Daftar Blog Saya

Rabu, 20 Juni 2012

Liberalisasi Pendidikan Tinggi


Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa  dan trade  related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk  sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”.
Sebagai  negara  yang  memiliki  210  juta  penduduk  yang  tingkat  partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 persen dari jumlah  penduduk usia 19-24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan,  Karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah,   secara umum mutu pendidikan  nasional  kita,  mulai  dari  sekolah  dasar  sampai  pendidikan  tinggi,  jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut  sering menjadi alasan untuk “mengundang masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor  jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang,  intervensi  pemerintah  dalam  sektor  jasa   tersebut  harus  dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
Hingga saat ini 6 negara  telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan  kedokteran Cina. Jelas   sekali bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif  for-profit mungkin adalah pendorong utamanya.
Perlu   kita   sadari   bahwa   pendidikan   mempunyai   3   tugas   pokok,   yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga  sangat vital peranannya  dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (van Glinken, 2004). Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan dan  pelatihan  sebagai  komoditi  yang  tata  perdagangannyta  diatur  oleh  lembaga internasional bukan oleh otoritas suatu negara, memang perlu disikapi dengan semangat nasionalisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkembang.
Internasionalisasi dan Globalisasi
Internasionalisasi dan globalisasi adalah ibarat kembar siam yang hampir sama bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya. Atau dapat juga ditamsilkan sebagai orang yang memiliki kepribadian ganda. Yang pertama adalah kepribadian yang baik, sopan, dan santun. Yang kedua, adalah kepribadian yang jahat, brutal dan gragas alias tamak. Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah lama, atau bahkan sejak awal  kelahirannya telah  berkenalan  baik  dengan  internasionalisasi,  kalau  tidak  mau mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah buah dari internasionalisasi ilmu pengetahuan,  seni dan budaya. Karena menyadari manfaat besar dan positif dari internasionalisasi, hampir tidak ada negara yang secara sadar mau memisahkan dirinya dari arus internasionalisasi. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum jelas bahwa salah satu tujuan pendirian Repbulik Indonesia amat   dijiwai oleh semangat internasionlisme yaitu “...ikut  melaksanakan  ketertiban  dunia  yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Globalisasi,  menurut  Stiglitz  (2003),  merupakan  interdependensi  yang tidak simetris antar negara, lembaga dan aktornya. Karena itu interdependensi antar Negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Padahal, pada awalnya globalisasi bertujuan untuk membuka perluang bagi Negara-negara   berkembang   untuk   meningkatkan   kesejahteraannya   melalui perdagangan global.
Globalisasi yang dimotori fundamentalisme pasar, beberapa pertanyaan sangat perlu memperoleh perhatian dari dunia pendidikan tinggi. Pertama, apa peran yang harus dimainkan  oleh  pendidikan  tinggi  ketika  ekspansi  globalisasi  kapitalisme  neo-liberal telah menjadi kenyataan? Kedua, benarkah globalisasi kapitalisme yang oleh Robertson (2003) disebut sebagai globalisasi gelombang ketiga itu menawarkan peluang yang lebih menjanjikan bagi pendidikan tinggi Indonesia untuk mewujudkan pendidikan bermutu internasional sebagaimana yang mungkin diyakini oleh banyak ahli ekonomi?
Logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang ketiga diturunkan dari idelologi neo-liberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisme yang  direntang  melampaui  batasnya yang ekstrim. Seperti halnya dengan libertarianisme yang  membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yang terbatas (Kymlycka,   1999: 95), neo-liberalisme percaya pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk menjamin kemakmuran dan  peningkatan kesejahteraan semua orang dan  individu (Gelinas, op. cit., 2003: 24).
Bekerja melalui regulasi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2003) disebut sebagai The Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia, dan WTO), di  bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga,  perlahan-lahan akan tetapi pasti, segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan  ilmu  pengetahuan,  apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi  nasional  mereka,  yang  terjadi  dalam  lima  tahapan  perkembangan  berikut (Gelinas, ibid: 31).
1)      Deregulasi sistem keuangan internasional  Bretton Woods, yang terjadi sejak  tahun 1971,  dan yang telah mengubah semua aset keuangan dunia  ke dalam kapital spekulatif.
2)      Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematik dan bertahap, yang terjadi sejak tahun   1980-an   melalui   program-program   penyesuaian    struktural   (structural adjustment) di bawah pengawalan IMF dan  Bank Dunia untuk mengintegrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global.
3)      Deregulasi  stock markets yang terjadi sejak tahun 1986 untuk mengatur deregulasi semua stock markets di seluruh dunia.
4)      Deregulasi produksi pertanian dan komersialisasi jasa yang timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional.
5)      Proliferasi  kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax and banking havens) sejak pertengahan tahun 1990-an,  yang  telah  menghasilkan  separuh  dari  seluruh aliran keuangan dunia terjadi melalui kemudahan-kemudahan bebas hambatan dari semua bentuk kendala legal oleh karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian kebijakan-kebijakan publik.
Menurut pengamatan Stiglitz (2003, Ch.3) globalisasi berwajah fundamentalisme pasar  yang  dalam  manifestasinya  mengambil  bentuk  pasar  bebas  dengan  berbagai intrumennya, telah ditolak oleh masyarakat Amerika Serikat dan perumus kebijakan pada masa Pemerintahan Clinton. Namun, globalisasi seperti itulah yang justru di “paksakan” kepada  negara-negara  berkembang.  Korban  dari  kebijakan  tersebut  sudah  berjatuhan karena   industri   pertanian   negara   berkembang   dan   negara-negara   Eropah   Timur mengalami kemunduran yang amat besar karena tidak mampu bersaing dengan sektor pertanian negara-negara maju yang diproteksi oleh pemerintahnya.

Memerdagangkan Pendidikan Tinggi
Perdagangan   bebas   jasa   yang   dipraktekkan   dalam   globalisasi   berwatak fundamentalisme pasar akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung dari lokasinya di  arena  global,  dapat  membuka  peluang  atau  menguntungkan  tetapi  dapat  juga merupakan hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara berkembang.
Perdagangan  bebas  jasa  pendidikan  tinggi  kalau  dilaksanakan  dalam  kondisi interdependensi simetris antar negara atau lembaga pendidikan memang dapat membuka lebar pintu menuju ke pasar kerja global khususnya ke ekonomi negara maju yang telah mampu   mengembagkan   ekonomi   berbasis   ilmu   pengetahuan   (knowledge   based economy). Tapi dalam kondisi interdependensi asimetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif  for-profit semata, sedangkan tujuan- tujuan pendidikan lainnya akan dikorbankan.
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut:
  1. Cross-border  supply,  institusi  pendidikan  tinggi  luar  negeri  menawarkan  kuliah- kuliah  melalui  internet  dan  on-line  degree  program,  atau  Mode  1;
  2. Consumption abroad,   adalah  bentuk  penyediaan  jasa  pendidikan  tinggi  yang  paling  dominan, mahasiswa  belajar  di  perguruan  tinggi    luar  negeri  atau  Mode  2
  3. Commercial presence,  atau kehadiran perguruan tinggi  luar negeri dengan membentuk  partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan
  4. Presence  of  natural  persons,     dosen  atau  pengajar  asing  mengajar  pada  lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara- negara  anggota  tidak  menghambat  empat  mode  penyediaan  jasa  tersebut  dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
Dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean yang tergabung dalam Asean University Network (AUN) ataupun (Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Muangthai, Filipina dan Singapore, Indonesia jauh tertinggal dalam  tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan mutu akademik.  Pada tahun 2004 tingkat partisipasi pendidikan tinggi baru mencapai 14 persen, jauh tertinggal dari  Malaysia  dan  Filipina  yang  sudah  mencapai  38-40  persen.  Karena  kemampuan keuangan pemerintah yang sangat terbatas, ekspansi serta peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia tidak mungkin dilakukan dengan mengandalkan sumber dana domestik. Ekspansi pendidikan tinggi dan peningkatan mutu akademik nampaknmya hanya mungkn dilakukan bila layanan pendidikan tinggi oleh provider luar negeri yang dimungkinkan oleh  globalisasi  pendidikan  dapat  dimanfaatkan  oleh  negara  berkembang   seperti Indonesia.
Globalisasi pendidikan tinggi yang semakin meningkat walau pun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi pasti merupakan gangguan terhadap kedaulatan   Indonesia   dalam   mengatur   salah   sattu tujuan kemerdekaannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini dalam perumusan kebijakan nasional untuk mengatur bidang  pendidikan  mau  tidak  mau  harus  dikorbankan  agar provider pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk ke tanah air Indonesia.
Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah berkembangnya pasar pendidikan tinggi tanpa batas (borderless higher  education market). Keterbasasan dana yang dialami oleh negara-negara berkembang, peningkatan permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, serta kemajuan teknologi informasi adalah tiga faktor yang mendorong pertumbuhan “borderless” market dalam pendidikan tinggi. Perguruan tinggi di negara- negara maju, terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia amat agresif memanfaat the new emergiung market dengan meningkatkan penyediaan layanan pendidikan tinggi, tidak sepenuhnya dengan motif filantropis, tetapi dilandasi pertimbangan for-profit dengan menerima sebanyak mungkin mahasiswa luar negeri yang membayar penuh biaya pendidikannya, mendirikan kampus-kampus cabang di negara lain, waralaba pendidikan atau kesepakatan twinning dengan perguruan tinggi lokal, menyediakan pendidikan jarak jauh atau e-learning.
Perkembangan-perkembangan ini perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya agar masyarakat   negara   berkembang   dapat   menarik   manfaatnya   dari penyediaan jasa pendidikan secara global  tetapi  tanpa  harus  mengorbankan  kepentingan-kepentingan nasional  untuk  mempreservasi  budaya  bangsa  serta  menicptakan kemandirian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  yang juga amat diperlukan oleh setiap bangsa.

Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan
Globalisasi atau liberalisasi pendidikan  tinggi yang sedang terjadi melalui jalur pasar bebas memang harus dihadapi dengan sangat hati-hati oleh negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Implikasi jangka panjang dari   globalisasi pendidikan  tinggi  tersebut  belum  sepenuhnya   dapat  di  prakirakan,  dan  karena  itu kebijakan-kebijakan antisipatif perlu dirancang dengan secermat mungkin agar globalisasi tersebut jangan sampai menghancurkan sektor  pendidikan tinggi seperti yang terjadi dengan globalisasi sektor pertanian.  Agar  dampak seperti itu tidak terjadi, negara berkembang perlu merumuskan strategi yang paling tepat sebagai berikut:
Meskipun konstelasi kekuasaan global yang ada saat ini tidak memungkinkan perguruan tinggi Indonesia, seperti halnya dengan banyak universitas di negara-negara lain, untuk merumuskan dan melaksanakan  kebijakan-kebijakan yang kuat untuk menggoyahkan arsitektur kekuasaan global  di bawah monopoli GATT/WTO, namun dalam perspektif jangka panjang melalui pengembangan forum dan jaringan kerjasama regional dan internasional  memiliki ruang yang cukup lebar untuk menghasilkan perubahan-perubahan   yang berarti. Reaksi masyarakat pendidikan tinggi terhadap masuknya pendidikan dalam GATS cukup luas. Assosiasiasi Perguruan Tinggi Amerika dan Kanada, Asosiasi Rektor Uni Eropa, Persatuan Naib Kanselor India, Majelis Rektor dan Perguruan Tinggi Indonesia secara terbuka telah menyampaikan himbauan kepada pemerintah  masing-masing  untuk  meninjau  pemberlakuan  pendidikan  tinggi  sebagai komoditi yang diatur melalui GATS. FRI  yang mewakili 2300 perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat telah menginisiasi  kerjasama antar universitas (di tingkat nasional, regional dan internasional) untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali rencana WTO untuk memasukkan “pengetahuan” sebagai salah satu kategori “komoditi” ke dalam  General Agreement on Trade in Services (GATS) yang ditandatangani pada bulan Desemberi tahun 2005. Bila langkah tersebut yang ingin ditempuh, kiranya perlu dibangun sinergi yang kokoh dengan berbagai konsorsium universitas-universitas  di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, India, dan Jaringan Universitas ASEAN. Sinergi lembaga non-pemerintah untuk menentang intervensi WTO yang merugikan kehidupan masyarkat negara berkembang dapat berhasil  sebagaimana yang  ditunjukkan  oleh  Forum  Sosial  Dunia  (World  Social  Forum)  dalam  bidang pertanian.
Strategi kedua, dalam menyikapi globalisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi, masyarakat pendidikan tinggi Indonesia, baik pemerintah mau pun masyarakat, harus mengambil  sikap  terbuka  dan  positif.  Di  seluruh  dunia  memang  sedang  terjadi perkembangan, walau pun dengan kecepatan yang berbeda-beda antar negara,  menuju deregulasi pendidikan tinggi. Masyarakat sudah  mulai harus diajak ke pemikiran yang lebih  terbuka  bahwa  fungsi  layanan  pendidikan  tinggi  merupakan  tanggung  jawab bersama  antara  pemerintah,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat.  UU  Sisdiknas  sudah menganut paradigmna seperti itu.  Dengan demikian lembaga-lembaga swasta pun perlu diberi  kesempatan  yang  besar  dalam  penyediaan  layanan  tersebut.  Kesempatan  yang sama perlu juga dibuka untuk lembaga pendidikan komersial dari luar negeri, tetapi dengan memperhatikan sekali  kepentingan dan  tujuan nasional. Secara ringkas dapat dikatakan  bahwa  liberalisasi  pendidikan  tinggi  harus  dilaksanakan  oleh  pemerintah Indonesia melalui langkah-langkah sebagai berikut:
  • Liberalisasi dilaksanakan secara gradual (progressive liberalization) – jangka pendek, mengengah dan panjang.
  • Sesuai tujuan kebijakan nasional.
  • Memperhatikan tingkat perkembangan setiap negara.
  • Fleksibilitas bagi negara berkembang.
Strategi ketiga yang perlu ditempuh oleh Indonesia dalam menghadapi globalisasi pendidikan  tinggi  adalah  melalui  pendekatan  jaminan  mutu  dan  akreditisasi  sesuai standar   internasional.   UGM   merupakan   salah   satu   PTN   yang   secara   serius mengembangkan program jaminan mutu dan menerapkan siklus penuh jaminan mutu. Kegiatan tersebut perlu dilanjutkan dengan program akreditisasi internasional terhadap program studi dan unit penyelenggara kegiatan  pendidikan tinggi seperti jurusan dan bagian.
Strategi keempat yang perlu ditempuh oleh Indonesia adalah meningkatkan sistem akreditisasi nasional menjadi sistem akreditisasi regional dengan memanfaatkan jaringan perguruan  tinggi  regional,  Asean  University   Network  (AUN)  dan  Association  of Southeast Asian Institute of Higher Learning (ASAIHL) untuk mengembangkan sistem akreditisasi regional. Southeast Asia Ministry of Education Organization (SEAMEO) sebagai organisasi para menteri pendidikan adalah badan regional yang paling tepat untuk berfungsi sebagai kekuatan moral dan mempunyai legitimasi untuk mendorong program akreditrisasi   regional   tersebut.   Melalui   program   tersebut   diharapkan   pengakuan internasional  terhadap  perguruan  tinggi  Indonesia  akan  semakin  meningkat.  Asean European  University  Network  Program  (AUNP)  pada  Juli-Agustus  yang  lalu  telah menugaskan   Dr.   Ton   Vroejenstein,   ahli   Quality   Assurance  dari Belanda untuk mengadakan evaluasi terhadap Sistem Jaminan  Mutu pada 17 PT anggota AUN. Dari evaluasi tersebut UGM dan UI telah mendapat pengakuan dari AUNP sebagai lembaga yang qualified untuk  melakukan penilaian internal tentang jaminan mutu. Apabila program akreditisasi regional dapat berjalan dengan baik, mungkin tidak terlalu sukar transisi ke porogram akreditisasi internasional yang akan lebih memperbesar akses ke masyarakat internasional.
Indonesia merupakan negara anggota WTO sejak 1995 dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian WTO dan   perjanjian-perjanjian multilateral. Dengan berlakunya UU tersebut ketentuan-ketentuan WTO yang mengatur perdagangan barang, jasa dan hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan  (trade  related  intellectual  property  rights) harus dilaksanakan. Yang dikecualikan dari ketentuan tersebut  adalah jasa yang diberikan oleh pemerintah yang tidak bersifat komersial atau tidak bersaing dengan penyedia komersial jasa tersebut.
Indonesia telah mengikat diri dan terlibat dalam perundingan liberalisasi pergdagangan tersebut sejak tahun 2000 dalam  kerangka Putaran Doha. Pada putaran tersebut telah diputuskan bahwa GATS mencakup 12 bidang jasa, termasuk pendidikan. Selanjutnya  pada  Putaran  Hong  Kong  dibahas  langkah-langkah  untuk  meningkatkan komitmen untuk melaksanakan keputusan Doha dengan meminta kepada masing-masing negara anggota untuk menawarkan atau melakukan “offering” sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Indonesia telah    menawarkan  5 sektor  jasa, yaitu konstruksi, telekomunikasi, bisnis, angkutan laut, pariwisata, dan keuangan. Pada Putaran Hong Kong, Indonesia telah  memasukkan lagi sektor jasa pendidikan dan menawarkan liberalisasi jasa-jasa pendidikan berikut:
1)      jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional;
2)      jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional;
3)      jasa pendidikan tinggi;
4)      jasa pelatihan dan kursus bahasa;
5)      jasa pendidkan dan pelatihan sepakbola dan catur.
Pemerintah Indonesia juga menetapkan lembaga pendidikan asing harus berbentuk badan hukum yang terdaftar di Indonesia dan memenuhi persyaratan- persyaratan sebagai berikut:
1.      Harus ada kesepakatan saling mengakui atau mutual recognition arrangement antar lembaga satuan pendidikan tentang kredit, program studi dan sertifikasi;
2.      Harus melalui kerjasama antar lembaga pendidikan luar negeri dengan lembaga dalam negeri.
3.      Lembaga pendidikan luar negeri harus terdaftar dan mendapat akreditisasi dari Departemen Diknas dan lembaga mitra harus yang terakreditisasi;
4.      Kota-kota yang terbuka untuk kemitraan dalam bidang pendidikan tinggi adalah Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Medan;
5.      Izin masuk staf pengajar asing diberikan oleh Departemen Dikbud.
WTO mengenal adanya 4 modus penyediaan layanan pendidikan yaitu: (a) cross- border supply, yaitu penyediaan jasa pendidikan secara distance learning yang melewati batas antar negara; (b) consumption abroad, yaitu mengirimkan siswa atau mahasiswa ke lembaga pendidikan di luar negeri; (c) commercial presence,  PT luar negeri membuka kampus  di  satu  negara;  dan  (d)  presence  of  natural  persons,  tenaga  pengajar  asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal. Seperti yang dilakukan oleh berbagai negara, tawaran Pemerintah Indonesia adalah lebih untuk mode 3 yaitu commercial presence.
 Melalui penandatangan GATS tersebut sebenarnya Pemerintah Indonesia telah menggeser pandangan tentang penyelenggaraan pendidikan dari suatu  kegiatan yang sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah menunju  kepada  tanggung  jawab bersama  antara  pemerintah  pusat,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 tahun 1999 tentang Sisdiknas.
Namun perlu diwaspadai bahwa pendidikan dan khusunya pendidikan  tinggi bukan semata-mata jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, tetapi yang penting dia juga adalah proses untuk “to preserve national identity”, “to sustain and develop the intellectuial and cultural base of the society”, “to give inspiration and pride to citizens”, dan “to promote dialoge for the respect of cultural and social diversity”. Tujuan-tujuan nasional tersebut terlalu penting untuk diserahkan kepada lembaga pendidikan tinggi asing dan seharusnya  menjadi   tanggungjawab  bangsa  Indonesia  karena  tidak  mungkin mendapat perhatian sepenuhnya dari penyedia jasa pendidikan komersial luar negeri.
Untuk itu pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain. Tanpa kesiapan nasional  tersebut, dikhawatirkan sektor pendidikan kita akan menjadi korban dari  hubungan assimetris atau persaingan yang tidak seimbang dengan penyedia layanan pendidikan dari negara lain.

DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat. ASEAN framework agreement on services. Jakarta. Asean Secretariat. 1995.
De roof, Jan, Gracienne Lauvers, dan Germain Dondelinger.  Globalization and Competition in Education. Nijmegen, The Netherlands. Wolf Legal  Publishers. 2003.
Departemen Pendidikan Nasional. Rencana Strategis 2004-2009. Jakarta.  Depdiknas, 2005.
Enders, Jurgen dan Oliver Fulton. Eds, Higher Education in a Globalizing World. Dordrecht. Kluwer Academic Publishers. 2002.
ILO. Life-long learning in the Twenty-first Century: The changing role of educational personnel”. Report for the discussion at the Joint Meeting on Lifelong Learning in the Twenty-first Century. (www.ilo.org/public/english/dialogue).
Mallea, J. Interantional trade in professional and educational services: implications for the profession and higher education. Paris. OECD-CERI. (http://www.oecd.org/els/papers/papers.htm)
Mallea, John R. International Trade in Professional and Educational Services. Paris. OECD, Centre for Educational Research and Innovation. 1998
Milles, M. “Services: The Interdependent Economy”. Paper presented at  Japanese Service Investment in Europe, Programme of Policy Research in  Engineering, Science and Technology, University of Manchester. April 1995.
OECD. International trade in professional services: Advancing liberalization  through regulatory reform. Paris. OECD. 1997.
Rektor UGM. Revitalisasi jati diri Universitas Gadjah Mada menghadapi perubahan global. Pidato Dies ke 55. Yogyakarta. Universitas Gadjah  Mada. 20 Desember 2004.
Robertson, Robbie. 2003. The Three Waves of Globalization: A History of a Developing Global Consciousness, London dan New York: Zed Books
Scott, P., Ed. The globalization of higher education. Buckingham. OUP & SHRE, 1998.
Smiers, Joost. 2003. Arts under Pressure: Protecting Cultural Diversity in Age of
Globalization. London and New York, NY: Zed Books.
Stiglitz, Joseph E.  Globalization and Its Discontents. New York. W.W. Norton& Co. 2003
Tehranian, Majid. 1999. Global Communication and World Politics: Domination, Development, and Discourse, Linne Rienner Publishers.
_______________. 1996. “The End of University”, reproduced with permission by Taylor and Francis, Inc, http: /www.routledge-ny.com.
“The Brain Industry”. The Economist, September 10, 2005.
Warouw, Adolf. “Liberalisasi jasa pendidikan dalam kerangka WTO”. Presentasi pada Diskusi Liberalisasi Jasa Pendidikan. Diselenggarakan oleh Departemen Perdagangan. Jakarta,
Webster, Frank, 2002, Theories of the Information Society. New York, NY: Routledge.
Van Glinken, Hans, “Globalization, Higher  Education and  Sustainable Development”. Paper at First Asean – European Union Rectors’ Conference. Organized by the Ministry of Higher Education of Malaysia, University of Malaya, Delegation of  the European  Commission  in  Malaysia,  and  Asean    European  Union  Network Programme. Kuala Lumpur, October 4-6, 2004.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar