Daftar Blog Saya

Rabu, 11 Januari 2012

ADAT PERKAWINAN ORANG JAWA YANG KENTAL DENGAN UNSUR-UNSUR KEJAWEN


Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar dari sabang sampai merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut mempunyai tradisi-tradisi atau kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda. Salah satu suku bangsa yang kaya akan tradisinya adalah suku Jawa.  Di Jawa dalam setiap kegiatan selalu diadakan suatu upacara- upacara mulai dari anak masih dalam kandungan, kelahiran, khitanan, perkawinan, sampai kematian. Upacara tersebut dikenal dengan “ Slametan “. Meskipun jaman sekarang masuk era kemajuan, namun tradisi-tradisi yang ada di masyarakat Jawa ini masih terus dilestarikan, khususnya masyarakat yang ada di pedesaan. Dengan adanya upacara-upacara, warga masyarakat khususnya di Jawa bukan hanya selalu di ingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak dalam kegiatan atau kehidupan mereka sehari-hari. Geertz menjelaskan bahwa  slametan tidak hanya diadakan dengan maksud untuk memelihara soliaritas diantara para peserta upacara itu saja, tetapi juga dalam rangka memelihara hubungan baik dengan arwah nenek moyang.
Bukan sekedar sebagai sebuah tradisi, slametan juga dilihat sebagai aspek keagamaan yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah menjadi serangkaian metafor dan simbol. Disamping itu, upacara dapat juga dilihat dalam perspektif sosiologi yang menekankan pada aspek kelakuan, yaitu sebagai sesuatu adat atau kebiasaan yang dilakukan secara tetap menurut waktu dan tempat tertentu, dan untuk peristiwa atau keperluan tertentu. Masyarakat Jawa yang cenderung masih menggunakan tradisi atau upacara slametan adalah dari golongan Abangan yakni golongan sosial yang tinggal di pedesaan, dan biasanaya masih percaya pada hal-hal mistik. Upacara slametan yang dilakukan masyarakat Jawa sekarang ini, tidak lain juga sebagai akibat dari pengaruh agama hindhu yang pernah dianut masyarakat Jawa sebelum Islam masuk. Diadakanya slametan di setiap kegiatan-kegiatan atau acara-acara yang diadakan orang jawa, juga dikarenakan Agama Jawa berintikan pada prinsip utama yang dinamakan  sangkan paraning dumadi ( dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya ). Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia di alam semesta beserta isinya ; dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Hakikat dari tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam bentuk upacara adalah untuk mencapai tingkat selamat atau kesejahteraan yaitu suatu keadaan ekuilibriumunsur-unsur yang ada dalam isi sutu wadah tertentu. Tindakan-tindakan keagamaan ini berintikan pada azas saling menukar prestasi, yang terwujud dalam bentuk persembahan atau pemberian sesuatu ( biasanya makanan, minuman, bunga, menyan,dll ) kepada makhluk-makhluk halus tertentu dan sebagai imbalannya makhluk-makhluk halus tersebut akan memberikan prestasi sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memberi persembahan. Dalam persembahan pada waktu  slametan, biasanya makanan yang disajikan kepada makhluk-makhluk halus tertentu disebutkan jenis-jenis makanan yang berbeda-beda juga.
            Dari banyakanya upacara-upacara yang dilakukan orang jawa, yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah lebih kepada upacara perkawinan. Perkawinan menjadi arena untuk meneguhkan identitas kultural seseorang. Ketika orang jawa menghadapi peristiwa penting dalam daur hidup mereka, seperti perkawinan, umumnya mereka akan melakukan serangkaian upacara tradisional untuk mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari komunitas jawa.
Pada masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta khususnya, upacara-upacara yang diselenggarakan pada saat sebelum perkawinan, biasanya hanyalah merupakan kegiatan-kegiatan yang tujuanya mempersiapkan segala sesuatu yang ada hubunganya dengan kebutuhan perkawinan, yang betul-betul menunjukan sifat upacara pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan,yaitu siraman dan midodareni. Bagi masyarakat Jawa pada umumnya persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum perkawinan yaitu sekitar empat puluh hari sebelum perkawinan. Calon mempelai wanita telah dipingit atau disengker, artinya ia tidak diperkenankan ke luar rumah, apa lagi bertemu dengan calon suaminya (mempelai laki-laki). Selama itu pula ia diharuskan berpuasa ( Pati brata, Jawa ) dengan mengurangi segala macam makanan yang mengandng lemak, minum jamu ( obat ) dan juga seluruh badanya dibarut dengan ramuan yang disebut mangir untuk menghaluskan kulit dan lulur untuk membuat kulit menjadi kuning.
Ketika akan diadakanya upacara perkawinan, di Jawa umumnya terlebih dahulu ditentukan  atau ditetapkan suatu perhitungan atau petungan ( sistem ramalan numerologi). Maksud diadakanya hitungan ini adalah untuk mencari kecocokan antara calon mempelai pria dan wanita dilihat dari wataknya masing-masing. Petungan juga merupakan cara orang jawa untuk menghindarkan diri dari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan. Bagi kalangan abangan atau masyarakat jawa yang tinggal di pedesaan dan lebih menekankan unsur animistis, angka-angka yang terdapat dalam sistem petungan cenderung diterangkan dalam pengertian roh, dalam apa yang disebut nagadina atau” naga hari”. Sistem petungan juga digunakan untuk menentukan hari baik untuk perkawinan dan untuk meramalkan apakah suatu perkawinan yang direncanakan bisa terlaksan atau tidak. Proses petungan biasanya hari lahir pengantin pria dan wanita akan dijumlahkan oleh seorang dukun, untuk melihat apakah mereka cocok, kalau tidak perkawinan itu tidak akan berlangsung, hal ini sangat di perhatikan oleh kalangan masyarakat jawa yang masih tradisional yang umumnya yang masih tinggal di desa.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi setiap orang.  Suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di Jawa perkawinan menjadi pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang akan segera memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orang tua dan membentuk sebuah rumah tangga baru. Perkawianan di jawa hanya melibatkan dua buah somah, yang akan dipersatukan kemudian melalui lahirnya seorang cucu milik bersama, yang tidak dipandang semata-semata sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas. Tetapi yang tidak kalah penting, bagi orang jawa adalah pembentukan sebuah rumah tangga baru dan mandiri.
Kebanyakan perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Tata cara perkawinan di jawa bersifat perental tidak hanya dilihat dari kerangka organisasi kekeluargaan semata-mata, tetapi harus dilihat sebagai suatu aspek dari sistem ekonomi daan gengsi pada masyarakat luas, dan sebagai suatu fungsi bangunan otoritas intern di dalam keluarga yang asasi.
Di Jawa ada sebuah aturan bahwa saudara-saudara sepupu paralel pada pihak ayah pantang saling menikah.Karena adanya hukum bahwa ayah si anak perempuan, saudara laki-laki ayah, saudara laki-laki, semuanya tidak ada, maka anak laki-laki saudara laki-laki ayah adalah wali baginya dan bertanggung jawab untuk menyerahkanya dalam pernikahan itu. Aturan itu dinamakan sebagai pancer wali yang secara harfiah berarti “ wali menurut garis langsung “.
Menurut pandangan abangan ( yaitu perubahan dari pandangan kejawen yang bercorak animistik ) pada umumnya berpendapat bahwa perkawinan hendaknya dilakukan atau diselenggarakan di luar keluarga, karena jika tidak, apabila perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian maka hubungan antara keluarga yang semula dekat itu akan menjadi goyah dan bahkan mungkin tidak saling bertegur sapa untuk waktu yang lama.
Pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari dua tahap yaitu :
1.       Tahap pertama, Semacam perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud menghindarkan rasa malu apabila ditolak.
2.      Tahap kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan yang serba basa-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain, kunjungan ini di namakan nontoni.

Setelah dipinang didakan proses lamaran ( nglamar ) yang intinya itu adalah memohon agar anak perempuannya diperbolehkan untuk diambil menantu. Dalam acara nglamar peran congkok sudah tidak diperlakukan lagi, namun kadang-kadang tugasnya berlanjut menjadi juru bicara pihak laki-laki. Orang tua pihak laki-laki beserta anaknya, dan beberapa anggota keluarga juga turut hadir ke rumah pihak perempuan.
Jika latar belakang proses akan besanan ini jauh hari sudah tidak ada masalah lagi, maka acara nglamar ini sebenarnya hanya memenuhi formalitas adat seperti yang dipahami oleh masyarakat jawa. Akan tetapi jika kedua belah pihak masih belum saring mengenal, dan memerlukan jawaban yang pasti, maka upacara nglamar menjadi begitu penting dan menentukan sekali.
Jika lamaran pihak laki-laki diterima dengan baik, maka biasanya jawaban langsung diberikan pada saat pertemuan nglamar tadi. Pertemuan dua keluarga ini berubah menjadi pesta yang penuh dengan suka cita.
Namun jika lamaran ini ditolak, maka orang jawa punya etika yang lebih halus untuk mengungkapkannya. Keluarga pihak perempuan minta waktu barang beberapa hari untuk mempertimbangkan dan memutuskan dengan mengungkapkan berbagai alasan. Orang jawa punya etika untuk tidak mempermalukan orang lain di hadapan umum.
Acara selanjutnya dilanjut dengan upacara Ningset. Bila lamaram diterima, pada hari yang disepakati keluarga laki-laki datang kerumah pihak perempuan dengan maksud untuk menyerahkan beberapa barang penyerahan ( peningset ) sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut sudah dipasangkan ( akan dijodohkan ) dengan anak laki-lakinya. Meskipun belum dikawinkan, tetapi dengan peningset ini, hubungan sudah menjadi setengah resmi dan terikat dan ntidak akan dijodohkan dengan laki-laki lain. Namun demikian, tetap belum diperbolahkan berkumpul seperti layaknya orang berumah tangga.
Barang-barang apa saja yang dibawa sebagai peningset, tergantung kemampuan pihak laki-laki. Berikut ini sekedar contoh yang sedarhana, apa saja yang biasanya dibawa sebagai peningset :
a.       Jarit ( kain ) batik dengan motif yang dapat dipilih.
b.      Kemben ( jarit kecil tutup dada ) corak pelangi
c.       Cincin pengantin
d.      Jodhang ( peti tempat kue dan makanan yang ditandu oleh dua orang ) berisi,
Pada saat pertemuan untuk menyerahkan peningset, biasanyadibicarakan juga hari pernikahan. Dalam adat jawa, yang mempunyai hajat mengawinkan adalah pihak orang tua perempuan, sehingga hari yang baik untuk pernikahan biasanya ditentukan oleh pihak orangtua perempuan. Jika tidak ada halangan yang luar biasa pentingnya, biasanya pihak laki-laki hanya menyetujui saja hari yang ditentuksan oleh orangtua anak perempuan.
Setelah dilakukan ningset, dilanjutkan dengan Sanggan Srah- srahan . Tujuanya untuk membantu meringankan beban calon besan untuk hajatan nanti. Srah-srahan biasanya berisi :
a.       Pisang raja satangkep, daun sirih, kinang sekali kunyah, bunga mawar,, kesemuanya ditempatkan di baki.
b.      Bokor berisi panggang ayam, lawe satu ikat, minyak sundul langit, kunir dua buah, kaca cermin, sisir, klasa bangka ( tikar kecil ), gula merah setangkep ( sepasang ).
c.       Perhiasan, gelang, kalung, anting-anting, peniti semuanya ditempatkan dibaki.
d.      Busana sepasang dan alat-alat komestik
e.       Jodhang ( sejenis tandu ):
·         Jodhang pertama berisi pala kasimpar, pala kependem, pala gumantung.
·         Jodhang kedua berisi panganan seperti jadah, wajik, rasikan, jenang ( yang semuanya terbuat dari beras ketan )
·         Jodhang ketiga berisi segala jajan pasar
·         Jodhang keempat berisi nasi dan segala lauk-pauknya.
f.       Beras sedhancin kurang lebih 60 kg.
g.      Kelapa sajanjang kurang lebih 25 buah
h.      Ayam sepasang dan angsa sepasang. Jika salah stu orang tua calon pengantin sedang hamil, dicarikan ayam atau angsa yang sedang mengerami. Membawanya dengan cara digendong selendang sindhur.
i.        Hewan yang dituntun sepasang ( jantan dan betina), seperti sapi, kambing, kerbau yang tanduknya dicat putih ( dengan kapur sirih ), dan lehernya dikalungi kain cinde.
j.        Ongkek ( sejenis angkring yang dipikul ) diisi berbagai peralatan dapur.
k.      Srakah ( mahar ) bagi orang islam bisa ditambah dengan Qur’an dan perlengkapan sholat
l.        Buwuh, sumbangan uang untuk membantu meringankan beban besan yang akan menyelenggarakan hajatan. Besarnya tergantung kemampuan.
Orang jawa tidak mau mengadakan upacara pernikahan maupun resepsi pernikahan pada bualan Sura ( penaggalan jawa ). Mereka mempercayai bahwa pernikahan bulan tersebut akan berakhir dengan perpisahan atau penderitaan.
Sebaliknya orang jawa sangat senang menggunakan bulan Besar ( penaggalan jawa ). Karena dipercaya bahwa bulan ini baik untuk menyelenggarakan pernikahan. Oleh karenya, pada bulan ini banyak sekali orang jawa yang menyelenggarakan hajatan mantu. Dengan sendirinya banyak sekali profesi yang terlibat dan panen besar pada bulan ini, seperti dukun manten, perias manten, juru foto atau film, persewaan terob, catering, musikus, penyanyi, dalang wayang kulit, gedung pertemuan, mobil temanten, sound system, perangkai janur, MC, dll.
Kebanyakan orang jawa menganggap bahwa pendaftaran perkawinan pada kantor pejabat agama kecamatan ( naib ), kurang penting bila dibandingkan dengan upacara makan bersama secara keagamaan  ( slametan ), yang diadakan di rumah pengantin perempuan. Pada kesempatan penjamuan kecil bersama beberapa tetangga ini, orang tua pengantin secara resmi memohon agar arwah baureksa rumah dan desa memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada pasangan baru tersebut nantinya.
Kegiatan upacara perkawinan yaitu
1.             Upacara pasang tarub merupakan upacara pertama. Tarup mengambil kisah legenda Ki Jaka Tarup. Tarub itu sendiri berarti pemasangan bangunan tambahan antara lain janur (daun kelapa muda), gula kelapa dan ragam hiasan lainnya seperti pohon pisang raja, tebu, cengkir, padi dan daun beringin serta janur yang semuanya mempunyai arti paedagogis.
v  Tebu merupakan tumbuh-tumbuhan yang mudah tumbuh. Bagi orang Jawa, tebu dipasang untuk tuwuhan karena mempunyai arti melambangkan antebing kalbu, yaitu sikap kemantapan hati atau keteguhan hati kedua mempelai yang satu denhan yang lain merupakan jodoh. Suami istri yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Melalui lambang atau simbol tuwuhan tebu ini orangtua telah memberikan pengertian pada kedua mempelai bahwa mereka satu sama lain merupakan jodoh yang telah atu hati da tidak boleh berpisah karena diantara keduanya telah memantapkan dirinya. Mereka dalah suami istri dan menjadi suatu celaan bagi mereka yang mudah bercerai.
v  Cengkir ( kelapa gadig muda ). Cengkir bagi orang jawa melambangkan arti kencenging pikir, maksudnya menunjukkan pada suatu pola pemikiran yang telah mantap, bahwa laki-laki dan perempuan itu memang jodohnya. Dibelakang arti kata cengkir ini, tidak bisa dibenarkan bahwa apabila paa suatu ketika laki-laki meninggalkan perempuan itu yang sudah menjadi jodohnya atau istrinya, begitu pula sebaliknya. Melalui simbol cengkir ini orangtua akan memberikan pengertian kepada kedua mempelai bahwa perkawinanmereka berdasarkan hasil pemikitran yangtelah mereka pertimbangkan bersama. Oleh sebab itu tidak dibenarkan kalau suatu ketika mereka saling menyalahkan satu sama lain.
v  Padi ( pari, jawa ). Tumbuhan padi merupakan lambang kehidupan pokok dalam masyarakat jawa yang sebagian besar hidup dalam masyarakat jawa yang sebagian besar hidup dari pekerjaan bertani. Disamping itu, tumbuhan padi dalam adat kepercayaan jawa mempunyai hubungan yang erat dengan Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi rumah tangga atau dewi kesuburan. Melalui lambang padi, orang tua mengharapkan kebahagiaan hidup kedua mempelai itu.
v  Pisang Raja, jenis pisang yang mempunyai nilai tertinggi diantara jenis pisang lainya. Simbol ini menggambarkan pengantin laki-laki yang akan bertemu dengan pengantin wanita. Sebenarnya untuk menggambarkan pertemuan ini, kadang-kadang dilengkapi dengan jenis pisang lain, yaitu urut-urutanya, pisang raja- pisang saba- pisang khuthuk- dan kemudian pisang emas ( pengantin wanita ). Oleh sebab itu sehubungan dengan proses pertemuan kedua mempelai ini, orang jawa mengatakan raja saba kepethuk emas.
v  Daun Beringin, jenis tumbuhan ini melambangkan keluarga yang dibentuk suami istri diharapkan dapat memberikan pengayoman pada kerabat yang membutuhkan. Ini merupakan suatu pengertian yang mempunyai sifat peringatan kepada kedua mempelai, bahwa pada dasarnya mereka itu tidak hidup sendiri. Oleh sebab itu, segala sesuatunya harus disesuaikan dengan keadaan lingkungan dimana mereka sebagai bagian dari kelompok kerabatnya. Mereka hendaknya dapat menerima kepentingankelompok kerabatnya yang lain, misalnya bila salah satu anggota kelompok kerabatnya sedang melakukan suatu kegiatan, maka mereka diharapkan bisa membantunya.
v  Janur, merupakan atau melambangkan ajaran orang tua kepada kedua mempelai, bahwa apabila terjadi di dalam rumah tangga mereka suasana kurang baik, hendaknya hal ini jangan sampai orang di luar keluarganya menfetahuinya. Sehingga dalam rumah tangga itu tetap serasi.
 Hiasan ini disebut dengan istilah tuwuhan. Menurut Sidik Gandawarsito, tuwuhan ini melambangkan kemakmuran tanaman maupun harapan kemakmuran bagi calon keluarga yang baru. Hal ini mengingat, bahwa antara pengantin dan tanaman sangat erat hubungannya dengan adat kepercayaan Jawa.
Nampaknya, tuwuhan dengan segala macam jenis tumbuhan yang ada didalamnya merupakan lambang yang menpunyai arti sosiologis dan juga arti paedagogis. Dalam arti sosiologis dapat kita uraikan berdasarkan arti kata tuwuhan yang artinya tumbuhan. Berdasarkan arti katanya, tuwuhan dapat kita analogikan sebagai suatu proses yang menunjukkan perubahab status sosial seseorang dalam kelompok atau masyarakatnya. Jadi melalui tanda-tanda simbolis yang diwujudkan dalam rupa tuwuhan ini. Hal ini menunjukkan, bahwa kedua mempelai yang telah menjadi suami istri itu, sejak perkawinannya mereka telah berubah status sebagai kesatuan keluarga batih yang seterusnya akan bertanggungjawab atas asil atau akibat dari perkawinan mereka. Didalam hal ini pula menyangkut perubahan pola cara berfikir mereka, artinya sejak perkawinanya itu mereka harus mengubah pola cara-cara berfikir pada masa muda, sebab sesudah perkawinannya itu mereke teleh di wisuda untuk masuk golongan orang tua atau sebagai orang yang telah berkeluarga.
 Upacara selamatan juga dilaksanakan bersamaan upacara pasang tarub. Upacara selamatan yaitu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi-Nya agar proses hajatan dapat berjalan dengna lancar sesuai dengan yang diharapkan. Upacara selamatan terdiri dari:
  • Selamatan rasulan (berupa nasi uduk dengan lauk pauk, lalapan, pisang raja dua sisir)
  • Nasi asahan (berupa nasi biasa dengan lauk pauk sambel goring dan kerupuk)
  • Nasi golong
  • Ketan, kolak dan apem yang jumlahnya masing masing gasal. Mengandung makan pemuliaan kepada leluhur.
2.      Upacara buangan (bucalan) merupakan pengadaan sesaji untuk roh halus baik ataupun jahat, yang tediri dari:
  • Pecok bakal yaitu berupa biji kacang-kacangan, jagung, kluwak, kemiri, telur ayam mentah dan masi banyak lagi. Semua itu ditempatkan dalam satu wadah besar.
  • Gecok mentah yang terbuat dari daging sapi mentah yang sudah dipotong-potong lalu dibumbui bawang, lombok, garam, kencur, santan yang kemudian diwadahi lalu diletakan di pojok-pojok ruangan. Diletakan pada malam hari.
  • Buncalan diletakan, seperti setiap pintu, sumur, toilet, pawuhan ( tempat sampah ), regol  (gapura masuk halaman ),perempatan jalan terdekat, sungai terdekat,jembatan terdekat.
Selain berbagai macam sesajen seperti buncalan tadi, masih ada dua lagi jenis sesajen yang dibuat sebelum memulai hajatan nikah yaitu :
v  Pendheman. Sajen ini ditanam di depan kobongan atau krobongan ( sekat ruangan utama, tempat pengantin berdua biasanya duduk berjajar ), di dapur, dan di petanen ( kamar di belakang krobogan biasanya untukmenyimpan hasil panen atau untuk menyimpan bahan baku yang akan diolah selama hajatan ). Zaman sekarang banyak rumah berlantai yang dilapisi porselen, maka sajen tersebut cukup diletakkan di dekatnya saja.
v  Caos dhahar. Sajen ini diletakkan didekat gamelan ( musik jawa ). Zaman sekarang ditambah lagi di dekat perangkat sound system dan di dekat genset ( generator pembangkit listrik ).
 3.      Upacara menyiagakan beras di pedharingan. Maksudnya adalah bapak ibu yang mempunyai hajatan sudah siap untuk memakai pakaian jawa. Diamana ibu memakai nyamping tuluh watu dan kebaya lurik dengan menggendong bakhul berisi beras sedangkan bapak mendampingi dengan memakai beskap landhung, udheng, nyampingan menuju ke pedharingan dalam rumah untuk memasukan beras. Pedharingan adalah tempat penyimpanan beras keluarga.
4.      Upacara menanak nasi . Upacara ini dilakukan oleh Ibu dibantu dengan Bapak dimana Bapak mengambil beras dan air kemudian Ibu mencuci beras dan dibawa ke dapur lalu bapak menyalakan api. Setelah itu kegiatan menanak nasi dilanjutkan orang lain.
5.      Upacara pasang tuwuhan, yang bermaksud agar kedua pengantin kelak mendapatkan keturunan yang baik. Kegiatan ini dilakukan di depan rumah ataupun di pintu kamar mandi calon pengantin wanita. Tuwuh atinya tumbuh sedangkan tuwuhan berarti tumbuh-tumbuhan. Jenis tumbuh-tumbuhan yang dipakai yaitu pisang raja yang sudah masak di pohon 2 tandan melambangkan kelak agar pengantin menjadi orang besar dan berwibawa. Cengkir gading 2 tangkal yaitu kelapa muda yang masih berwarna kuning melambangkan bahwa niatanya punya hajat sudah bulat. Tebu wulung 2 batang melambangkan bahwa yang punya hajat teguh pendirian dalam mengawinkan putra putrinya. Daun keluwih (berlebih) 2 ikat melambangkan semoga penyelenggaraan mantu tidak kurang bahkan diharapkan lebih. Daun ilalang 2 ikat melambangkan semoga hajat perkawinan tidak ada halangan suatu apapun. Daun lainnya 2 ikat melambangkan agar hajatan tidak ada gangguan. Ranting dan daun beringin 2 ranting melambangkan semoga hajat perkawinan selalu dalam perlindungan Tuhan. Padi kuning bulu 2 ikat melambangkan semoga pengantin kelak selalu mendapatkan rejeki yang melimpah. Dahan dan bunga/bungkah buah kapas 2 tangkai melambangkan semoga pengantin kelak selalu sejahtera cukup sandang dan pangan bahkan papan. Pengaron (barang keramik semacam kuali) berisi kembang setaman 1 buah melambangkan suatu penghormatan kepada Dewa penjaga wisma dan Dewi Sri.
Proses pernikahan adat jawa dilanjutkan dengan acara siraman dan dodol dhawet, yang dilakukan sebagai proses pembersihan jiwa dan raga yang dilakukan sehari-hari sebelum ijab kobul. Ada tujuh pitulungan ( penolong ) yang melakukan  proses siraman. Air yang digunakan untuk memendikan pengantin tersebut merupakan campuran dari kembang setaman atau yang disebut dengan “Banyu Purwitosari” yang diambilkan dari tujuh sumber mata air ( sumur ). Ketika memandikan si calon pengantin ini dilakukan secara bergiliran, dimulai dari siraman oleh orang tua calon mempelai, kemudian oleh pemaes atau dukun manten yang kemudian dilanjutkan dengan memecahkan kendi oleh ayah pengantin perempuan sampai pecah dengan mengucapkan doa yang kira-kira bunyinya sebagai berikut : “ Niat ingsun ora mecah kendhi, nanging mecah pamore anakku “ artinya : Niat saya bukan memecah kendi, tetapi memecah pamornya anak saya. . Pesta siraman biasanya dilakukan atau diadakan di siang hari, sehari sebelum  acara pernikahan. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Saat upacara siraman berlangsung, orangtua yakni bapak menggunting rambut anak perempuanya yang memiliki makna bahwa pengantin siap untuk menikah. Kemudian kedua orangtua pengantin perempuan menggendong anak mereka yang melambangkan bahwa mereka siap mengentaskan seorang anak. Setelah upacara siraman selesai, pengantin masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian, serta mulai untuk dipasangkan paes atau dirias yang pada setiap ukiranya atau hiasanya mengandug banyak arti dan filosofi tentang hidup. Selain mempelai wanita yang melakukan siraman, biasanya mempelai laki-laki juga demikian. Biasanya pihak keluarga mempelai wanita mengirim air ke keluarga calon pengantin laki-laki untuk dimandikan kepada pengantin laki-laki. Tentu saja kalau tempatnya tidak terlalu jauh.
Mengapa harus susah-susah mengirim air untuk dimandikan pada calon pengantin laki-laki ? Karena air untuk memandikan kedua mempelai ini diambil dari tujuh sumber yang mungkin tidak mudah dicari. Belum lagi air ini sudah diberi mantra-mantra oleh juru sembaga ( dukun manten ), ditambah bunga-bunga yang disebut sekar setaman ( mawar, melati, kantil, kenanga ) yang menambah harumnya air.
Ketika proses siraman, juga diadakan acara dodol dhawet, maksudnya bapak dan ibu calon pengantin perempuan menjual dawet. Pembelinya adalah tamu-tamu yang diundang, para tetangga, dan sanak keluarga. Zaman dulu, uang yang digunakan dari pecahan genting, tetapi dengan kemajuan jaman, telah dibuat kreasi oleh para seniman dengan koin yang berbuat dari tembikar ( tanah liat yang dibakar ) dan dihiasi nama calon pengantin laki-laki dan perempuan.
Ibunya yang melayani menjual dawet, sedangkan ayah sambil menggendong bakul ( keranjang kecil ) menerima uang koinnya. Ayahnya juga yang memegang payung untuk memayungi ibu yang melayani pembeli.
Upacara adat atau ritual ini mengandung doa atau harapa permohonan kepada Tuhan Ynag Maha Kuasa agar besok waktu upacara pernikahan nanti banyak tamu yang berdatangan memberi doa restu. Begitu banyaknya tamu-tamu yang berdatangan sehingga berjubel seperti cendhol yang ada didalam dawet tersebut.
Setelah dawet yang dijual habis, dan tamu-tamu pamit pulang, uang ( koin ) hasil penjualan diberikan kepada calon pengantin perempuan yang tadi menunggu di dalam kamar. Pemberian ini sebagai lambang pemberian terakhir dari orang tuanya, karena selanjutnya tugas memberikan kesejahteraan akan diambil alih oleh calon suaminya nanti.
            Sesudah siraman selesai pada malam harinya dilanjutkan dengan suatu slametan midadareni. Menurut anggapan, malam midodareni dipandang sebagai malam yang paling suci. Sebab pada saat ini pengantin perempuan didatangi para widadari ( bidadari ). Sehubungan dengan anggapan ini Difford Geertz menagtakan bahwa malam midodareni merupakan puncak upacara sakral dari rangkaian upacara perkawinan. Dalam upacara midodareni ini tampak pula sifat ritusnya. Sifat ritusnya yaitu pada saat malam midodareni, calon mempelai perempuan dengan berpakaian sederhana didudukkan di muka senthong tengah. Didalam masyarakat Jawa yang sebagian besar sebagi petani, maka senthong tengah mempunuai arti megis dan sakral. Anggapan sakral ini berhubungan dengan mata pencaharian hidup mereka sebagi petani. Menurut anggapan mereka, senthong tengah ini merupakan tempat istirahat yang disediakan untuk menghormati Dewi Padi atau Dewi Rumah Tangga yaitu Dewi Sri.Oleh sebab itu, senthong tengah kadang-kadang disebut pula petanen atau pendaringan yang maksudnya tempat istirahat Dewi Sri. Adapun maksud mempelai perempuan didudukan di muka senthong tengah agar mendapat restu Dewi Sri, yang kemudian diharapkan menjadi seorang yang pandai mengatur rumah tangga.
Disamping itu, sifat ritus malan midodareni dapat pula dilihat dari adanya kelengkapan syarat-syarat upacara pengantin antara lain, kembar mayang, yang  diambil dari pembuatnya ( biasanya tukang rias manten atau dhukun manten ), sebanyak dua buah yang sama bentuknya. Sirih yang diberi hiasan titik-titik dengan kapur ( injet, jawa ). Cengkir, kelapa yang sangat muda dan bunga setaman. Tentang persyaratan- persyaratan untuk melengkapi pada upacara malam midodareni ada beberapa penafsiran yang bersifat ekonomi-paedagogis, terutama syarat-syarat seperti kembar- mayang dan daun sirih. Kembar mayang ini semacam bouqette dai janur ( daun kelapa muda ), berupa bunga mayang ( = bunga pinang )beberapa jenis daun-daunan, kelapa gading kesemuanya itu berbentuk pohon hayat ( pohon surga ) dengan nenas atau bunga pisang ( ontong, jawa ) sebagai mahkota di atasnya. Hal ini melambangkan pohon kehidupan dan pohon yang dapat memberikan segala sesuatu yang diinginkan.
Apabila diperhatikan jenis tumbuhan-tumbuhan yang dipakai untuk merangkai kembar mayang, dapat memberikan penafsiran lain. Kembar mayang mempunyai sebutan asli yaitu gagar mayang artinya mayang ( bunga pinang ) yang telah mengurai ( mekar ). Berkembang penuh. Kembar mayang memberikan arti kiasan yang menunjukkan adanya unsur-unsur pendidikan seks. Si gadis, mempelia wanita, dikiaskan sebagai myang yang telah berkembang, sehingga tampak indahnya. Dengan keindahan tersebut, mayang tersebut akan menimbulkan kegairahan sang kumbang, mempelai laki-laki, datang hinggap untuk menghiap sari madunya. Sedangkan perlengkapan lain yaitu sirih yang diberi titik-titik kapur, juga mengandung arti kiasan yang mempunyai unsur-unsur pendidikan seks.
Berdasarkan penafsiran yang ada, maka kembar mayang dan juga sirih serta kelengkapan manten lainya, merupakan arti kiasan yang mendektkan pada arti pokok perkawinan secara biologis. Disamping ulasan-ulasan tafsiran seperti tersebut diatas, berdasarkan bentuk kembar mayang yang menyerupai wujud gunung itu, melukiskan eksistensi manusia yang sebenarnya menampakan bagian kecil dunia. Van Peursen mengatakan,bahwa manusia dan alam raya saling meresapi dan oleh karena itu kekuatan manusiawi dan ilahi juga saling melebur. Poerbatjaraka dalam ulasanya tentang ajaran filosofi dan mistik, juga menunjukkan hubungan manusia dengan dunia alam raya yang antara lain tampak dalam perwujudanya dalam atau sebagai gunung. Untuk lebih jelasnya ada kutipan isi mistik seperti dibawah ini :
 Sifatnya yang halus, adalah Dunia. Apabila diringkas, adalah gunung. Bila diringkas yang ebih halus, adalah manusia.
Dari kutipan ditas dapat dipahami bahwa manusia dan gunung berasal dari satu yaitu merupakan jelmaan Bathara Siwah. Oleh sebab itu, dengan kembar mayang yang disertakan pada malam midodareni, merupakan petunjuk bahwa manusia dan gunung merupakan satu kesatuan jelamaan Bathara Siwah. Artinya gunung dengan tumbuhan yang ada merupakan kehidupan bagi manusia. Melalui mitos kembar mayang inilah terlihat dan terasakan sifat-sifat ritus daripada malam midodareni. Segala sesuatu yang yang diadakan untuk melengkapi upacara malam midodareni disesuaikan dengan pandangan atau anggapan-anggapan yang religius. Oleh sebab itu, mempelai wanita pada malam midodareni belum boleh tidur sebelum jam dua belas malam, sebab ada anggapan bahwa pada ssat-saat itu para bidadari datang untuk menyaksikan mempelai wanita.
Ketika slametan midadareni berlangsung, para tamu disuguhi berbagai jenis panganan yang berasal dari beras ketan yang dilumatkan pada suatu talam besar hingga berbentuk suatu piringan biskuiat yang tipis. Panganan ini dimaksudkan untuk melambangkan keinginan bahwa setiap orang dalam slametan ini sudah bebas dari perasaan iri, benci,dll yang tersembunyi. Disamping berbagai makanan dari beras ketan tersebut, ada juga bubur tiga warna yakni merah, putih dan campuran.

             Dibuat dari sekam beras yang ditumbuk,bubur ini disebut paru-paru. Orang jawa atau kebanyakan dari mereka  percaya bahwa letak kehidupan adalah bafas manusia . Paru-paru dimaksudkan untuk memuliakan “ roh hidup yang ada didalam nafas orang yang akan dikawinkan itu “. Dalam slametan midadareni hanya pengantin perempuan yang hadir dalam acara tersebut sedangkan pengantin laki-lakinya tidak. Sesudah slametan, pengantin perempuan mengenakan pakaian yang sangat sederhana, gadis itu akan di dudukan dikamar dari jam enam sore sampai tengah malam dan ditemani oleh keluarga atau kerabat dekat perempuanya. Biasanya mereka memberi saran dan nasehat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin perempuan akan datang berkunjung, dan semuanya harus wanita.  Sementara gadis itu duduk disana, ibunya melaksanakan upacara membeli kembang mayang “ bunga – bunga yang sedang bermekaran “. Kembang mayang adalah tumbuh-tumbuhan gabungan yang besar. Batang-batangnya terbuat dari batang pisang, kumpulan bunga-bunganya dari berbagai deadunan yang diberi lekuk-lekuk di pinggiranya dan dililiti ranting-ranting kelapa muda. Kesemuanya mewakili keperawanan kedua pengantin dan dua buah kembang mayang dibuat untuk masing-masing pengantin.
Selanjutnya upacara Ijab Kabul, orang jawa biasanya menganggap atau percaya kalau lahir, menikah dan meninggal adalah takdir. Upacara ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan perkawinan atau pernikahan. Setelah upacara” ijab kabul”.
          Kemudian barulah upacara perkawinan berlangsung. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan ( pertemuan ) dan selalu diadakan dirumah mempelai perempuan. Ketika upacara panggih, kembang mayang dibawa keluar rumah dan diletakkan di penyimpanan dekat rumah yang tujuanya untuk mengusir roh jahat. Menurut tradisi anak laki-laki harus memberikan dua macam hadiah perkawinan kepada pihak perempuan, yang disebut sebagai paningset yang biasanya berupa pakaian dan perhiasan yang sering diberikan dengan sebuah slametan.”  dilanjutkan dengan upacara panggih yaitu pertemuan antara pengantin perempuan dan pengantin laki-laki di depan rumah yang dihias dengan Tarub. Pemasangan Tarup bagi orang jawa dianggap wajib karena mereka (khususnya yang masih menganut unsur-unsur kejawen ) meyakini Tarup itu untuk persembahan atau jelmaan dari Jaka Tarup. Bisa percaya atau tidak di salah satu daerah di Rembang tepatnya di dk. Tajen Kec. Pamotan, akan di adakan upacara perkawinan, kebetulan sepasang calon pengantin ini tinggal berdekatan alias tetanggaan, nah pihak keluarga perempuan ini tidak percaya denagn mitos taup tersebut, sehingga tidak membuat tarup di depan rumahnya, namun entah kebetulan atau bagaimana malam harinya setelah proses perkawinan selesai, pengantin laki-laki tadi mendadak menjerit-jerit, marah-marah seperti orang yang kesurupan.
Sekarang setelah segala sesuatunya siap untuk pertemuan yang sebenarnya. Sebuah kain sarung tua milik pengantin perempuan dibentangkan di depan rumah di tempat mereka akan dipertemukan, tempat yang sudah dipilih berdasarkan petungan , arah kedatangan pengantin laki-laki pun sudah ditetapkan dengan pertimbangan naga dina. Di ujung kain diletakkan sebuah mangkuk kuningan yang berisi air bunga  dan sebutir telur ayam dan dibawahnya sebuah kuk tenggala lembu. Sebuah sajen khusus ditaruh di sentong tengah yang terdiri dari kedelai, buncis hijau, buncis kuning, bawang, merica, secarik kain batik dalam bambu, beras, berbagai macam bahan jamu, cermin, dua sisir pisang, kelapa muda yang sudah dikupas, sebutir telur, sebuah kendi kecil berisi air, dan lampu kecil minyak tanah. Sajen tersebut mungkian saja di letakkan disekitar tempat-tempat yang berbahaya, sebutir kelapa dilemparkan ke sumur dan dukun manten berkeliling memercikkan air yang telah diberi mantera agar harta benda keluarga itu tidak hilang, rusak atau dicuri selamaupacara perkawinan itu.
            Lanjut ke upacara setelah kepanggihan yakni upacara “balangan suruh, pengantin wanita bertemu pengantin laki-laki. Mereka mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar 3 meter. Mereka mulai melempar sebundel daun suruh atau jeruk di dalamnya bersama dengan benang putih. Mereka melakukanya dengan keinginan besar dan bahagia, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno, daun bendel tersebut mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan melempar daun bendel satu sama lain, akan menunjukan kalau mereka benar-benar orang sejati bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau pengantin perempuan. Menurut kepercayaan mereka, siapa yang duluan mengenai sasaran akan menjadi pasangan yang dominan dalam perkawinan itu. Namun biasanya ada aturan tidak tertulis kalau pengantin perempuan harus berusaha mengalah dalam  bagian ini.
           Setelah upacara balang suruh selesai lalu dilanjutkan dengan upacara “ wiji dadi “, yakni pengantin laki-laki menginjak telur hingga pecah dengan kaki kanannya, (putihnya melambangkan hilangnya kesucian diri dan kuningnya melambangkn pecahnya selaput dara ). Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air dicampur dengan bermacam-macam bunga. Mengartikan bahwa pengantin laki-laki siap menjadi ayah serta suami yang bertanggung jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya  atau dari sumber lain hal tersebut melambangkan sikap teas laki-laki untuk menurunkan keturunanya melalui seorang perempuan yang menjadi istrinya dan menerimanya dengan segala kesucian hatinya. Kemudian setelah perbuatan itu dilakukan, pengantin perempuan tadi bangkit, barbalik menghadap rumah, berdiri disisi pengantin laki-laki di atas kedua kuktenggala lembu, yang melambangkan bahwa hanya mereka berdualah yang benar-benar terlibat, yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi diantara suami dan istri. Namun kadang-kadang kemudian masing-masing mencecap air bunga dari gayung batok kelapa yang diberikan oleh ibu mempelai wanita, dan sehelai selendang dilingkarkan melingkupi kedua mempelai bersama ibu mertua seakan-akan ia menggendong keduanya dengan selendang, kain yang biasa digunakan untuk menggendong bayi sampai ia bisa berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ibu mempelai wanita telah mengambil menantunya sebagai anaknya sendiri bersama dengan anak perempuanya. Sedangkan pemberian air bunga melambangkan keinginannya untuk tetap merawat keduanya.
Berikutnya Pupuk, ibu mempelai perempuan mengusap mempelai mnaenantu laki-laki sebagai pertanda iklas menerimanya sebagai bagian dari keluarganya. Setelah kegiatan pupuk, diteruskan dengan Sinduran, artinya disini berjalan perlahan-lahan dengan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa kedua mempelai sudah diterima sebagai keluarganya.
Kemudian mempelai memasuki rumah, didudukan tanpa bergerak. Diam tanpa gerak biasanya diasosiasikan dengan kekuatan spiritual menurut alam pikiran orang jawa. Duduk dengan ketenangan mutlak, tanpa makan atau tidur, memusatkan pikiran pada titik tertentu hingga pikiran menjadi kosong, seperti sebuah tapa yaitu jalan utama ke arah kekuatan dalam dan kekuasaan luar.  
Setelah upacara sinduran, dilanjutkan lagi dengan upacara Timabang, yaitu kedua mempelai di pangkuan bapak mempelai perempuan sebagai tanda kasih sayang orang tua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
Setelah upacara Timbang, yaitu upacara Kacar-kucur, yang dituangkan ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah. Kemudian upacara Dahar Klimah, dimana kedua mempelai saling menyuapi satu sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah maupun senang.
Dukun manten yang menyelenggarakan semua urusan sejak upacara dimulai, terus membacakan mantera. Setelah membacakan mantera sebuah slametan diadakan dengan satu lapis nasi kuning di atas lapisan nasi putih yang melambangkan cinta dan kesucian di tiap-tiap piring daun pisang. Pasangan pengantin makan bersama-sama dan menyuapi satu sama lain. Pertama-tama pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kananya dan diberikanya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakanya, dia melakukan hal yang sama untuk suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Selanjutnya piring pengantin laki-laki ditutupkan diatas piring pengantin wanita menjadi satu kesatuan dan dalam keadaan seperti itu di tempatkan di sentong tengah selama lima hari. Kalau nasi itu mulai basi, itu menendakan bahwa si gadis tidak perawan lagi dan perwujudan perkawinan telah terjadi, tetapi hanya anggota-anggota keluarga terdekat yang diperbolehkan untuk memeriksa pertanda ini.                                                                                                                                
 Selanjutnya setelah upacara dahar kembul, adalah upacara sungkeman, kedua mempelai bersujud kepada kedua orangtua untuk memohon doa restu dari orangtua mereka masing-masing. Selama sengkeman sedang berlangsung, pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya.
Setelah sungkeman adalah Kirab yakni kirap kanarendran dan kirab kasatrian. Acara ini lebih bersifat hiburan, bukan merupakan ritual baku dalam mperkawinan. Kirab artinya dipertontonkan, kanarendran seperti narendra ( raja ), kasatrian seperti satria.
Dalam acara kirab kanarendran, pengantinberdua dengan memakai busana seperti raja dipertonotonkan kepada tamu yang hadir, sambil barjalan dari tempat duduk pelaminan menuju kamar untuk ganti busana kasatrian.
Seperti tdi dijelaskan diawal, pada umumnya yang menyelenggarakan hajatan mantu adalah pihak orangtua pengantin perempuan. Namun adakalanya pihak orangtua pengantin laki-laki juga ingin menyelenggarakan hajatan mantu, yang dinamakan atau dikenal dengan Ngunduh Mantu.
Hajatan mantu diselenggarakan berselang lima hari ( orang jawa menyebut sepasar ) darihajatan di tempat pihak pengantin perempuan. Ngunduh artinya memanen atau memetik, mantu diartikan hajatan mantu. Secara umum diartikan mengadakan hajatan mantu sendiri, setelah hajatan mantu di rumah besan selesai.
Sebelum berangkat, lebih dulu diadakan selamatan dengan maksud mohon doa restu agar perjalan ke rumah pengantin laki-laki diberi kelancaran dan keselamatan.
Pada saat bersamaan dirumah pihak pengantin laki-laki sudah dipersiapkan acara penerimaan dan penghormatan sepantasnya.Pengantin berdua yang diiringi seluruh keluarga datang ditempat acara. Sesampai di gapura tempat upacara, pengantin dijemput orangtua pengantin laki-laki. Ibu pengantin memberikan kalungan berupa untaian bungan melati kepada pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Acara ini mengganbarkan bahwa peristiwa pernikahan tersebut telah diakui dan diterima oleh seluruh keluarga, sekligus membawa pengantin perempuan masuk ke dalam kerabat pengantin laki-laki.
Setelah dikalungi untaian bunga, pengantin berdua diberi minum toya wening. Toya artinya air, wening artinya jernih. Acara ini memberikan peringatan kepada pengantin berdua agar dalam membina keluarga selalu dengan penuh kesabaran dan kejernihan hati.
Pada waktu upacara ngunduh mantu tersebut juga dilakukan pemberian jenang tuwa ( nama tua ) kepada pengantin laki-laki.


DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. Abangan,Santri,Priyayi Dalam Masyarakat Jawa : Pustaka Jaya
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta : PT Grafiti Pers
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 
Utomo, Sutrisno Sastro.2004. Upacara daur hidup adat jawa. Semarang : effhar & dahara prize

Tidak ada komentar:

Posting Komentar