Daftar Blog Saya

Rabu, 08 Februari 2012

KELUARGA JAWA (review)


TERMINOLOGI PERTALIAN KELUARGA
Bentuk dasar sistem terminologi di Jawa adalah bilateral dan generasional, bersisi dua dan turun-temurun. Setiap orang Jawa selalu berada diantara kakek-nenek, ayah-ibu, kakak-adik, anak-anak dan cucu-cucu. Untuk saudara sepupu, ukuran kesenioran bukan dilihat dari usia, melainkan dari posisi kesenioran keluarga mereka didalam keluarga besar. Ada bentuk pembedaan antara keluarga “somah” dengan keluarga saudara yang lain. Namun untuk menjaga agar hubungan sosial lebih lancar dan terhindar dari perselisihan, hal tersebut sering dikesampingkan untuk para keluarga yang jauh dari kawasan “somah
Berdasarkan sistem terminologi, jenis kelamin, usia komparatif, jabatan, cara hidup dan terhadap orang yang tidak begitu dikenal, seseorang Jawa bisa mempunyai posisi tinggi dihadapan seseorang, namun posisinya bisa lebih rendah terhadap seseorang yang lainnya. Orang Jawa mempunyai dua tataran bahasa, yakni bahasa krama (hormat) dan (akrab). Bahasa krama digunakan untuk bertutur sapa terhadap oang yang mempunyai kedudukan kasepuhan, bahasa ngoko digunakan untuk berbicara secara akrab. Pada umumnya, berbahasa krama dianggap berat karena mengandung ketegangan sosial dan bersifat kaku.
Istilah sapaan kekeluargaan digunakan untuk menegur semua orang, baik yang keluarga maupun yang bukan keluarga (kecuali pembantu atau orang yang lebih muda), sebagai standar kesopanan masyarakat jawa. Konflik antarsistem-sistem penghormatan memang biasa terjadi. Misalnya, anak laki-laki berusia 12 tahun biasanya akan protes apabila harus memanggil kakeknya yang baru berusia 2 tahun dengan istilah kekeluargaan yang semestinya. Selain itu, semakin jauh jarak pertalian keluarga, semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik antara standar-standar penghormatan, yang berdampak terhadap melunturnya krteria-kriteria kekeluargaan.

KELUARGA SEDARAH DAN KELUARGA PERBESANAN
Bagi masyarakat Jawa, tidak ada konsep keluarga sedarah adalah sebagai satu kesatuan. Tidak ada batasan penyebaran keluarga, tetapi ada pembedaan antara saudara dekat dengan saudara jauh. Ketika ada hajatan keluarga diharapkan memberikan bantuan berupa bahan makanan, uang atau tenaga. Keluarga mempunyai kewajiban moral untuk memperhatikan saudara yang miskin dan memberikan tumpangan kepada yang belum mampu hidup sendiri.
Keluarga Jawa memperlakukan keluarga perbesanannya dengan hormat. Keluarga Jawa lebih memilih hanya hidup bersama dengan saudara keluarga sedarah dan tidak dengan saudara perbesanan karena menghindari munculnya perselisihan yang bisa terjadi ketika mereka hidup bersama dengan saudara perbesanannya.

KOMPOSISI RUMAH TANGGA
Perkawinan di Jawa cenderung monogami, namun poligami dijinkan dan cenderung mengangkatkan derajat seseorang. Pasangan pengantin baru di jawa biasanya tinggal bersama keluarga perempuan sebelum pasangan tersebut mulai mapan. Pada umumnya sebuah rumah tangga adalah sekelompok keluarga yang hidup dalam satu rumah. Terkadang, sesaudara hidup dalam satu rumah, namun biaya hidupnya tersebut ditanggung masing-masing.
Orang dewasa yang tinggal bersama di rumah saudara biasanya adalah saudara terdekat dari suami atau istri. Dalam sebuah rumah tangga yang didalamnya hidup bersama sekelompok saudara sedarah, mereka cenderung hidup sebagai satu kesatuan. Namun apabila didalamnya ada saudara perbesanan, biasanya suara mereka kurang bisa bulat.
            Ada banyak alasan bagi orang jawa untuk meminjam atau menitipkan anak kepada keluarga saudaranya, dan siapapun wajib menyediakan tempat bernaung bagi anak saudaranya yang membutuhkan tempat tinggal. Anak-anak dapat dipinjamkan dikalangan sesaudara. Akan tetapi, anak-anak jawa masih tetap membedakan antara paman dan bibi dengan orang tuanya sendiri. Lazimnya, orang tua pengasuh sementara anak adalah kakak dari ibu, lalu berikutnya adalah kakek-nenek dari garis ibu.Orang Jawa mempunyai kepercayaan bahwa mengangkat anak seperti halnya perkawinan bahwa yang mereka lakukan tersebut akan membawa nasib baik atau buruk itu tergantung keserasian magisnya,
            Peminjaman anak berbeda dengan pengangkatan anak. Pengangkatan anak oleh orang yang bukan saudara biasanya cenderung formal, sebagai penglepasan hak-hak anak oleh orang tua anak yang sebenarnya agar ada jaminan bahwa orang tua yang sebenarnya tidak akan muncul lagi sampai kelak si anak dewasa. Namun, si anak tetap layak menerima warisan dari orang tua sebenarnya karena si anak tidak punya hak waris atas orang tua asuhnya.

Anak Kualon (Tiri)
            Orang jawa menganggap bahwa keadaan sebagai tiri adalah serba sulit. Seorang ibu tiri tidak boleh memperlihatkan penganakemasan terhadap anaknya sendiri karena khawatir menyinggung perasaan suami dan anak tirinya. Apalagi, banyak pula cerita rakyat jawa yang menceritakan tentang kekejaman ibu tiri. Akan lebih mudah bila keadaannya adalah sebagai ayah tiri karena laki-laki jarang dirumah dan perempuan akan selalu bersama anaknya. Status wanita selalu lebih dominan di dalam keluarga karena laki-laki sering bersikap meanahan diri dan menghindari antarsesamanya, factor gyak wasangka antara saudara perbesanan pada umumnya dan posisi ekonomi wanita yang kuat.
PEMBAGIAN HARTA PADA PERCRAIAN DAN KEMATIAN
            Pembagian harta karena perceraian dan kematian didasarkan pada pertimbangan jasa serta kebutuhan masing-masing penerima harta. Tidak ada jaminan untuk adil sama rasa-sama rata, namun ada proses penyesuaian dan pencarian kesepakatan bersama agar kerukunan keluarga tetap terjaga.
            Ketika terjadi perceraian, harta pribadi tetap berada di tangan masing-masing. Kemudian untuk harta bersama yang diperoleh selama menjadi suami-istri akan dibagi dengan perbandingan dua bagian untuk suami dan satu bagian untuk istri. Jika harta sulit diidentifikasi sebagai milik pribadi atau milik bersama, maka harta tersebut biasanya dipercayakan kepada anak yang tinggal tidak bersama mereka setelah perceraian terjadi.
            Pembedaan harta seperti diatas berlaku juga dalam penyelesaian hak waris kematian ketika pasangan belum mempunyai anak. Harta pribadi milik si meninggal dikembalikan kepada orang tua dan saudara-saudara terdekatnya. Sedangkan harta milik bersama dibagi 2:1, dan bagian si meninggal diberikan kepada sanak saudaranya. Namun apabila mereka mempunyai anak, semua harta warisan orang tua menjadi hak milik anak-anaknya. Bahkan, seorang janda pun tidak berhak atas kekayaan suaminya. Tapi biasanya ia diberi sebagian harta sebagai penunjang hidupnya, atau tinggal bersama anak yang terkecil di rumah peninggalan suaminya yang nantinya akan menjadi hak milik anak tersebut.

PERKAWINAN
            Di Jawa, perkawinan merupakan pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang akan memisahkan diri dan membentuk basis rumah tangga baru. Perkawinan akan menyatukan dua rumah tangga menjadi keluarga perbesanan. Kebanyakan pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak dalam segala halnya, termasuk dalam memilihkan calon pengantinnya. Sering terjadi bahwa pertemuan pertama antara suami-istri adalah saat upacara pernikahan mereka sehingga tidak jarang pernikahan berujung kepada perceraian. Kemudian untuk perkawinan kedua dan ketiga biasanya diselenggarakan dengan kurang formalitas dan mempelai mulai mempunyai peranan yang lebih banyak dalam mempersiapkan perkawinan tersebut.
            Dalam pemilihan jodoh, faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah strata sosial, kemudian berikutnya adalah wawasan keagamaan, baru setelah itu baru mempertimbangkan kesrasian magis karena hubungan darah, perbandingan usia, dan sebagainya. Aturan magis yang paling diperhatikan dalam pemilihan jodoh adalah hari-hari lahir kedua calon pengantin sebagai petunjuk tentang watak masing-masing yang akan berdampak kepada kecocokan perkawinan mereka. Saudara-saudara sepupu paralel pada pihak ayah pantang untuk saling menikahi, karena laki-laki disana adalah wali menurut garis keturunan langsung. Seorang adik hendaknya tidak menikah sebelum kakak perempuannya menikah terlebih dahulu, atau mengadakan upacara “nglangkahi gunung” bila memang sudah ingin cepat-cepat menikah.
            Pola pinangan secara formal menurut kejawen adalah sebagai beriku; Pertama, adanya penjajakan oleh seorang teman atau saudara si pemuda. Kedua, kunjungan resmi si pemuda ayah atau sanak saudara yang lain ke rumah si gadis dengan perjamuan yang serba basa-basi. Setelah tercapai kesepakatan untuk perkawinan, pemuda memberikan bagi calon istrinya. Kemudian pada upacara pernikahannya nanti pemuda tersebut memnerikan seserahan hadiah lagi diluar mas kawin.
            Ada tiga upacara perkawinan yang terpisah, tetapi tidak harus dilaksanakan semuanya. Yang tidak boleh ditawar adalah pendafran perkawina ke kantor kecamatan (naib), serta doa darinya untuk pengantin dan mempelai. Kedua adalah slametan (makan bersama secara keagamaan) dirumah pengantin (perempuan). Ketiga, yang terpenting bagi orang jawa adalah ketemuan. Jika tidak ada dana untuk melaksanakan upacara besa-besaran atau mempelai pernah menikah, hal ini bisa ditiadakan. Mempelai laki-laki diiringi teman-teman pemuda sebayanya berjalan kaki menuju rumah perempuan. Secara simbolis, kedua mempelai bertukar tanaman berbunga dan sebagainya, menghirup air dari sebuah gayung yang disodorkan ibu mempelai perempuan, serta dibasuhnya kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sembari menyatakan kehendak pengabdiannya. Keluarga laki-laki tidak punya peranan dalam upacara perkawinan, tidak hadir pada upacara-upacara dan tidak memberikan sumbangan apa-apa untuk pesta yang diselenggarakan.
             Suami-istri muda yang kerap kali tidak saling mengenal sebelum perkawinan cenderung mengalami ketegangan emosional pada bulan-bulan pertama perkawinan. Hampir separuh perkawinan di jawa mengalami percerceraian, dan kebanyakan terjadi pada perkawinan pertama. Suami bertanggung jawab atas nafkah mantan istrinya selama masa terentu pasca perceraian. Namun, suami bisa kembali lagi kepada istri sebelum berakhirnya masa idah. Bila pun tidak rujuk kembali dengan suaminya, seorang janda tidak sulit untuk mendapatkan suami lagi karena beberapa faktor.

STRUKTUR PERTALIAN KELUARGA JAWA
            Sistem pertalian keluarga jawa jelas bilateral, mutlak simetris terhadap sanak saudara paternal dan maternal. Akan tetapi ada kecenderungan paternal di dalam pembagian harta warisan maupun gono-gini dan pantangan menikah dengan saudara paralel dari ayah karena hubungan wali garis keturunan langsung.
            Masyarakat jawa cenderung menghindari konflik terbuka dengan mengurangi hubungan dengan sanak saudara yang berkemungkinan bertentangan dengan menitikberatkan pada otonomi somah dan tidak ada kelompok-kelompok keluarga yang diperluas. Terdapat jaringan ikatan yang kukuh antara wanita-wanita sesaudara sebagai bentuk organisasi pertalian matrifolokal. Sistem terminologi pertalian keluarga jawa bersifat turun-temurun (generasional). Suatu sistem yang secara struktural sederhana, luwes dan mantap.