Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian
tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property
rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.
Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali
“jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”.
Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk yang tingkat partisipasi
pendidikan tinggi hanya 14 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan, Karena
perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah,
secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, jauh tertinggal dari standar
mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan
untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan
dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor
jasa pendidikan
tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
Hingga saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka
sektor jasa
pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan
pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu
untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas
sekali
bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan
tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun
pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit
mungkin adalah pendorong utamanya.
Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan
budaya. Pendidikan juga
sangat vital peranannya
dalam mentransfer nilai-nilai dan jati
diri
bangsa (van Glinken, 2004). Karena itu, setiap upaya
untuk menjadikan pendidikan
dan pelatihan sebagai komoditi yang tata perdagangannyta diatur oleh lembaga
internasional bukan oleh otoritas suatu negara, memang perlu disikapi dengan semangat
nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkembang.
Internasionalisasi dan Globalisasi
Internasionalisasi dan globalisasi adalah ibarat kembar siam yang hampir sama
bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya.
Atau dapat juga ditamsilkan sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda. Yang pertama adalah kepribadian yang baik, sopan, dan santun. Yang kedua, adalah kepribadian yang jahat, brutal dan gragas alias tamak.
Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah lama, atau bahkan sejak
awal kelahirannya telah berkenalan baik dengan internasionalisasi, kalau tidak mau
mengatakan bahwa pendidikan tinggi
adalah
buah dari internasionalisasi ilmu
pengetahuan, seni dan budaya. Karena menyadari manfaat besar
dan positif dari internasionalisasi, hampir tidak ada negara yang secara sadar mau memisahkan dirinya dari
arus internasionalisasi. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum jelas bahwa salah
satu
tujuan pendirian Repbulik Indonesia
amat
dijiwai oleh semangat internasionlisme yaitu
“...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … “
Globalisasi, menurut Stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antar negara, lembaga dan aktornya. Karena itu interdependensi antar Negara
yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki
keunggulan ekonomi dan teknologi.
Padahal, pada awalnya globalisasi bertujuan untuk membuka perluang bagi Negara-negara berkembang untuk meningkatkan
kesejahteraannya melalui perdagangan global.
Globalisasi yang dimotori
fundamentalisme pasar, beberapa pertanyaan sangat
perlu memperoleh perhatian dari dunia pendidikan tinggi. Pertama, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan tinggi ketika ekspansi globalisasi kapitalisme neo-liberal telah menjadi kenyataan? Kedua, benarkah globalisasi kapitalisme yang oleh Robertson (2003) disebut sebagai globalisasi gelombang
ketiga itu menawarkan peluang yang lebih
menjanjikan bagi pendidikan
tinggi Indonesia untuk mewujudkan
pendidikan bermutu internasional sebagaimana yang mungkin diyakini
oleh banyak ahli ekonomi?
Logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang
ketiga diturunkan dari idelologi neo-liberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya
dengan ideologi libertarianisme
yang
direntang melampaui batasnya yang ekstrim. Seperti halnya
dengan libertarianisme yang membela kebebasan pasar
dan menuntut
peran negara yang terbatas (Kymlycka, 1999: 95),
neo-liberalisme percaya pada
pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran
yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan
pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk
menjamin kemakmuran dan
peningkatan kesejahteraan semua orang
dan individu (Gelinas, op. cit., 2003: 24).
Bekerja melalui regulasi yang dilakukan
oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2003) disebut sebagai The Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia, dan WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga, perlahan-lahan akan tetapi
pasti, segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan
dari
komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu
terjadi terutama
melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi
nasional mereka, yang terjadi dalam lima tahapan perkembangan berikut (Gelinas, ibid: 31).
1)
Deregulasi sistem keuangan internasional
Bretton Woods, yang terjadi sejak tahun
1971, dan yang telah
mengubah semua aset
keuangan dunia ke dalam kapital spekulatif.
2)
Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematik dan bertahap, yang terjadi sejak
tahun 1980-an melalui program-program penyesuaian
struktural (structural adjustment)
di bawah pengawalan IMF dan
Bank Dunia untuk mengintegrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global.
3)
Deregulasi stock markets yang terjadi sejak tahun 1986 untuk mengatur deregulasi semua stock markets di seluruh dunia.
4)
Deregulasi produksi pertanian dan
komersialisasi jasa
yang
timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional.
5)
Proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax and banking havens) sejak pertengahan tahun 1990-an, yang
telah menghasilkan separuh dari
seluruh aliran keuangan
dunia terjadi melalui kemudahan-kemudahan
bebas hambatan dari semua bentuk kendala legal oleh karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian
kebijakan-kebijakan publik.
Menurut pengamatan
Stiglitz (2003, Ch.3) globalisasi berwajah fundamentalisme pasar yang dalam manifestasinya mengambil bentuk pasar bebas dengan berbagai intrumennya, telah ditolak oleh masyarakat Amerika Serikat dan perumus kebijakan
pada masa Pemerintahan Clinton. Namun, globalisasi seperti itulah yang justru di “paksakan”
kepada negara-negara berkembang. Korban
dari kebijakan tersebut sudah berjatuhan karena industri pertanian negara berkembang dan negara-negara Eropah Timur mengalami kemunduran yang amat besar karena tidak mampu bersaing dengan sektor pertanian negara-negara maju yang diproteksi oleh pemerintahnya.
Memerdagangkan Pendidikan Tinggi
Perdagangan bebas jasa yang dipraktekkan dalam globalisasi berwatak fundamentalisme pasar akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan
kebijakan pendidikan
tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung
dari lokasinya di arena global, dapat membuka peluang
atau menguntungkan tetapi dapat juga merupakan hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara berkembang.
Perdagangan bebas jasa pendidikan
tinggi kalau dilaksanakan
dalam kondisi interdependensi simetris antar negara
atau lembaga pendidikan memang dapat membuka lebar pintu menuju ke pasar kerja
global khususnya ke ekonomi negara maju yang telah mampu mengembagkan
ekonomi berbasis ilmu pengetahuan
(knowledge based economy). Tapi dalam kondisi interdependensi
asimetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi
oleh motif for-profit semata, sedangkan
tujuan- tujuan pendidikan lainnya akan dikorbankan.
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa
pendidikan sebagai berikut:
- Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah- kuliah melalui internet dan on-line degree program, atau Mode 1;
- Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2
- Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan
- Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara- negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
Dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean yang tergabung
dalam Asean University Network (AUN) ataupun (Association of Southeast Asia Institute
of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Muangthai, Filipina dan Singapore,
Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi
pendidikan tinggi dan mutu akademik. Pada tahun 2004 tingkat partisipasi pendidikan
tinggi baru mencapai 14 persen, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah
mencapai 38-40 persen.
Karena kemampuan keuangan pemerintah yang sangat terbatas,
ekspansi serta peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia tidak mungkin
dilakukan dengan mengandalkan sumber dana domestik. Ekspansi pendidikan tinggi
dan peningkatan mutu akademik nampaknmya hanya mungkn dilakukan bila layanan pendidikan
tinggi oleh provider luar negeri yang dimungkinkan oleh globalisasi pendidikan dapat dimanfaatkan oleh negara
berkembang seperti
Indonesia.
Globalisasi pendidikan tinggi yang semakin meningkat
walau pun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi pasti merupakan gangguan
terhadap kedaulatan Indonesia dalam mengatur salah sattu tujuan kemerdekaannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini dalam perumusan kebijakan
nasional untuk mengatur bidang pendidikan mau tidak mau harus dikorbankan agar provider
pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk ke tanah air Indonesia.
Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah
berkembangnya pasar pendidikan tinggi tanpa batas (borderless higher education market). Keterbasasan dana yang
dialami oleh negara-negara berkembang, peningkatan permintaan akan pendidikan
tinggi bermutu, serta kemajuan teknologi informasi adalah tiga faktor yang mendorong
pertumbuhan “borderless” market dalam pendidikan tinggi. Perguruan
tinggi di negara- negara maju, terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia
amat agresif memanfaat the new emergiung market dengan meningkatkan
penyediaan layanan pendidikan tinggi, tidak sepenuhnya dengan motif filantropis,
tetapi dilandasi pertimbangan for-profit dengan menerima sebanyak mungkin mahasiswa
luar negeri yang membayar penuh biaya pendidikannya, mendirikan kampus-kampus
cabang di negara lain, waralaba pendidikan atau kesepakatan twinning
dengan perguruan tinggi lokal, menyediakan pendidikan jarak jauh atau e-learning.
Perkembangan-perkembangan ini perlu diantisipasi dengan
sebaik-baiknya agar masyarakat negara berkembang dapat menarik
manfaatnya dari penyediaan jasa
pendidikan secara global tetapi tanpa harus
mengorbankan kepentingan-kepentingan nasional untuk mempreservasi
budaya bangsa serta menicptakan
kemandirian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang juga amat diperlukan oleh setiap bangsa.
Strategi Menghadapi
Liberalisasi Pendidikan
Globalisasi atau liberalisasi pendidikan tinggi yang sedang terjadi melalui jalur pasar
bebas memang harus dihadapi dengan sangat hati-hati oleh negara-negara berkembang,
tak terkecuali Indonesia. Implikasi jangka panjang dari globalisasi pendidikan tinggi tersebut belum sepenuhnya dapat di prakirakan,
dan karena itu
kebijakan-kebijakan antisipatif perlu dirancang dengan secermat mungkin agar
globalisasi tersebut
jangan sampai menghancurkan
sektor
pendidikan
tinggi seperti yang
terjadi
dengan globalisasi sektor pertanian. Agar dampak seperti itu tidak terjadi, negara
berkembang perlu merumuskan strategi yang paling tepat
sebagai berikut:
Meskipun konstelasi kekuasaan global yang ada saat ini
tidak memungkinkan perguruan tinggi Indonesia, seperti halnya dengan banyak
universitas di negara-negara lain, untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kuat untuk
menggoyahkan arsitektur kekuasaan global
di bawah monopoli GATT/WTO, namun dalam perspektif jangka panjang melalui
pengembangan forum dan jaringan kerjasama regional dan internasional memiliki ruang yang cukup lebar untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang berarti. Reaksi masyarakat pendidikan tinggi
terhadap masuknya pendidikan dalam GATS cukup luas. Assosiasiasi Perguruan Tinggi
Amerika dan Kanada, Asosiasi Rektor Uni Eropa, Persatuan Naib Kanselor India,
Majelis Rektor dan Perguruan Tinggi Indonesia secara terbuka telah menyampaikan
himbauan kepada pemerintah masing-masing
untuk meninjau pemberlakuan pendidikan tinggi sebagai
komoditi yang diatur melalui GATS. FRI yang mewakili 2300 perguruan tinggi dan
lembaga swadaya masyarakat telah menginisiasi kerjasama antar universitas (di tingkat nasional,
regional dan internasional) untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan
kembali rencana WTO untuk memasukkan “pengetahuan” sebagai salah satu kategori
“komoditi” ke dalam General Agreement
on Trade in Services (GATS) yang ditandatangani pada bulan Desemberi tahun
2005. Bila langkah tersebut yang ingin ditempuh, kiranya perlu dibangun sinergi
yang kokoh dengan berbagai konsorsium universitas-universitas di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, India,
dan Jaringan Universitas ASEAN. Sinergi lembaga non-pemerintah untuk menentang
intervensi WTO yang merugikan kehidupan masyarkat negara berkembang dapat berhasil
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Forum Sosial Dunia (World Social
Forum) dalam bidang pertanian.
Strategi kedua, dalam menyikapi globalisasi dan liberalisasi
pendidikan tinggi, masyarakat pendidikan tinggi Indonesia, baik pemerintah mau
pun masyarakat, harus mengambil sikap terbuka dan positif.
Di seluruh dunia memang
sedang terjadi perkembangan, walau pun dengan kecepatan
yang berbeda-beda antar negara, menuju
deregulasi pendidikan tinggi. Masyarakat sudah mulai harus diajak ke pemikiran yang lebih terbuka bahwa fungsi
layanan pendidikan tinggi merupakan
tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
UU Sisdiknas sudah menganut paradigmna seperti itu. Dengan demikian lembaga-lembaga swasta pun perlu
diberi kesempatan yang besar dalam penyediaan
layanan
tersebut. Kesempatan yang sama perlu juga dibuka untuk lembaga
pendidikan komersial dari luar negeri, tetapi dengan memperhatikan sekali kepentingan dan tujuan nasional. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa liberalisasi pendidikan tinggi harus
dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- Liberalisasi dilaksanakan secara gradual (progressive liberalization) – jangka pendek, mengengah dan panjang.
- Sesuai tujuan kebijakan nasional.
- Memperhatikan tingkat perkembangan setiap negara.
- Fleksibilitas bagi negara berkembang.
Strategi ketiga yang perlu ditempuh oleh Indonesia dalam
menghadapi globalisasi pendidikan tinggi
adalah melalui pendekatan jaminan mutu dan
akreditisasi sesuai standar internasional. UGM merupakan
salah satu PTN yang
secara serius mengembangkan program jaminan mutu dan
menerapkan siklus penuh jaminan mutu. Kegiatan tersebut perlu dilanjutkan dengan
program akreditisasi internasional terhadap program studi dan unit penyelenggara
kegiatan pendidikan tinggi seperti jurusan
dan bagian.
Strategi keempat yang perlu ditempuh oleh Indonesia adalah
meningkatkan sistem akreditisasi nasional menjadi sistem akreditisasi regional dengan
memanfaatkan jaringan perguruan tinggi regional, Asean
University Network (AUN) dan
Association of Southeast Asian Institute of Higher
Learning (ASAIHL) untuk mengembangkan sistem akreditisasi regional. Southeast
Asia Ministry of Education Organization (SEAMEO) sebagai organisasi para
menteri pendidikan adalah badan regional yang paling tepat untuk berfungsi
sebagai kekuatan moral dan mempunyai legitimasi untuk mendorong program akreditrisasi
regional tersebut. Melalui program tersebut
diharapkan pengakuan internasional terhadap perguruan tinggi Indonesia
akan semakin meningkat. Asean European University
Network Program (AUNP)
pada Juli-Agustus yang lalu
telah menugaskan Dr. Ton
Vroejenstein, ahli Quality
Assurance dari Belanda untuk
mengadakan evaluasi terhadap Sistem Jaminan Mutu pada 17 PT anggota AUN. Dari evaluasi tersebut
UGM dan UI telah mendapat pengakuan dari AUNP sebagai lembaga yang qualified untuk
melakukan penilaian internal tentang
jaminan mutu. Apabila program akreditisasi regional dapat berjalan dengan baik,
mungkin tidak terlalu sukar transisi ke porogram akreditisasi internasional yang
akan lebih memperbesar akses ke masyarakat internasional.
Indonesia merupakan negara anggota WTO sejak 1995 dengan
disahkannya UU No. 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral. Dengan berlakunya
UU tersebut ketentuan-ketentuan WTO yang mengatur perdagangan barang, jasa dan hak
atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan (trade
related intellectual property
rights) harus dilaksanakan. Yang dikecualikan dari ketentuan tersebut
adalah jasa yang diberikan oleh pemerintah
yang tidak bersifat komersial atau tidak bersaing dengan penyedia komersial
jasa tersebut.
Indonesia telah mengikat diri dan terlibat dalam perundingan
liberalisasi pergdagangan tersebut sejak tahun 2000 dalam kerangka Putaran Doha. Pada putaran tersebut
telah diputuskan bahwa GATS mencakup 12 bidang jasa, termasuk pendidikan.
Selanjutnya pada Putaran Hong Kong dibahas langkah-langkah untuk meningkatkan
komitmen untuk melaksanakan keputusan Doha dengan meminta kepada masing-masing negara
anggota untuk menawarkan atau melakukan “offering” sektor-sektor yang akan
diliberalisasi. Indonesia telah menawarkan
5 sektor jasa, yaitu konstruksi, telekomunikasi, bisnis,
angkutan laut, pariwisata, dan keuangan. Pada Putaran Hong Kong, Indonesia
telah memasukkan lagi sektor jasa pendidikan
dan menawarkan liberalisasi jasa-jasa pendidikan berikut:
1)
jasa pendidikan menengah teknikal
dan vokasional;
2)
jasa pendidikan tinggi teknikal
dan vokasional;
3)
jasa pendidikan tinggi;
4)
jasa pelatihan dan kursus bahasa;
5)
jasa pendidkan dan pelatihan sepakbola dan catur.
Pemerintah Indonesia juga menetapkan lembaga pendidikan asing
harus berbentuk badan hukum yang terdaftar di Indonesia dan memenuhi persyaratan-
persyaratan sebagai berikut:
1.
Harus ada kesepakatan saling
mengakui atau mutual recognition arrangement antar lembaga satuan pendidikan
tentang kredit, program studi dan sertifikasi;
2.
Harus melalui kerjasama antar lembaga
pendidikan luar negeri dengan lembaga dalam negeri.
3.
Lembaga pendidikan luar negeri harus
terdaftar dan mendapat akreditisasi dari Departemen Diknas dan lembaga mitra harus
yang terakreditisasi;
4.
Kota-kota yang terbuka untuk kemitraan
dalam bidang pendidikan tinggi adalah Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan
Medan;
5.
Izin masuk staf pengajar asing diberikan
oleh Departemen Dikbud.
WTO mengenal adanya 4 modus penyediaan layanan pendidikan
yaitu: (a) cross- border supply, yaitu penyediaan jasa pendidikan secara
distance learning yang melewati batas antar negara; (b) consumption abroad,
yaitu mengirimkan siswa atau mahasiswa ke lembaga pendidikan di luar negeri; (c)
commercial presence, PT luar negeri
membuka kampus di satu negara;
dan (d) presence of
natural persons, tenaga pengajar
asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal.
Seperti yang dilakukan oleh berbagai negara, tawaran Pemerintah Indonesia
adalah lebih untuk mode 3 yaitu commercial presence.
Melalui penandatangan
GATS tersebut sebenarnya Pemerintah Indonesia telah menggeser pandangan tentang
penyelenggaraan pendidikan dari suatu kegiatan
yang sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah menunju kepada tanggung
jawab bersama antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat sebagaimana tercantum dalam
UU No. 20 tahun 1999 tentang Sisdiknas.
Namun perlu diwaspadai bahwa pendidikan dan khusunya pendidikan
tinggi bukan semata-mata jasa untuk
menghasilkan tenaga kerja terdidik, tetapi yang penting dia juga adalah proses
untuk “to preserve national identity”, “to sustain and develop the
intellectuial and cultural base of the society”, “to give inspiration and pride
to citizens”, dan “to promote dialoge for the respect of cultural and social
diversity”. Tujuan-tujuan nasional tersebut terlalu penting untuk diserahkan
kepada lembaga pendidikan tinggi asing dan seharusnya menjadi
tanggungjawab bangsa Indonesia karena tidak
mungkin mendapat perhatian sepenuhnya dari
penyedia jasa pendidikan komersial luar negeri.
Untuk itu pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan
sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan secara bertahap dan dengan
memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris
dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain. Tanpa kesiapan nasional tersebut, dikhawatirkan sektor pendidikan kita
akan menjadi korban dari hubungan
assimetris atau persaingan yang tidak seimbang dengan penyedia layanan
pendidikan dari negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat. ASEAN framework
agreement on
services. Jakarta. Asean Secretariat. 1995.
De roof, Jan, Gracienne
Lauvers, dan Germain Dondelinger. Globalization and Competition in Education.
Nijmegen, The Netherlands.
Wolf
Legal Publishers.
2003.
Departemen Pendidikan
Nasional. Rencana Strategis 2004-2009.
Jakarta. Depdiknas, 2005.
Enders, Jurgen dan Oliver Fulton. Eds, Higher Education in a Globalizing World.
Dordrecht. Kluwer Academic Publishers. 2002.
ILO. “Life-long learning in the Twenty-first Century: The changing
role of educational
personnel”. Report for the discussion at the Joint Meeting on Lifelong
Learning in the Twenty-first Century. (www.ilo.org/public/english/dialogue).
Mallea, J. Interantional trade
in professional and educational services: implications for the profession and
higher education. Paris. OECD-CERI. (http://www.oecd.org/els/papers/papers.htm)
Mallea, John R. International
Trade in Professional and Educational Services. Paris. OECD, Centre for
Educational Research and Innovation. 1998
Milles, M. “Services: The
Interdependent Economy”. Paper presented at
Japanese Service Investment in Europe, Programme of Policy Research
in Engineering, Science and Technology,
University of Manchester. April 1995.
OECD. International trade in
professional services: Advancing liberalization
through regulatory reform. Paris. OECD. 1997.
Rektor UGM. Revitalisasi jati
diri Universitas Gadjah Mada menghadapi perubahan global. Pidato Dies ke 55.
Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. 20
Desember 2004.
Robertson, Robbie. 2003. The
Three Waves of Globalization: A History of a Developing Global Consciousness,
London dan New York: Zed Books
Scott, P., Ed. The
globalization of higher education. Buckingham. OUP & SHRE, 1998.
Smiers, Joost. 2003. Arts
under Pressure: Protecting Cultural Diversity in Age of
Globalization. London and New York, NY: Zed Books.
Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its Discontents. New York.
W.W. Norton& Co. 2003
Tehranian, Majid. 1999. Global
Communication and World Politics: Domination, Development, and Discourse, Linne
Rienner Publishers.
_______________. 1996. “The
End of University”, reproduced with permission by Taylor and Francis, Inc,
http: /www.routledge-ny.com.
“The Brain Industry”. The
Economist, September 10, 2005.
Warouw, Adolf. “Liberalisasi
jasa pendidikan dalam kerangka WTO”. Presentasi pada Diskusi Liberalisasi Jasa
Pendidikan. Diselenggarakan oleh Departemen Perdagangan. Jakarta,
Webster, Frank, 2002, Theories
of the Information Society. New York, NY: Routledge.
Van Glinken, Hans,
“Globalization, Higher Education
and Sustainable Development”. Paper at
First Asean – European Union Rectors’ Conference. Organized by the Ministry of
Higher Education of Malaysia, University of Malaya, Delegation of the European
Commission in Malaysia,
and Asean –
European Union Network Programme. Kuala Lumpur, October 4-6,
2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar