TEORI SOSIOLOGI MODERN
a. Sosiologi Amerika: Mazhab Chicago
Sosiologi
menjadi populer di Amerika Serikat (AS) karena proses perubahan sosial yang
sangat pesat. Hal itu disebabkan masyarakat AS yang pragmatis dan kapitalis.
Sosiologi Amerika berbeda dengan Sosiologi Eropa yang memiliki akar ilmiah.
Sosiologi di AS berkonsentrasi pada kajian empiris yang menangkap detail-detail
faktual atas apa yang sebenarnya terjadi. Melalui studi tersebut lahir
tokoh-tokoh seperti Lester W Ward (1841-1913) yang menulis tentang
hukum-hukum dasar kehidupan sosial, Dubois (1868-1963) dan Jane Adams
(1860-1935) yang melakukan survei investigasi yang menggambarkan kondisi
masyarakat, seperti masalah diskriminasi ras, perbudakan, dan kondisi
perkampungan kumuh.
Studi
tentang kondisi riil masyarakat terus berkembang seiring dibukanya Jurusan
Sosiologi di Universitas Chicago. Sosiolog Chicago memproklamirkan studi yang
sama sekali baru terhadap suatu proses sosial dengan mengkaji masyarakat secara
kelompok kecil, karena masyarakat tumbuh dengan pesat dan multietnis. Aliran
ini terkenal dengan Mazhab Chicago, yang secara spesifik memfokuskan
diri pada bagaimana persepsi individu terhadap situasi pembentukan budaya dan
respon kelompok. Beberapa tokoh penting aliran Chicago adalah: Robert Ezra
Park (1864-1944) dengan pendekatan ekologisnya, Louis Wirth
(1897-1952) dengan Teori Urbanisme, George Herbert Mead
(1863-1931) menciptakan Teori Diri dan konsep Sosialisasi, Charles
Horton Cooley melontarkan Teori Looking Glass-Self atau
Cermin Diri. Sosiologi Amerika pada masa ini juga bisa dikatakan sebagai
periode peralihan dari pemikiran sosiologi klasik ke modern.
b. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori/Perspektif
ini menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik serta
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi,
disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes dan keseimbangan (equilibrium).
Dalam
teori/perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok
yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak
teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil
dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan
untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Dengan kata lain,
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau
elemen yang saling berkaitandan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan
yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pada bagian yang lain.
Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap
yang lain. Para tokoh dalam perspektif
fungsionalis: Talcott Parsons
(1937), Kingsley Davis (1937), dan Robert K. Merton (1957)
Talcott
Parsons (1902-1979) mensistemasi rumusan-rumusan terdahulu tentang
pendekatan fungsionalis terhadap sosiologi. Parsons mengawali dari masalah
aturan yang dikemukakan filsuf terdahulu Thomas Hobbes (1585-1679).
Hobbes mengatakan bahwa manusia mungkin secara alamiah saling mencakar satu
sama lain kecuali jika dikontrol dan dikekang secara sosial.
Berpijak
dari pandangan itu, Parsons mengembangkan Teori Sistem (1951) yang
menguraikan panjang lebar tentang apa yang disebut prasyarat fungsional
bagi keberlangsungan sebuah masyarakat. Prasyarat tersebut adalah A-G-I-L:
a) Adaptation
(adaptasi): bagaimana sebuah sistem beradaptasi dengan lingkungannya. Konsep
ini dikaitkan dengan faktor ekonomi.
b) Goal Attainment
(pencapaian tujuan): menentukan tujuan yang kepadanya anggota masyarakat
diarahkan. Konsep ini dikaitkan dengan faktor politik.
c) Integration
(integrasi): kebtuhan untuk mempertahankan keterpaduan sosial. Konsep ini
dikaitkan dengan faktor sosial.
d) Laten-Pattern Maintenance
(pemeliharaan pola): sosialisasi atau reproduksi masyarakat agar nilai-nilai
tetap terpelihara. Konsep ini dikaitkan dengan faktor budaya.
Ide Parsons mengenai Teori Sistem
adalah bahwa masyarakat merupakan sistem yang mengatur diri sendiri. Perubahan
dalam satu bagian dari sistem akan menghasilkan reaksi dan kompensasi pada
bagian yang lain. Agar masyarakat dapat bertahan, diperlukan unsur-unsur
prasyarat fungsional yang saling mendukung, yaitu: kontrol sosial, sosialisasi,
adaptasi, sistem kepercayaan (agama), kepemimpinan, reproduksi, stratifikasi
sosial, dan keluarga.
c. Teori Konflik
Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung
terhadap Teori Fungsionalisme Struktural. Para teoritisi konflik melihat bahwa masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus
menerus diantara kelompok dan kelas. Bertentangan dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu
keseimbangan yang mantap.
Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada
karya Karl Marx (1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas
sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu
yang lama perspektif konflik diabaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini
perspektif tersebut telah dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills
(1956-1959), Lewis Coser (1956) dan yang lain Ralph Dahrendorf (1959), Randall Collins, dan Jonathan
Turner.
Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan
antar kelas untuk pemilikan atas kekayaan yang produktif, para teoretisi
konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan
meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan
terkecuali satu hal, dimana orang-orang muncul sebagai penentang – kelas,
bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.
Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai
terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. Mereka
mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama’ yang dilihat oleh para fungsionalis
sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus tersebut
adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai
seta peraturan mereka terhadap semua orang.
Menurut para teoretisi konflik, para fungsionalis gagal
mengajukan pertanyaan, “secara fungsional bermanfaat untuk siapa”. Para
teoretisi konflik menuduh para fungsionalis berasumsi bahwa “keseimbangan yang
serasi” bermanfaat bagi setiap orang sedangkan hal itu menguntungkan beberapa
orang dan merugikan sebagian lainnya. Para teoretisi konflik memandang
keseimbangan suatu masyarakat yang serasi sebagai suatu khayalan dari mereka yang tidak berhasil mengetahui
bagaimana kelompok yang dominan telah membungkam mereka yang dieksploitasi.
Para teoretisi konflik mengajukan pertanyaan seperti “Bagaimana pola saat ini
timbul dari perebutan antara kelompok-kelompok yang bertentangan, yang
masing-masing mencari keuntungan sendiri?”, “Bagaimana kelompok dari kelas yang
dominan mencapai dan mempertahankan hak istimewa mereka?”, “Bagaimana mereka
memanipulasi lembaga-lembaga masyarakat (sekolah, gereja, media massa) untuk
melindungi hak istimewa mereka?”, “Siapa yang beruntung dan siapa yang
menderita dari struktur sosial saat ini?”, “Bagaimana masyarakat bisa dibentuk
lebih adil dan lebih manusiawi?”.
d. Teori Neo-Marxis: Teori Kritis
Teori
kritis memandang bahwa kenetralan teori tradisional/klasik sebagai
kedok pelestarian keadaan yang ada (mempertahankan statusquo). Padahal menurut
Teori Kritis, realitas yang ada itu adalah realitas semu yang menindas, oleh
karena itu harus disibak, dibongkar dengan jalan mempertanyakan mengapa sampai
menjadi realitas yang demikian. Teori kritik lahir untuk membuka seluruh
selubung ideologis yang tak rasional yang telah melenyapkan kebebasan dan
kejernihan berpikir manusia modern.
Berpikir
kritis adalah berpikir dialektis, yaitu berbikir secara totalitas
timbal balik. Totalitas berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur saling
bernegasi (mengingkari atau diingkari), berkontradiksi (melawan atau dilawan),
dan saling bermediasi (memperantarai atau diperantarai). Pemikiran dialektis
menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat (Sindhunata,
1983).
Pemanfaatan
Teori Kritis dalam pembangunan sebagai wujud dari perubahan sosial tentunya
mempunyai prasyarat. Pertama, harus curiga dan kritis terhadap masyarakat.
Kedua, harus berpikir secara historis (mencari sebab-musababnya). Ketiga, tidak
memisahkan antara teori dan praktis.
Berbicara
teori kritis tidak terlepas dari aliran pemikiran Mazhab Frankfurt. Kelompok
teori kritis Jerman ini terabaikan ketika mereka menulis pada tahun
1930-1940-an tetapi mulai diperhatikan sekitar tahun 1960-an. Mereka melibatkan
diri dalam persoalan bahwa masyarakat tidak memperlihatkan perkembangan
revolusioner sederhana seperti yang diramalkan Marx. Mazhab Frankfurt ini
beranggotakan tokoh-tokoh “kiri” yang terkenal, antara lain: Felix Weil,
Friedrich Pollock, Max Horkheimer, Karl Wittfogel, Theodor Adorno, Walter
Benjamin, Herbert Marcuse, dan Erich Fromm.
1) Herbert
Marcuse: One Dimensional Man
Herbert
Marcuse (1898-1979) merupakan anggota Mazhab Frankfurt yang setengah hati.
Menjadi terkenal selama tahun 1960-an karena dukungannya terhadap gerakan radikal
dan anti-kemapanan. Dia pernah dijuluki “kakek terorisme”, merujuk pada
kritiknya tentang masyarakat kapitalis, One Dimensional Man (1964) yang
berargumen bahwa kapitalisme menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu, kesadaran
palsu, dan budaya massa yang memperbudak kelas pekerja.
2) Jurgen
Habermas: Komunikasi Rasional
Setelah
tahun 1960-an, sosiologi makin menyadari pentingnya faktor kebudayaan dan
komunikasi dalam menganalisis masyarakat. Jurgen Habermas (1929- )
menggabungkan kesadaran baru dengan Mazhab Frankfurt. Habermas membicarakan
komunikasi rasional dan kemungkinan keberadaannya dalam masyarakat kapitalis.
Dalam karyanya The Theory of Communicative Action (1981), Habermas mengemukakan
analisis kompleks tentang masyarakat kapitalis dan cara-cara yang mungkin untuk
melawan melalui emansipasi komunikatif dan moral.
3) Antonio
Gramsci: Hegemoni
Antonio
Gramsci (1891-1937), seorang sosiolog Italia adalah seorang pemikir kunci dalam
pendefinisian ulang perdebatan mengenai kelas dan kekuasaan. Konsepnya tentang Hegemoni
menjadi diskusi tentang kompleksitas masyarakat modern. Gramsci menyatakan
bahwa kaum Borjuis berkuasa bukan karena paksaan, melainkan juga dengan
persetujuan, membentuk aliansi politik dengan kelompok-kelompok lain dan
bekerja secara ideologis untuk mendominasi masyarakat. Dengan kata lain,
masyarakat berada dalam keadaan tegang terus-menerus.
Ide
mengenai hegemoni (memenangkan kekuasaan berdasarkan persetujuan masyarakat)
sangat menarik karena pada kenyataannya individu selalu bereaksi terhadap dan
mendefinisi ulang masyarakat dan kebudayaan tempat mereka berada. Ide-ide
Gramsci selanjutnya banyak berpengaruh pada studi kebudayaan dan budaya
populer.
e. Teori Aksi
Teori ini mengikuti sepenuhnya karya Max
Weber yang mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1940,
dengan beberapa karya sosiolog. Seperti Florian Znaniecki, Robert M. Mac Iver, Talcot Parsons, dan
Robert Hinkle. Beberapa asumsi
fundamental Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver,
Znaniecki dan Parson, sebagai berikut:
a) Tindakan manusia
muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal
dalam posisinya sebagai obyek.
b) Sebagai subyek
manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi
tindakan manusia bukan tanpa tujuan
c) Dalam bertindak
manusia menggunakan cara, teknik,prosedur, metode serta perangkat yang
diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
d) kelangsungan
tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan
sendirinya.
e) Manusia memilih,
menilai, mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah
dilakukannya.
f) Ukuran-ukuran,
aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat
pengambilan keputusan
g) Studi mengenai
antar hubungan sosial memerlukanj pemakaian teknik penemuan yang bersifat
subyektif, seperti metode verstehen, imajinasi, symphatetic
reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience)
Talcot Parsons, merupakan pengikut Weber yang utama
sebagaimana para pengikut Teori Aksi yang lain menginginkan adanya pemisahan
antara Teori Aksi dan Aliran Behaviorisme. Istilah yang dipilih adalah “action”
bukan “behavior” karena memiliki konotasi yang berbeda. “Behavior”
secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku
(respons) dengan rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan “action”
menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses
penghayatan diri individu.
Parsons menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial
dengan karakteristik sebagai berikut:
a) Adanya individu
sebagai aktor
b) Aktor dipandang
sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu
c) Aktor mempnyai
alternatif cara,alat serta teknik untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
d) Aktor berhadapan
dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam
mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagaian ada
yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya: jenis kelamin dan
tradisi
e) Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, nrma-norma dan berbagai ide
abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan
alternatif untuk mencapai tujuan (voluntarisme).
f. Teori Interaksionisme Simbolik
Perspektif ini tidak menyarankan teori-teori besar
tentang masyarakat karena istilah “masyarakat”, “negara”, dan “lembaga
masyarakat” adalah abstraksi konseptual saja, sedangkan yang dapat ditelaah secara
langsung hanyalah orang-orang dan interaksinya saja.
Para ahli interaksi simbolik seperti G.H. Mead,
C.H. Cooley, dan John Dewey memusatkan perhatiannya terhadap interaksi antara
individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa orang-orang berinteraksi terutama
dengan menggunakan simbol-simbol yang mencakup tanda, isyarat, dan yang paling
penting, melalui kata-kata secara tertulis dan lisan. Suatu kata tidak memiliki
makna yang melekat dalam kata itu sendiri, melainkan hanya suatu bunyi, dan
baru akan memiliki makna bila orang sependapat bahwa bunyi tersebut mengandung
suatu arti khusus.
Charles
Horton Cooley (1846-1929) memandang bahwa hidup manusia secara
sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis
manusia tiada beda, tapi secara sosial tentu sangat berbeda. Perkembangan
historislah yang menyebabkan demikian. Dalam analisisnya mengenai perkembangan
individu, Cooley mengemukakan teori yang dikenal dengan Looking Glass-Self
atau Teori Cermin Diri. Menurutnya di dalam individu terdapat tiga
unsur: 1) bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat kita; 2) bayangan
mengenai pendapat orang lain mengenai diri kita; dan 3) rasa diri yang bersifat
positif maupun negatif.
George
Herbert Mead (1863-1931), salah satu tokoh sentra interaksionisme
simbolik menggambarkan pembentukan diri” atau tahap sosialisasi dalam
ilustrasi pertumbuhan anak, dimana terdapat tiga tahap pertumbuhan anak, yakni
1) tahap bermain (play stage); 2) tahap permainan (game stage);
dan 3) tahap mengambil peran orang lain (taking role the other).
Manusia tidak bereaksi terhadap dunia sekitar secara
langsung, mereka bereaksi terhadap makna yang mereka hubungkan dengan
benda-benda dan kejadian-kejadian sekitar mereka, lampu lalu lintas, antrian
pada loket karcis, peluit seorang polisi dan isyarat tangan. W.I. Thomas
(1863-1947), mengungkapkan tentang definisi suatu situasi, yang mengutarakan
bahwa kita hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat
situasinya. Bila seorang laki-laki mendekat dan mengulurkan tangan kanannya,
kita mengartikannya sebagai salam persahabatan, bila mendekat dengan tangan
mengepal situasinya akan berlainan. Kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dan bereaksi dengan
tepat, dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan.
Para ahli dalam bidang perspektif interaksi modern,
seperti Erving Goffman (1959) dan Herbert Blumer (1962)
menekankan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara langsung, sebaliknya
mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang
itu.” Dalam perilaku manusia, “kenyataan” bukanlah sesuatu yang tampak. Kenyataan dibangun dalam alam pikiran orang-orang
sewaktu mereka saling menilai dan menerka perasaan serta gerak hati satu sama
lain. Apakah seseorang adalah teman atau musuh, atau seorang yang asing
bukanlah karakteristik dari orang tersebut. Baik buruknya dia, diukur oleh
pandangan tentang dia.
Perspektif interaksionis simbolis memusatkan perhatiannya
pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana
arti ini diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya. Para ahli
perspektif interaksi telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap
perkembangan kepribadian dan perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu
dalam studi terhadap kelompok-kelompok besar dan lembaga-lembaga sosial.
g. Teori Fenomenologi
Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini
justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana
kehidupan bermasyarakat itu dapat terbentuk.
Alfred Schutz sebagai salah seorang tokoh teori ini bertolak dari pandangan Weber,
berpendirian bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia
memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain
memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara
subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan
proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan arti terhadap
tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan
memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh aktor.
Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari
subjektivitas yang disebutnya antar subjektivitas. Konsep ini menunjuk
pada pemisahan keadaan subjektif dari kesadaran umum ke kesadaran khusus
kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi.
h. Etnometodologi
Etnometodologi
adalah sebuah aliran sosiologi Amerika yang lahir tahun 1960-an dan dimotori
oleh Harold Grafinkel (1917). Etnometodologi lebih memperhitungkan
kenyataan bahwa kelompok sosial mampu memahami dan menganalisis dirinya sendiri
(Coulon, 2008). Etnometodologi adalah sebuah analisis terhadap metode yang
dipakai manusia untuk merealisasikan kegiatan sehari-harinya. Etnometodologi
merupakan ilmu tentang etnometode, sebuah prosedur yang disebut Grafinkel
sebagai “penalaran sosiologi praktik”.
Etnometodologi
bergerak dengan konsep-konsep khasnya, seperti indeksikalitas, reflektivitas,
akuntabilitas, subjektivitas, pengambilan data yang lebih terbatas pada
manuskrip yang belum diterbitkan, catatan kuliah, atau catatan harian
penelitian.
i. Teori Pertukaran Sosial
1) Teori Pertukaran
Tokoh utama teori ini adalah George C.
Homans
dan Peter M. Blau. Teori ini
dibangun sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial. Homans mengakui menyerang paradigma fakta sosial secara
langsung. Tetapi Homan mengakui bahwa fakta sosial berperan penting terhadap
perubahan tingkah laku yang bersifat psikologi yang menentukan bagi munculnya
fakta sosial baru berikutnya. Menurut Homan sebenarnya yang menjadi faktor
utama dan mendasar adalah variabel yang bersifat psikologi.
Teori ini mendasarkan sistem deduksinya pada
prinsip-prinsip psikologi yaitu: 1) Tindakan sosial dilihat equivalen dengan tindakan
ekonomis;
2) Dalam rangka interaksi sosial, aktor
mempertimbangkan juga keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang
dikeluarkannya (cost benefit ratio). Proposisi yang perlu diperhatikan adalah:
· Makin tinggi ganjaran (reward)
yang diperoleh maka makin besar kemungkinan sesuatu tingkahlaku akan diulang
· Demikian sebaliknya. Makin tinggi biaya
atau ancaman hukuman (punishment) yang akan diperoleh semakin kecil kemungkinan
tingkah laku serupa akan diulang
· Adanya hubungan berantai antara
berbagai stimulus dan antara berbagai tanggapan.
2) Teori Sosiologi Perilaku
Sosiologi
Perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara sejarah reaksi lingkungan
atau akibat dan sifat perilaku kini. Teori ini mengatakan bahwa akibat perilaku
tertentu di masa lalu menentukan perilaku masa kini. Dengan demikian dapat
diprediksi apakah aktor akan menghasilkan perilaku yang sama dalam situasi
kini.
3) Teori Pilihan Rasional
Teori
Pilihan Rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai
manusia yang mempunyai tujuan atau maksud yang akan melakukan usaha untuk
mencapai tujuan tersebut. Aktor pun dipandang mempunyai pilihan. Teori ini tak
menghiraukan apa yang menjadi pilihan, yang penting adalah kenyataan bahwa
tindakan digunakan untuk mencapai tujuan sesuai pilihan aktor.
Menurut pandangan
teori ini, minimal ada dua hal yang dapat mempengaruhi pilihan atau bersifat
memaksa terhadap tindakan yang dilakukan aktor. Pertama, keterbatasan sumber;
dan kedua, paksaan lembaga sosial. Tokoh teori ini adalah Friedman dan Hechter.
j. Teori Feminisme
Kaum
feminis menyatakan bahwa penjelasan sosiologi hanya mereproduksi ide bahwa
gender bersifat alamiah dan bahwa wanita memenuhi peran sosial yang relevan.
Feminisme pada hakikatnya adalah wanita yang menghendaki kesetaraan dalam hal
akses terhadap pendidikan, pekerjaan, penghasilan, politik, dan kekuasaan.
Kritik utama kaum feminis atas sosiologi dapat diringkas sebagai berikut:
a) Riset sosiologi selalu dikonsentrasikan
para pria;
b) Riset ini kemudia digeneralisasikan
kepada seluruh populasi;
c) Wilayah-wilayah yang menyangkut wanita,
seperti reproduksi telah diabaikan;
d) Riset bebas-nilai sebenarnya berarti
riset yang buta jenis kelamin, dan wanita ditampilkan dalam cara pandang yang
tidak berimbang;
e) Jenis kelamin dan gender tidak
dipandang sebagai variabel penting dalam menganalisis masyarakat, padahal
sangat penting.
Secara
historis, wanita selalu dianggap tidak sehebat pria. Baru dalam lima dasa warsa
belakangan ini sajalah wanita secara aktual mencapai semacam pengakuan
kesetaraan, meski masih terbatas. Kritik kaum feminis atas masyarakat
didasarkan pada ide bahwa sebenarnya manusia dilahirkan dalam keadaan sama, dan
cara masyarakat mengorganisasilah yang menimbulkan siskriminasi.
Secara
aktual dalam bidang pendidikan ditemukan bahwa wanita yang diberi kesempatan
yang sama dengan pria sebenarnya dapat berprestasi lebih baik dalam hampir
semua mata pelajaran. Ini agak mengkhawatirkan bagi pria karena kesempatan
kerja bagi mereka menjadi berkurang, sementara teknologi mutakhir kini makin
menyisihkan kekuatan otot sebagai penggerak produksi ekonomi. Program yang
dianjurkan feminisme untuk merekonstruksi sosiologi mencakup hal-hal berikut ini
(Osborne, 1996: 122):
a) Menempatkan gender di pusat seluruh
analisis, sejajar dengan kelas dan ras;
b) Mengkritik perspektif pria dalam
seluruh teori sosiologi, yang berarti menganalisis sikap-sikap yang telah
membentuk cara pandang para sosiolog;
c) Menganalisis hubungan antara wilayah
publik dan domestik sebagai hal penting dalam memahami bagaimana masyarakat
berfungsi;
d)
Memeriksa
dengan teliti seluruh teori sosiologi.
Teori Sosiologi Feminis
Teori
ini berkembang dari teori feminis pada umumnya, sebuah cabang ilmu baru tentang
wanita yang mencoba menyediakan sistem gagasan mengenai kehidupan manusia yang
melukiskan wanita sebagai objek dan subjek, sebagai pelaku dan yang mengetahui.
Pengaruh gerakan feminis kontemporer terhadap sosiologi telah mendorong
sosiologi untuk memusatkan perhatian pada masalah hubungan jender dan kehidupan
wanita. Banyak teori sosiologi kini yang membahas masalah ini.
Pertanyaan-pertanyaan
feminis dapat diklasifikasikan menurut empat pertanyaan mendasar:
a) Dan bagaimana dengan perempuan?
b) Mengapa situasi perempuan seperti
sekarang ini?
c) Bagaimana kita dapat mengubah dan
memperbaiki dunia sosial?
d) Bagaimana dengan perbedaan di antara
perempuan?
Jawaban
atas pertanyaan ini menghasilkan teori-teori feminis.
Tokoh-tokoh feminisme
yang terkenal antara lain: Patricia Hill Collins (Teori Interseksionalitas),
Janet Chafetz (Teori Konflik Analitik), Kathryn B. Ward (Teori Sistem Dunia),
Margaret Fuller, Frances Willard, Jane Addams, Charlotte Perkins Gilman
(Feminisme Kultural), Helene Cixous, Luce Irigaray (Analisis Fenomenologis dan
Eksistensial), Jessie Bernard (Feminisme Liberal),
k. Strukturalisme
Setelah
pergeseran Neo-Marxis dalam sosiologi, datanglah gelombang kedua teori
strukturalis yang menulis ulang cara-cara ditanamkannya determinasi sosial dan
agen sosial.
Strukturalisme
dipelopori oleh perintis linguistik, yakni Ferdinand de Saussure
(1857-1913) yang mengawali dengan kajian tentang bahasa tetapi berakhir dengan
kajian atas segala sesuatu sebagai struktur. Teori semiotika atau studi
atas tanda-tanda dimulai dari aksioma terkenal bahwa bahasa adalah sistem yang
terstruktur, kebudayaan kemudian diuji sebagai sistem terstruktur yang sama,
dan selanjutnya masyarakat secara keseluruhan.
Pada
akhirnya kita semua terjebak dalam bahasa dan kita memperoleh budaya melalui
bahasa. Kita adalah makhluk yang berbicara. Oleh karena itu untuk memahami
sebuah budaya, kita harus mengerti struktur yang berfungsi di dalamnya dan pola
dasar yang membentuknya.
Tokoh strukturalis
yang terkenal di antaranya adalah Roland Barthes yang menganalisis
tentang tanda-tanda dalam budaya populer. Pentingnya media massa dalam
menyebarkan pandangan ideologis tentang dunia didasarkan pada kemampuannya
untuk membuat tanda, citra, penanda, bekerja dalam cara tertentu.
sumber :
http://pensa-sb.info/teori-sosiologi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar