A.
Latar
Gambaran Kebudayaan Masyarakat
Pekalongan
merupakan salah satu kota yang terletak di wilayah pesisir utara
Provinsi Jawa Tengah yang berjarak kurang lebih 101 km ke arah barat dari
Ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Secara geografis, Pekalongan memiliki
posisi strategis berada di jalur penghubung antara kota-kota di wilayah
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jalur penghubung berupa jalur utara arteri
Pulau Jawa atau biasa disebut jalur pantura. Jalur ke barat dari Pekalongan
menuju Tegal, Pemalang dan Cirebon, sedang ke timur menuju Kendal dan Semarang,
serta ke selatan bisa menuju Banjarnegara untuk menuju jalur arteri selatan
Pulau Jawa.
Kota
Pekalongan membentang antara 6º50’42” – 6º55’44” LS dan 109º37’55” – 109º42’19”
BT. Luas Kota Pekalongan adalah 45,25 km² atau 0,14 % dari luas wilayah
Provinsi Jawa Tengah yang seluas 3,254 ribu km² .Jarak terjauh dari Utara ke
Selatan mencapai ± 9 km, sedangkan dari Barat ke Timur mencapai ± 7 km.
Desa
Krapyak Lor, Kecamatan Pekalongan Utara merupakan salah satu desa yang berada
sekitar 200 meter dari bibir pantai utara daerah Pekalongan. Desa Krapyak Lor
sendiri memiliki salah satu pantai yang sangat terkenal di Pekalongan yakni
Pantai Slamaran. Wilayah Desa Krapyak Lor banyak terdapat lahan gambut khas
pesisir pantai yang dimanfaatkan sebagai petak lahan untuk pertambakan ikan dan
udang disamping juga terdapat lahan yang kosong dan ditumbuhi tanaman khas
rawa. Meskipun berdekatan dengan daerah pantai tidak membuat masyarakat yang
ada disana memiliki mata pencaharian sebagai nelayan saja ini diakibatkan bahwa
akses menuju kota sudah sangat mudah terlebih jarak yang tidak terlalu jauh
dengan pusat kota dan pusat pemerintahan. Namun, ketidakberaturan mata
pencaharian dan tingkat pendidikan yang tidak menentu menjadikan cultur
masyarakat didaerah pesisir menjadi carut marut baik untuk permasalahan ekonomi
dan spiritual.
Pekalongan
merupakan kota yang dikenal juga dengan batik dan keragaman etnis yang ada
tinggal disana, yang paling dominan adalah kaum pribumi, Arab , Tionghoa dan
keturunanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat yang terkenal egaliter
yang lebih bisa menerima apapun yang masuk dan keluar dalam artian secara
mobilitas kebudayaan baik perdagangan atau bahkan keagaman dan pola berfikir.
Kepercayaan
masyarakat Jawa terhadap hal – hal mistis, sudah sangat mendarah daging, bahkan
kita begitu saja percaya tentang mitos Kanjeng Ratu Roro Kidul, yang asal-
usulnya masih terus diperbincangkan. Namun itulah Indonesia, selalu menelan
habis semua informasi maupun cerita yang mampir ditelinga kita. Karena mitos
adalah sesuatu yang universal, artinya masyarakat di manapun di dunia ini
mengenal mitos meskipun ada yang mengalami penurunan terutama bersamaan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat yang sudah maju pun masih
mempercayai adanya mitos. Di Barat ada mitos bahwa angka 13 merupakan angka
sial. Masih banyak dijumpai hotel-hotel atau apartemen bertingkat yang
menghindari angka 13 yang seharusnya menunjukkan tingkat tiga belas. Namun
mitos hanya “mengikat” bagi masyarakat yang mempercayainya. Bagi suatu
masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kepercayaan terhadap mitos masyarakat
lain jelas mitos itu tidak berarti sama sekali. Mitos muncul berkaitan dengan
keterlibatan masyarakat yang bersangkutan. Bagi bangsa Timur misalnya, angka 13
tidak memiliki makna tertentu. Bagi bangsa Timur dan mungkin bangsa-bangsa
lain, yang tidak terlibat dengan mitologi angka 13, angka 13 tidak memiliki
makna tertentu kecuali ia adalah urutan angka setelah 12 dan sebelum 14.
B.
Persebaran
Budaya
Masyarakat
pesisir pantai adalah masyarakat yang egaliter namun untuk beberapa segmen
mereka memegang teguh dan kuat apa yang menjadi peninggalan dari leluhur dan
cikal bakal masyarakatnya, masyarakat yang memilik kompleksitas tinggi tentang
alam dan sisilain kehidupan baik secara mikrokosmos maupun makro kosmos baik
secara riil maupun mistis. Karakter masyarakat juga tergantung dari berbagai
aspek, misalkan tempat bermukim masyarakat tersebut berupa pegunungan, dataran
rendah, dan pantai. Kesemuanya menimbulkan karakter dan perilaku masyarakatnya
terhadap pantai dan alam laut ditempat yang bersangkutan. Hal tersebut juga
menentukan sistem bertahan hidup, sistem lembaga sosial, sistem kepercayaan,
bahasa dan yang paling kental adalah sistem religi dan kepercayaan
masyarakatnya. Terlebih dimasyarakat Indonesia yang hampir daerah kepulauannya
bermacam-macam karakter lautnya yang dalam penelitian ini yang akan menjadi fokus
adalah masyarakat pesisir pantai utara yang ada di Jawa.
Masyarakat
pesisir yang masih konvensional dan tradisional dalam kehidupan sosialnya
selalu percaya bahwa alam dan kehidupanya harus dihormati dan memiliki tempat
tersendiri dalam pola pikir bahkan perilaku mereka dan juga permasalahan
kepercayaan dan kebudayaan yang harus dilestarikan, untuk dijadikan
identifikasi masyarakat dengan masyarakat yang lainya. Selain itu juga untuk
menjaga kelestarian alam dan budaya tentunya untuk kepentingan yang lebih besar
adalah upaya sebagai strategi penyesuaian untuk bertahan dengan kehidupan itu
sendiri.
Untuk
menjaga itu semua ada konsep mitos. Mitos adalah salah satu unsur dalam suatu
religi yang menjadi dasar kehidupan sosial buadaya manusia (Twikromo, 2005 : 5).
Mitos lahir dan berkembang dalam masyarakat yang tersebar di berbagai pelosok
nusantara, termasuk yang lahir dan berkembang di pesisir pantai utara pulau Jawa,
khususnya masyarakat Pantai Slamaran, DesaKrapyak Lor,Pekalongan. Mitos cerita
rakyat kini bersaing dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat sehingga
menyebabkan semua yang berhubungan dengan mitos cerita rakyat nyaris hilang di
era globalisasi ini.Akan tetapi, masyarakat yang termasuk dalam negara
berkembang masih memegang dengan teguh mitos yang berkembang disekitar
masyarakat tersebut. Mitos tersebut misalnya, mitos tentang Dewi lanjar yang
berkembang pada masyarakat pesisir pantai utara Jawa. Mitos ini banyak
dipercaya oleh kebanyakan daerah yang berada di pesisir pantai utara dari yang
paling barat adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang hingga
daerah yang peling timur adalah kabupaten Rembang. Akan tetapi kepercayaan
tentang keberadaan Dewi Lanjar sebagai penguasa pantai utara Jawa ini tidak
hanya diyakini oleh masyarakat yang tinggal di daerah yang dekat dengan laut
bahkan dipercaya pada masyarakat yang terhitung jauh dari bibir pantai.
Tentunya dengan cerita dan versi yang berbeda-beda pula sesuai dengan keadaan
dan bagaimana penyebaran tentang mitos Dewi Lanjar. Kesemuanya memiliki fungsi
dan kearifan lokal yang terkadang kontroversial dan kebermanfaatan yang
bermacam-macam pula.
Asal-Usul
Dewi Lanjar
Pada
jaman dahulu kala di Pekalongan terdapat sebuah kadipaten yang merupakan
wilayah Kasultanan Mataram. Kadipaten ini dipimpin oleh seorang adipati yang
pertama memerintah di Kadipaten Pekalongan. Adipati itu memerintah dengan arif
dan bijaksana sehingga sangat dicintai oleh rakyatnya.
Tersebutlah seorang
gadis berparas cantik jelita bernama Siti Khatijah, puteri dari Sang Adipati
Pekalongan. Karena kecantikannya yang telah tersohor, banyak pemuda yang
tertarik untuk meminangnya. Sang Adipati pun bertindak cepat dengan berusaha
menjodohkan puteri kesayangannya dengan pangeran pilihan Sang Adipati. Siti Khatijahdipaksa
menuruti kehendak Sang Ayah walaupun dia tidak menyukai perjodohannya. Siti
Kahdijah sebagai seorang anak yang berbakti berusaha tegar menghadapi
perjodohan hingga tibalah saat dimana pesta pernikahan dilangsungkan. Tetapi
hati Siti Khatijah tidak bisa dibohongi, ia tidak bisa menerima pilihan Sang
Ayah sehingga akhirnya memilih pergi meninggalkan istana. Dalam kebimbangannya
Siti Khatijah berjalan menuju utara hingga sampailah dia di sebuah pantai yang
sekarang bernama Pantai Slamaran. Hal ini senada dengan pernyataan hasil
wawancara denganjuru kunci pesanggrahan Dewi Lanjar di Pantai Slamaran, Bapak
Absori (37 tahun) yaitu :
“.....Ibu Dewi Lanjar piyantun
Pekalongan asli putra putrinipun Bupati Pekalongan pertama. Nami aslinipun Siti
Khatijah. Ibu Dewi Lanjar dijodohkan orang tua seperti jaman Siti Nurbaya
tetapi gak mau. Tapi namanya anak mau gak mau harus nurut dengan pilihan orang
tuanya. Karena Ibu Dewi Lanjar itu kerabat Keraton kalo jaman sekarang ya ada
resepsian gitu ya, tapi Ibu Dewi Lanjar tetap tidak mau akhirnya kabur dari
rumah ke arah utara tepatnya di pantai ini (Slamaran) “.(Wawancara tanggal 2Junitahun
2012)
Di tepi Pantai
Slamaran, Siti Khatijah terus berjalan dengan tetap memakai baju pengantinnya.
Tanpa disadari Siti Khatijah, ada seorang nelayan yang melihatnya hingga
nelayan tersebut hanya tercengang ketika Siti Khatijah berjalan di atas lautan
tanpa tenggelam hingga menuju tengah lautan. Berita menghebohkan inipun
sampailah di telinga Sang Adipati. Sang Adipati segera memerintahkan pasukannya
untuk mencari puterinya sampai ditemukan. Akan tetapi, pencarian selama tiga
hari tiga malam itu tidak membuahkan hasil. Sang Adipati yang terlanjur malu
atas kaburnya Siti Khatijah dalam pesta pernikahannya pun memutuskan
mengumumkan bahwa Siti Khatijah telah meninggal. Sesuai tradisi Islam, Sang
Adipati memerintahkan mengadakan tahlilan untuk mendoakan Siti Khatijah yang
telah meninggal. Pada malam ke-7 tahlilan, Siti Khatijah mendatangi istana
Kadipaten Pekalongan dan berpesan bahwa dia tidak meninggal tetapi masih hidup
di alam ghaib. Hal ini senada dengan pernyataan hasil wawancara dengan juru
kunci pesanggrahan Dewi Lanjar di Pantai Slamaran, Bapak Absori (37 tahun)
yaitu :
“........Lha di pinggir pantai ini sore
hari ada seorang nelayan melihat kok ada perempuan cantik pakai baju pengantin
lari di tepi pantai bahkan sampai masuk ke laut tapi gak tenggelamlah gak mati.
Nah warga sekitar Pekalongan dari pihak keluarga Keraton mencari kesana kemari
gak ketemu selama 3 hari 3 malam akhirnya pihak keluarga memutuskan mengabari
kalo calon pengantin perempuan meninggal. Lha karena di Pekalongan ini kalo ada
orang yang meninggal itu ada tahlilan sampai 7 hari kirim doa itu pas 7 harinya
Ibu Dewi Lanjar dateng tapi udah di alam gaib ”.(Wawancara tanggal 2Junitahun
2012)
Siti Khatijah
yang mendatangi istana Kadipaten Pekalongan berpesan kepada seluruh keluarganya
agar rakyat sekitar Kadipaten Pekalongan yang mengalami kesulitan dalam
kehidupan untuk dibantunya apabila mau menemuinya. Akan tetapi, Siti Khadijah
melarang rakyat Kadipaten Pekalongan untuk meminta kepadanya dengan alasan
rakyatnya telah menikmati segala nikmat duniawi dengan melimpahnya hasil bumi
masyarakatnya. Mendengar kabar bangkitnya Siti Khadijah dengan kesaktian yang
dapat mengabulkan keinginan seseorang, rakyat Pekalongan banyak yang
mempercayai bahwa sosok Siti Khadijah merupakan makhluk ghaib yang sekarang ini
lebih dikenal dengan sebutan Dewi Lanjar. Rakyat Pekalongan menyebut Siti
Khadijah dengan sebutan Dewi Lanjar karena dalam bahasa Pekalongan Lanjar
berarti seorang gadis yang menikah tetapi belum sempat berhubungan badan dengan
suaminya. Hal ini senada dengan pernyataan hasil wawancara dengan petugas tiket
Pantai Slamaran (Dinas Pariwisata dan Perhubungan Pekalongan), Bapak Casmadi
(48 tahun) yaitu :
“......Ibu Siti Khatijah pesen saya ini
belum meninggal jadi masih hidup tapi pindah alam lha dari warga sekitar
Pekalongan kalo mengalami kesulitan ekonomi masalah duniawi Insya Allah atas
ijin Allah saya bisa bantu. Makanya orang-orang jaman sekarang mengira Ibu Dewi
Lanjar itu seolah-olah makhluk ghaib macem jin atau setan padahal Ibu Dewi
Lanjar hanya manusia biasa. Lha bisanya dipanggil Ibu Dewi Lanjar lha itulah
tadi semacam orang yang sudah menikah tapi belum berhubungan itu kalo di
Pekalongan disebut Lanjar ”.(Wawancara tanggal 2Junitahun 2012)
Bagi sebagian
warga yang percaya, Dewi Lanjar memberikan satu kepercayaan untuk mendatangkan
berkah, ngalap berkah adalah salah satu jalan untuk menuju satu keinginan baik
rejeki secara material ataupun non material. Banyak cara yang ditempuh
orang-orang untuk mendapatkan berkah itu, ada yang menginap hingga
berhari-hari, ada yang bertapa, ada yang sekedar berdoa, bahkan dengan media
air mineral. Semua orang yang datang di ritus atau pesanggrahan yang diyakini
adalah pesanggrahanDewi Lanjar, memiliki keyakinan sendiri-sendiri dan
bermacam-macam. Meskipun ada yang sudah diberikan penjelasan bahwa meminta
secara langsung kepada Dewi Lanjar adalah salah satu bentuk kemusyrikan namun
masih banyak melakukan hal itu. Namun tidak sedikit pula yang berdoa langsung
kepada tuhan melalui perantara dan tempat pesanggrahan tersebut. Dewi Lanjar
memiliki pengaruh yang kuat unutuk mesyarakat yang mempercayai keberadaanya,
dan dianggap memiliki daerah kekuasaan dan kerajaan yang tidak hanya sebatas
pada wilayah Slamaran Pekalongan saja akan tetapi sepanjang pantai utara pulau
Jawa dari Cirebon hingga Rembang. Bahkan tidak sedikit yang mempercayai bahwa
Dewi Lanjar memiliki hubungan langsung dengan penguasa pantai selatan Jawa, Nyi
Roro Kidul. Hal ini senada dengan pernyataan hasil wawancara dengan pemilik
warung daerah Pantai Slamaran, Kunariyah (36 tahun) yaitu :
“.........Tapi cerita lain mengatakan
Ibu Dewi Lanjar itu semacam kaya kita minta pertolongan itu yang mengayomi
semacam memberi pager dari sepanjang pantai utara dari Rembang sampai Cirebon
intinya itu dari Pekalongan. Ibu Dewi Lanjar dan Nyi Roro Kidul itu masih ada
hubungan keluarga malah Nyi Roro Kidul itu yang tua Ibu Dewi Lanjar yang muda
ya kakak beradiklah makanya kalo orang habis dari Parangtritis mesti dapet
petunjuk udah kamu lari aja ke adek saya mesti larinya ke Pekalongan”.(Wawancara
tanggal 2Junitahun 2012)
Bagi rakyat
Pekalongan mitos tentang Dewi Lanjar merupakan suatu warisan kebudayaan dan
kepercayaan yang harus tetap dijaga kelestarianya. Banyak yang percaya bahwa
Dewi Lanjar merupakan salah satu tokoh nyata yang tidak hanya sekedar makhluk
mistis, Dewi Lanjar dipercaya memiliki kekuatan untuk menjaga kehidupan secara
mikro kosmos ataupun makro kosmos, dipercaya pula bahwa Dewi Lanjar adalah
tokoh spiritual keagamaan yang memiliki sejarah panjang setara dengan wali
Songo, dari itu Dewi Lanjar juga memiliki titel hajjah sebagai titel keagamaan Islam.Hal ini senada dengan
pernyataan hasil wawancara dengan petugas tiket Pantai Slamaran (Dinas
Pariwisata dan Perhubungan Pekalongan), Bapak Casmadi (48 tahun) yaitu :
“........Ibu Dewi Lanjar itu dulu waktu
diceritakan bapak saya pernah naik haji tapi gak tau tahun kapan. Bapak saya
saja juga gak tau namanya saja nerusin dari orang tuanya “.(Wawancara tanggal 2Junitahun
2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar