Teori
sosial postmodern lahir dari para pemikir aliran postmodernisme. Postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalan memenuhi janji-janjinya.
Pemikir postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan
dunia, metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme
cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern, seperti: emosi,
perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman pribadi, kebiasaan, kekerasan,
metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan
pengalaman mistik (Ritzer, 2006: 19).
Banyak tokoh-tokoh postmodernisme yang
sering diperbincangkan dalam kancah teori sosial karena karyanya yang unik dan
menghebohkan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Jacques Derrida (Gramatologi
dan Utusan), Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Skizoanalisis), Jacques Lacan
(Imaginer, Simbolik, Nyata), Paul Virilio (Dramologi), Ulrich Beck (Modernitas
dan Resiko), Jurgen Habermas (Modernitas: Proyek Yang Tak Selesai), Daniel Bell
(Masyarakat Post-Industri), Fredric Jameson (Logika Kultural Kapitalisme
Akhir), dan Anthony Giddens (Lokomotif Modernitas dan Teori Strukturasi)
a. Michael Foucault: Kekuasaan dan Wacana
Perhatian
Faucault (1926-1984) terpusat pada bagaimana pengetahuan dihasilkan dan
digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan wacana terkait
dengan pengetahuan. Radikalisme Faucault adalah bagian dari apa yang disebut
kecenderungan posmodern dalam sosiologi, yaitu penolakan atas teori besar (metanarasi)
tentang masyarakat dan sejarah.
Foucault
melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu
yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami
sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak.
Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi
kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang
telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan
rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh
kekuasaan
b. Jean
Baudrillard: Simulacra
Menurut
Baudrillard, masyarakat itu tidak ada. Jika ada, ia sepenuhnya tersusun dari
tanda-tanda atau simulasi (yang juga diistilahkan dengan simulacra)
karena kita hidup dalam jenis masyarakat pascaindustri. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa komunikasi televisual dan tanda-tandanya telah begitu
mendominasi realitas global sehingga orang-orang sangat kesulitan untuk memutuskan
mana kenyataan sebenarnya.
Baudillard
berpandangan bahwa apa disebut realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat
dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun
masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana yang secara
cepat dan keras menggantikan pengalaman manusia dan realitas. Iklan adalah
salah satu kendaraan utama simulasi ini. Simulasi juga cenderung memikirkan
hidup untuk mereka sendiri, melebih-lebihkan kenyataan atas sesuatu
c. Jean Francois Lyotard: Narasi Besar
Lyotard
berpandangan bahwa narasi besar atau cerita tentang sejarah dan masyarakat yang
diungkap oleh Marxisme dan ahli lain, harus diabaikan dalam dunia postmodern,
majemuk, dan polivokal ini. Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah
sosial yang dikatakan oleh manusia itu sendiri pada tingkat kehidupan dan
perjuangan mereka di tingkat lokal.
Teori
dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan
sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah,
pemahaman, sikap dan perilaku warga/pelaku sosial pun dapat berubah. Memang
perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup
kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau
kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya
dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan
antara teori-teori besar (grand theory) dan teori yang cakupannya tidak
seluas itu.
Sosiologi dalam dunia praksis tidak hanya meneliti masalah sosial untuk
membangun proposisi dan teori tetapi sosiologi bukanlah seperangkat doktrin
yang kaku dan selalu menekan apa yang seharusnya terjadi tetapi sebagai sudut
pandang atau ilmu atau ilmu yang selalu mencoba “mengupas” realitas guna
mengungkap fakta realitas yang tersembunyi dibalik realitas yang tampak.
Untuk
selalu membedah dan mengembangkan teori sosiologi, seorang pengamat sosial atau sosiolog dituntut selalu tidak percaya pada apa yang tampak sekilas dan
selalu mencoba menguak serta membongkar apa yang tersembunyi (laten) di balik
realitas nyata (manifes) karena sosiologi berpendapat bahwa dunia bukanlah
sebagaimana yang tampak tetapi dunia yang sesungguhnya baru bisa dipahami jika
dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan.
sumber :
sumber :
http://pensa-sb.info/teori-sosiologi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar