapkan bahwa pemakaian primbon saat ini hanya sebagian saja, dalam arti tidak sepenuhnya. Primbon saat ini masih digunakan ketika masyarakat menghadapi berbagai aktivitas kehidupannya, seperti perhitungan ketika membangun rumah, mencari jodoh yang tepat, mencari pekerjaan, perhitungan untuk masa panen padi, dan pertimbangan pencarian barang yang hilang. Fungsi primbon sendiri bagi mereka adalah untuk ngelakoni atau menghindari pantangan, untuk membantu diri pribadi dalam mentukan pilihan, atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Terdapat sebuah pantangan yang berlaku pada masyarakat rembang khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya yang berkaitan dengan perhitungan angka. Yaitu diantaranya adalah: 1) hari pernikahan orang tua dilarang digunakan untuk hari pernikahan anaknya, 2) dilarang melaksanakan peringatan atau kegiatan yang bertepatan dengan hari meninggalnya orang tua, 3) dilarang mengadakan peringatan atau acara apapun pada bulan pertama Sura. Ketiga patokan kehidupan ini bertujuan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan dapat selamat dunia dan akhirat, karena bila sikap masyarakat bertentangan dengan ketiga hal diatas, maka ditakutkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti rumah tangganya akan kacau. Masyarakat Jawa saat ini masih banyak yang percaya akan perhitungan-perhitungan yang menentukan nasib tersebut. Kepercayaan mereka itu dilatarbelakangi beberapa sebab, yaitu diantaranya untuk mengikuti tradisi yang sudah ada pada keluarga mereka. Selain itu, jika tidak percaya dan tidak menjalankan dikhawatirkan nasib orang yang bersangkutan akan celaka kelak di kemudian hari. Maka dari itu, mereka masih menggunakannya sebagai antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang buruk.
Sekarang : petungan tidak begitu dipedulikan, karena orang sekarang lebih percaya pada logika, terutama anak muda sekarang ini. Mereka baru percaya ketika sudah kejadian.


C.     Perubahan makna primbon pada masyarakat jawa
Perubahan merupakan proses yang wajar, alamiah sehingga segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berubah. Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam perkaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Perubahan sosial bukan lagi akibat pembangunan yang sedang gencar dilakukan oleh seperangkat birokrasi pemerintah, tetapi suatu bentuk perubahan yang benar-benar menjadi keinginan organisme sosial dalam bentuknya yang wajar (alamiah) (Agus Salim, 2002: 2-10).
Begitu pula yang terjadi pada makna primbon yang ada pada pandangan masyarakat Jawa sendiri. Masyarakat Jawa kekinian sudah tidak sepenuhnya menggunakan primbon sebagai landasan mereka dalam menjalani kehidupan.
1.      Factor Penyebab Perubahan Makna Primbon pada Masyarakat Jawa
Orang Jawa yang masih mengagungkan kebudayaannya tidak pernah meninggalkan petungan. Pada masa sekarang ini, pada tengah-tengah zaman modern juga masih banyak orang Jawa yang selalu menggunakan petungan ketika akan menjalankan acara-acara penting agar pada saat hari pelaksanaannya diberi kelancaran dan keselamatan. Seperti ketika terdapat keluarga Jawa yang akan menggelar acara pernikahan. Jika keluarga tersebut termasuk keluarga yang masih kental adat Jawanya, sebelum menentukan hari pelaksanaan pernikahan, tentu saja diawali dengan petungan yang sangat njlimet.
Selain itu, yang terkait dengan sistem pengobatan tradisional juga sedikit tergeser kedudukannya dalam pandangan masyarakat umum. Hal ini dikarenakan praktik-praktik kedokteran makin berkembang pesat dengan banyak bermunculannya pusat-pusat layanan kesehatan. Meskipun sistem pengobatan tersebut masih fungsional bagi masyarakat, tetapi kedudukan sistem pengobatan tradisional tersebut berada di bawah sistem pengobatan medis, yaitu sebagai pengobatan alternatif.
Pada intinya, perubahan makna primbon dalam masyarakat Jawa dilatarbelakangi oleh pengaruh kebudayaan modern yang masuk. Sedangkan kebudayaan modern tersebut menuntut rasionalitas berpikir. Pengaruh yang lain bersumber dari ajaran agama yang mempercayai apa yang telah digariskan Tuhan.

2.      Makna primbon sekarang?
Dalam endraswara (2006: 108) dijelaskan bahwa lepas dari pro-kontra, kalau kita tak “munafik”, mungkin hamper seluruh masyarakat Jawa masih senang untuk back to basic. Masih gemar menggunakan budaya tradisi yang yang disebut horoskop, sebuah perwujudan dari primbon. Apalagi, orang Jawa deles, tulen tentu sulit lepas dari horoskop. Meskipun mereka tidak njlimet sekali, tetap teguh dan santun memanfaatkan petungan. Terlebih lagi, ketika mereka “harus” berhadapan dengan hal luar biasa, termasuk dalam laku mistik.

Primbon pun sekarang dianggap masih fungsional bagi masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya mereka “tunduk” pada ketentuan-ketentuan yang ada pada primbon tersebut, namun mereka masih menggunakannya sebagai landasan dalam mengawali tindakannya. Namun, alasan mereka tetap menjalankan perhitungan tersebut hanya karena mewarisi apa yang sudah ada pada keluarganya turun temurun, sehingga mereka sendiri terkadang tidak tahu makna dibalik dilakukan perhitungan tersebut. Sedangkan alasan lain adalah perhitungan ini hanya dipakai sebagai bahan pertimbangan baik tidaknya tindakan yang akan dijalani. Maka dari itu, daripada mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, masyarakat pun terutama masyarakat Jawa tetap menggunakan dan mematuhi perhitungan, agar selalu diberi keselamatan dan agar kehidupannya selaras baik dengan alam lingkungan maupun alam adi kodrati.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana
Wasino. 2007. Pandangan Hidup Orang Jawa di Era Global. Bahan Diskusi dalam Seminar Kebudayaan Nasional: Dinamika Sos&Ant Terpadu, Himpro Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
Subalidinata, R.S. 1985. “Primbon dalam Kehidupan Masyarakat Jawa”. Dalam soedarsono dkk. (Editor). Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara(Javanologi), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sutrisno, Eddy T. 1961. Primbon Djawi Adji Wara. Surakarta: Mas
Koentjaranignrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java). Jakarta: Pustaka Jaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar