Daftar Blog Saya

Kamis, 24 Oktober 2013

“ PERANAN KERATON YOGYAKARTA DALAM MENJAGA EKSISTENSI BAHASA JAWA KRAMA DI ERA MODERNISASI ”

A.            Gambaran Umum Keraton Yogyakarta
Istilah keraton berasal dari kata ka-ratu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi ratu. Di samping keraton, istilah kadaton sering juga digunakan untuk menyebut pengertian yang sama. Istilah kadaton berasal dari kata ka-dhatu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi para dhatu. Ada pula yang menyatakan bahwa keraton berasal dari bahasa Sansekerta, kratu yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, arti keraton di samping sebagai tempat bersemayam para ratu/raja juga diartikan sebagai sumber/tempat kebijaksanaan. Sumber yang dimaksud adalah raja. Oleh karena itu pula keraton pada zaman dulu diakui sebagai tempat tinggal ratu dan memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan. Sama seperti rumah, keraton atau istana terdiri atas beberapa bagian bangunan atau tempat yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Di samping itu, ditinjau dari keseluruhan bangunan/tempat di dalam keraton, semuanya mengandung arti kefilsafatan, kebudayaan, dan keagamaan. Istilah keraton sering pula diidentikkan dengan pengertian negara. Ada juga yang mengartikan bahwa keraton adalah bangunan yang berpagar dan berparit keliling sebagai pusat kerajaan, tempat bersemayam raja-raja dengan kerabat/keluarganya. Dengan demikian, Keraton Yogyakarta adalah tempat bersemayam raja-raja Yogyakarta beserta keluarganya. Oleh karena raja-raja Yogyakarta bergelar sultan, maka Keraton Yogyakarta sering juga disebut Kasultanan Yogyakarta atau Keraton Kasultanan Yogyakarta. Istilah keraton sudah jarang digunakan oleh umum. Istilah kraton-lah yang lebih sering digunakan/populer. Hal ini berkait erat dengan proses peluluhan huruf e dalam pengucapan kata keraton yang telah berlangsung cukup lama.
19
 
Kraton yogyakarta dianggap mulai ada setelah di tandatangani perjanjian Giyanti pada zaman belanda, isi perjanjian itu memecah Mataram menjadi dua kawasan pemerintahan, yaitu Kasunanan Surakarta dan kasultanan yogyakarta. Sampai saat ini Keraton Yogyakarta mempunyai peranan yang tetap penting sebagai faktor penentu dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. Keraton Yogyakarta menjadi salah satu sistem simbol  identitas masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta pada khususnya, identitas ini berupa sistem kultur yang meliputi: cara penghadiran diri atau representasi, pemaknaan, dan penghayatan hidup, cara pandang hidup, dan nuansa kehidupan batin (Said Agil, 2001: 1).
Sebagaimana telah diketahui kraton dan masyarakat yogyakarta adalah merupakan Sistem politik pemerintahan dan kehidupan di Jawa yang menggunakan perpaduan antara islam dan budaya jawa.
Pada zaman penjajahan belanda, Keraton Yogyakarta diposisikan oleh belanda sebagai pemimpin simbolik, menjadi icon yang dapat dimainkan oleh Belanda untuk dapat mengendalikan kepatuhan massa inlander. posisi priyayi Keraton Yogyakarta dalam pembentukan kepatuhan massa inlander ini dipandang penting dilakukan, karena alam pikiran masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat yogyakarta pada khususnya masih didominasi oleh cara pandang sistem kasta Hindu, yaitu ada 4 stratifikasi sosial, yaitu kasta : Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Masyarakat inlander mengangap bahwa diri mereka dari kasta Sudra dan Paria yang harus tunduk pada kelas Brahmana dan Ksatria yang ada di keraton Yogyakarta (Said Agil,2001: 2).
Prof. Dr. H.Said Agil Husein Al-Munawar,M.A pernah mengatakan bahwa Yogyakarta adalah kota budaya, pusat kasultanan Islam beberapa abad yang lalu. Tradisi budaya masih terus hidup, dan sampai sekarang menjadi objek wisata yang mengharumkan nama Indonesia di mancanegara. Di kota ini, khasanah keislamannya sangat kaya, bukan saja karena karya budaya yang terlihat, seperti budaya sekaten tetapi banyak pula karya-karya yang belum tergali dan sangat berharga untuk diungkap.
Kota-kota kuno biasanya berpusat pada keraton tempat tinggal ratu atau penguasa. Karena tempat tinggal ratu merupakan kompleks bangunan, tempat bekerja para pendeta, pegawai administrasi, dan para seniman (Surjomihardjo,2000:17). Wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota Jogyakarata telah lama dikenal sebelum Sultan Hamengku Buwono I memilih tempat itu sebagai pusat pemerintahan. Wilayah itu dikenal dalam sejarah tradisional ( babad) dan leluri dari mulut ke mulut. Babad Giyanti mengisahkan, bahwa Sunan Amangkurat telah mendirikan dalem di wilayah itu yang bernama Gerjiwarti dan oleh Paku Buwono II dinamakan Ayogya (Surjomiharjo, 2000: 18).


20
 
 


B.            Tradisi dan Kesenian Keraton Yogyakarta yang Tetap Dilaksanakan dan Menggunakan Dialek Bahasa Jawa Krama
1.     Pagelaran Kesenian Wayang Kulit
Ada banyak tradisi dan bentuk kesenian yang dilaksanakan oleh keraton secara rutin. Dan dalam pelaksanaannya masih tetap memakai bahasa Jawa krama. Diantara tradisi tersebut, ada satu tradisi yang setiap dua minggu sekali tetap  dilaksanakan, yaitu pagelaran wayang kulit yang diselenggarakan di depan keraton dan dalam alun-alun kota Yogyakarta. Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
21
 
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
Dalam pagelaran wayang kulit tersebut, Dalang dalam melakonkan aktor wayang menggunakan bahasa Jawa krama, mulai dari awal sampai akhir cerita. Dengan demikian, pagelaran wayang kulit secara langsung maupun tidak langsung memiliki peranan dalam menjaga dan mewarisan kebudayaan kepada masyarakat. Selain itu, dilihat dari segi pembawaanya, pagelaran wayang kulit juga mempunyai peranan yang penting, yaitu dalam mempertahankan eksistensi bahasa jawa krama dan dalam meawariskan bahasa Jawa krama kepada masyarakat.
2.     Tradisi Sekaten
Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
22
 
Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".
Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
23
 
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.
Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.
24
 
Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.

C.            Pentingnya Bahasa Jawa Krama Untuk Tetap Dilestarikan dan Dijaga Eksistensinya
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari sifat ketergantungan dengan manusia lain. Manusia akan melakukan aktivitas-aktivitas yang pada intinya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak mungkin manusia bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap manusia akan berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain. Dalam interaksinya, terdapat unsur komunikasi, dan dalam unsur komunikasi terdapat unsur bahasa. Sehingga bahasa merupakan unsur pokok dalam interaksi. Dalam keesing (1999:79) disebutkan bahwa bahasa adalah sandi konseptual, sistem pengetahuan yang memberikan kesanggupan pada penutur­-- pendengar guna menghasilkan dan memahami ujaran, sedangkan ujaran ialah tingkah laku nyata— orang menghasilkan bunyi.
25
 
Di dunia ini, terdapat beranekaragam bahasa yang digunakan dalam berinteraksi. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan dan faktor pengaruh dari luar. Di jawa, terdapat bahasa yang khas, yang merupakan kebudayaan masyarakat yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk sosial. Yaitu bahasa Jawa. Di dalam pergaulan hidupnya, masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Pada waktu mengungkapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, dan juga berdasarkan usia maupun status sosialnya. Pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari segi tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa krama. Bahasa Jawa ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih rendah derajatnya atau status sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawa krama digunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab, tetapi  yang sebaya dalam umur maupun derajat sosialnya. Selain itu juga dilakukan terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Bahasa Jawa yang khusus digunakan dikalangan istana atau keraton disebut bahasa kedaton (atau bahasa bagongan) (Koentjaraningrat:2004: 329-330).
Pada dasarnya bahasa Jawa (ngoko dan krama) yang digunakan, memiliki tujuan untuk menghormati sesama. Oleh karena itu masyarakat jawa sebagai pemakai dan pemilik nahasa Jawa dikatakan sebagai masyarakat sopan, halus dan saling menghormati. Namun demikian, saat era modernisasi mulai memasuki kehidupan masyarakat Jawa, nampak sebuah perubahan yang signifikan. Banyak hal yang berkembangdan menjadi lebih maju dari sebelumnya, mulai dari sistem teknologi, informasi, birokrasi, politik dan sebagainya. Modernisasi yang terdapat pada perkembangan teknologi dan informasi inilah yang mempunyai pengaruh penting terhadap perkembangan budaya. Oleh karena itu, era modenisasi tidak hanya berdampak positif pada perkembangan masyarakat, melainkan juga berdampak negatif, yaitu mengenai kebudayaan pada umumnya dan bahasa Jawa krama pada khususnya. Hal ini tentu saja sangat berbahaya dalam usaha pelestarian dan pewarisan budaya, khususnya bahasa Jawa krama. Bahasa Jawa krama sebagai ciri khas masyarakat Jawa merupakan simbol identitas jati diri mereka.
26
 
Berdasarkan asumsi diatas, dapat dikatakan bahwa alasan perlunya menjaga eksistensi bahasa Jawa krama adalah agar eksistensi bahasa jawa krama itu sendiri dapat bertahan di era modernisasi saat ini. Misalnya mengapa bahasa Jawa krama yang sering digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal akrab maupun berbicara dengan orang yang umurnya lebih tinggi harus dilaksanakan dan dipertahankan?. Hal ini dikarenakan agar persepsi orang terhadap masyarakat Jawa yang terkenal “lemah lembut”, “halus”, dan penuh dengan sopan santun tidak akan luntur. Jika bahasa jawa krama sudah mulai jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dikhawatirkan persepsi orang mengenai ciri khas kepribadian masyarakat Jawa itu semakin lama akan hilang.
D.            Peranan Keraton Yogyakarta dalam Menjaga Eksistensi Bahasa Jawa Krama
Keraton
Yogyakarta
 
Eksistensi
Bahasa Krama
 
Pop
Culture
 
Era
 Modernitas
 
Penjelasan mengenai peranan keraton Yogyakarta dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa krama dapat dlihat dari bagan dibawah ini:

 




Era modernitas memunculkan suatu kebudayaan popular atau yang disebut dengan Pop Culture, dimana pop culture mempengaruhi dan bahkan memaksa individu atau kelompok masyarakat menggunakan bahasa gaul atau bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan bahasa Indonesia  yang telah ditetapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan penggunaan bahasa asing melalui semua media yang ditawarkan. Pop culture itu sendiri adalah sebuah kebudayaan yang dianut atau dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan atas kepopuleran yang saat ini sedang berkembang. Baik itu dalam hal life style, gaya hidup, pakaian, model rambut, tutur kata dan lain sebagainya. Kebanyakan yang mendapat pengaruh daripada pop culture atau budaya pop adalah generasi muda. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan eksistensi bahasa Jawa krama yang notabene merupakan bahasa asli masyarakat Jawa dan merupakan warisan kebudayaan Jawa terancam eksistensinya. Dari kondisi yang sedemikian rupa ini keraton memiliki posisi yang sentral dalam menjaga eksistensi bahasa krama karena dalam lingkungan  keraton Jogyakarta penggunaan bahasa krama bersifat intensif dan berbagai aktivitas atau bahkan ritual yang menggunakan bahasa Jawa krama.
27
 
Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan Jawa Islam, disamping mengagungkan Islam, juga masih mengagungkan tradisi kejawen, keduanya merupakan aspek religius Keraton. Aspek religius keraton merupakan penggabungan dari keduanya yang telah ada dan dijalankan secara tumpang tindih, tidak terpisahkan dengan yang lain (Said Agil, 2001). Dalam tradisi kejawen yang dilakukan oleh keraton tersebut, terdapat nilai-nilai dan makna-makna sosial budaya yang dikandungnya. Dan dalam pelaksanaan tradisi tersebut, masih tetap menggunakan bahasa Jawa krama. Dengan demikian, secara tidak langsung keraton Yogyakarta mempunyai peranan sebagai media pewarisan kebudayaan dan berfungsi dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa krama.
Keraton Yogyakarta terbuka bagi semua orang. Keterbukaan bagi semua itu bertujuan untuk mengembangkan seni dan budaya. Budaya keraton disebut dengan adiluhung, artinya pembinaan pelestarian dan pengembangan tidak secara eksklusif karya busana tradisional yang sudah mapan dipertahankan keasliannya, tetapi karena karya-karya itu telah diakui secara luas sebagai khazanah budaya yang khas Yogyakarta, yang disebut sebagai gaya mataram (Said Agil, 2001).
Oleh karena itu, perlu ditekankan lagi bahwa di era modernisasi sekarang ini kondisi bahasa Jawa krama terancam eksistensinya. Hal ini terlihat jelas dengan adanya pemakaian bahasa Jawa krama yang semakin sedikit dan masyarakat Jawa itu sendiri lebih cenderung untuk memakai bahasa gaul atau bahasa Indonesia yang tidak baku  yang disertai bahasa asing. Melihat kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Seperti diketahui bahasa krama merupakan bahasa asli negeri ini dan merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan keberadaannya. Apabila hal ini tidak memperoleh perhatian secara khusus dari berbagai pihak, maka kemungkinan besar bahasa  Jawa krama akan punah. Selama ini image yang melekat pada masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan keramahtamahan, salah satunya diwujudkan dalam pemakaian bahasa jawa krama yang identik dengan kehalusan. Semakin sedikitnya pemakai bahasa jawa krama berdampak pada semakin pudarnya image tersebut.

Dalam konteks yang sedemikian rupa ini, keraton Yogyakarta memiliki kedudukan yang strategis dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa krama. Aktivitas-aktivitas yang ada dalam keraton Jogyakarta ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap eksistensi bahasa Jawa krama. Adapun aktivitas yang dimaksud adalah ritual-ritual yang masih memakai bahasa Jawa krama dalam pelaksanaanya antara lain pisowanan, sungkeman, pagelaran wayang dan lain-lain. Namun, selama ini peranan tersebut tidak begitu disadari oleh masyarakat Jawa. Dengan demikian jelas bahwa keraton Jogyakarta memiliki peranan dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa krama yang semakin terancam keberadaaanya.
oleh: Muntohar, Nur Rokhman, Arlinda Chikmata Sari  


DAFTAR PUSTAKA



Agil, Said Husein Dkk.2001. Khasanah Budaya Keraton Yogyakarta Di. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga bekerja sama dengan YKII.

Djoyomartono, Mulyono.1991. Perubahan Kebudayaan Dan Masyarakat Dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press

Heppell, Daniel Justin. 2004. Penyebab dan Akibat Perubahan Kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam www.tembi.org/keraton_yogja/keraton_yogya.htm  (diunduh pada tanggal 22 Maret 2007)

Herusatoto.2003. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Ihromi, TO. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Khairuddin. 2002. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

_____________.2002. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Liliweri, Alo.2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

Poerwanto, Hari. 2005. Kebudayaan dsan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Jogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: perspektif antropologi.  Yogyakarta: pustaka pelajar ofsett.

Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sujarwa. 2005. Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Sudaryanto.1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Uhlenbeck. E.N.1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta : Semarang Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar