BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Kajian Pustaka
Berbagai penelitian
mengenai upaya-upaya pelestarian budaya telah dilakukan oleh beberapa pihak.
Hasil-hasil dari peneltian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan-bahan
referensi untuk tinjauan dalam berbagai kajian.
Penelitian
Juliani (2010) yang mengkaji tentang “Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Barongan
di Tengah Perkembangan Kesenian Modern di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora
Kabupaten Blora” menjelaskan bahwa Kesenian Tradisonal Barongan merupakan
kesenian rakyat yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Blora, terutama
masyarakat di daerah pedesaan. Paguyuban Kesenian Tradisonal Barongan di desa
Kunden dapat bertahan di tengah perkembangan kesenian modern karena mempunyai
beberapa faktor pendukung dalam upaya pelestariannya.
13
|
Pemerintah
Kabupaten Blora memberikan perhatian khusus dalam upaya pelestarian kesenian
tradisonal Barongan dengan mengadakan deklarasi kesenian tradisional barongan
dan menyertakan kesenian tradisional ke dalam Parade Seni Budaya Jawa Tengah.
Masyarakat yang menjadi pendukung dalam upaya pelestarian kesenian Barongan
juga menunjukkan peranannya dengan mengedarkan rekaman pertunjukkan yang berupa
kaset CD yang dijual di lapak-lapak sekitar pasar.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga
kelestarian kesenian tradisonal Barongan diharapkan memberikan dorongan kepada
masyarakat untuk dapat memiliki rasa tanggung jawab dan mengambil pembelajaran
serta memahami arti penting dari kesenian tradisonal Barongan. Seniman
diharapkan tetap professional dan selalu melestarikan kesenian Barongan sebagai
kesenian tradisional yang tidak kalah populer dengan kesenian modern.
Setiana (2010) dalam “Kajian Foklor tentang
Pelestarian Tradisi Macapat di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat” menuturkan
bahwa kesenian macapat merupakan warisan budaya yang adiluhung. Kesenian macapat sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan
di tanah Jawa dan menjadi sebuah foklor atau tradisi masyarakat. Pada era
globalisasi kesenian macapat meredup karena anak-anak muda lebih menyukai
kesenian modern daripada kesenian tradisional.
Masyarakat dewasa ini cenderung mengenal
kesenian macapat hanya dalam bentuk campursari. Kesenian macapat kurang diketahui
oleh masyarakat umum karena kesenian macapat sudah jarang ditemukan dan sudah
sedikit juga orang yang bisa mengajarkan kesenian macapat tersebut, oleh karena
itu kesenian macapat perlu dilestarikan karena kesenian macapat sudah berada
diambang kepunahan.
Pelestarian kesenian macapat tidak lepas dari
unsur-unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Unsur-unsur yang paling berpengaruh dalam pelestarian kesenian macapat antara
lain adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Dinas Kebudayaan, Dinas
Pendidikan, media massa dan masyarakat. Proses pelestarian kesenian macapat
dilakukan dengan diadakannya perlombaan-perlombaan kesenian macapat.
Pelestarian kesenian macapat juga dilakukan dengan kaderisasi, penggunaan
macapat dalam kehidupan sehari-hari dan menjalin kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang berwenang.
Kaderisasi terhadap kesenian macapat dilakukan
dengan mengajarkan kesenian macapat di tingkat pendidikan. Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat melakukan pelestarian kesenian macapat dengan mendirikan sanggar
KHP Krida Mardawa sebagai tempat untuk pembelajaran macapat. Kraton mengadakan
pementasan kesenian macapat pada setiap hari jum’at dan selalu memasukkan
macapat ke dalam setiap agenda acara resmi keraton.
Penelitian-penelitian di atas memberikan penjelasan
mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian budaya agar dapat
tetap bertahan dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Penelitian-penelitian diatas penulis gunakan
sebagai bahan kajian pustaka karena penelitian-penelitian tersebut dapat menjadi
bahan pendukung dalam penulisan skripsi ini. Kajian pustaka ini mengungkapkan permasalahan tentang upaya-upaya pelestarian yang
dilakukan terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Kajian pustaka ini berguna bagi penulis karena mengandung hal-hal yang cukup penting mengenai upaya-upaya pelestarian
kebudayaan yang dapat menjadi pengetahuan tambahan bagi penulis.
Penelitian-penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan penulis dalam hal pengkajian
mengenai upaya pelestarian kebudayaan. Penelitian Juliani yang
mengkaji tentang Upaya Pelestarian Kesenian Barongan di Tengah Perkembangan
Kesenian Modern di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora mengungkapkan bahwa kesenian
Barongan merupakan kesenian budaya rakyat Blora dilestarikan dengan meningkatkan kualitas dalam
pertunjukkan kesenian Barongan. Beberapa unsur yang terdapat dalam pertunjukkan
Kesenian Barongan juga disesuaikan dengan perkembangan jaman tanpa menghilangkan
unsur-unsur tradisionalnya. Penelitian mengenai upaya-upaya pelestarian
kesenian Barongan senada dengan penelitian penulis mengenai upaya-upaya yang
dilakukan untuk menjaga kelestarian batik Batang. Perbedaan dari penelitian Juliani dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terletak pada jenis objek kajian penelitian. Objek penelitian Juliani adalah kesenian
Barongan yang pada umumnya merupakan warisan budaya berupa seni pertunjukkan,
sedangkan objek penelitian penulis adalah batik Batang yang merupakan warisan
budaya seni wastra dan tergolong sebagai warisan budaya tak benda.
Penelitian yang dilakukan oleh Setiana dalam
Kajian Foklor tentang Pelestarian Tradisi Macapat di Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat menjelaskan bahwa kesenian macapat merupakan sebuah tradisi
masyarakat yang sudah dikenal sejak jaman kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
Kesenian macapat mulai meredup karena anak-anak muda lebih menyukai kesenian
modern daripada kesenian tradisional. Penelitian Setiana hampir sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis. Penulis melakukan penelitian mengenai upaya
pelestarian batik Batang yang diperkirakan sudah ada sejak masa Sultan Agung
(1613-1645) atau bahkan sejak masa kerajaan Majapahit. Lokasi Kabupaten Batang
yang berbatasan langsung dengan Kota Pekalongan yang sudah sejak lama dikenal
sebagai kota batik menyebabkan batik Batang kurang begitu dikenal oleh
masyarakat umum, bahkan oleh sebagian Batang sendiri.
Penelitian Setiana yang menggunakan kajian
foklor berbeda dengan penelitian penulis yang menggunakan kajian fenomenologi. Penelittian
foklor pada umumnya menggunakan data yang berupa cerita-cerita yang berkembang
di masyarakat, sedangkan kajian fenomenologi menggunakan data yang berupa
konstruksi pemikiran yang berdasarkan pemaknaan dan pengalaman sadar dari
individu-individu yang menjadi sumber data penelitian. Perbedaan penelitian
Setiana dengan penelitian penulis juga dapat dilihat proses kaderisasi kesenian
macapat yang dilakukan dengan pendirian sanggar KHP Krida Mardawa oleh Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai tempat untuk pembelajaran macapat. Proses
kaderisasi terhadap upaya pelestarian batik Batang pada umumnya lebih dilakukan
dengan proses pengajaran membatik yang dilakukan oleh orang tua kepada anak dan
keluarga luasnya, atau oleh seseorang terhadap tetangga dan juga masyarakat
yang mempunyai kesediaan untuk belajar membatik.
Kajian Fenomenologi Mengenai Upaya Pelestarian Batik
Batang Sebagai Warisan Budaya Masyarakat merupakan kajian yang dilatarbelakangi
oleh permasalahan mengenai belum begitu dikenalnya batik Batang oleh masyarakat
umum, bahkan oleh sebagian masyarakat Batang sendiri. Penulis dalam pelitian
ini berusaha mengungkapkan upaya-upaya pelestarian batik Batang dengan menggunakan
pendekatan fenomenologi. Teori fungsionalisme struktural dalam penelitian ini
digunakan untuk melakukan analisis terhadap upaya-upaya pelestarian batik
Batang, faktor-faktor pendukung dan penghambat upayapelestarian batik Batang,
serta solusi-solusi yang dilakukan terhadap faktor-faktor penghambat upaya
pelestarian batik Batang tersebut.
B.
Kerangka Teori
Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan
landasan teori fungsionalisme struktural dari Talcott Parsons. Fungsionalisme struktural
dari Parsons memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang
bekerjasama secara terorganisasir dalam suatu cara agak teratur menurut
seperangkat peraturan dan nilai yang dianut. Parsons mengungkapkan bahwa
masyarakat agar dapat tetap eksis dalam mempertahankan keberadaannya harus
dapat melakukan fungsi-fungsi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagai sebuah
sistem (Salim, 2007: 122). Fungsi bagian-bagian dalam masyarakat itulah yang
harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan melalui aktifitas-aktifitas yang terspesialisasi.
Masyarakat sebagai suatu sistem terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang berupa sistem sosial, sistem kepribadian dan
sistem kebudayaan yang saling berkaitan dan saling menyatu secara stabil dengan
kecenderungan mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Pola-pola
yang berorientasi pada nilai amat penting dalam penataan sistem-sistem
tindakan, sebab salah satu dari pola tersebut mendefinisikan pola-pola hak dan
kewajiban timbal balik yang merupakan unsur pokok pembentuk ekspektasi peran
dan sanksi (Sutrisno dan Putranto, 2005: 58). Teori fungsionalisme struktural
dari Parsons penulis gunakan untuk mengkaji upaya-upaya yang dilakukan oleh
masyarakat Batang yang memiliki peranan dalam menjaga kelestarian batik Batang.
Batik Batang sebagai warisan dari nenek moyang masyarakat Batang merupakan
suatu bentuk ekspresi seni budaya yang berkaitan dengan fungsi pemenuhan
kebutuhan sandang yang memiliki makna dan nilai-nilai budaya. Masyarakat Batang
yang berperan sebagai pelaku dalam upaya pelestarian batik Batang merupakan
bagian dari jaringan kelompok yang bekerjasama dalam suatu cara yang teratur
menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh masyarakat Batang.
Analisis fungsionalisme struktural Talcott
Parsons dimulai dengan empat fugsi penting untuk semua sistem tindakan yang
dikenal dengan sebutan sistem AGILyang terdiri dari (A) Adaptation atau
adaptasi, (G) Goal attaiment atau pencapaian tujuan, (I) Integration
atau integrasi, serta Latensi (L) Latent pattern maintenance atau
pemeliharaan pola nilai budaya. Fungsi adaptation
(A) atau adaptasi dalam sistem ini harus mengatasi kebutuhan situasional yang
datang dari luar untuk beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan dengan kubutuhannya. Goal attaiment (G) atau pencapaian tujuan
sistem sosial harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Integration (I)
atau integrasi suatu sistem harus mengatur hubungan dengan bagian yang menjadi
komponenya. Latent pattern maintenance (L) atau pemeliharaan pola sistem
harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola
budaya yang menciptakan dan mepertahankan motivasi tersebut (Ritzer dan
Goodman, 2008: 257). Fungsi adaptasi dalam upaya pelestarian batik Batang berperan
dengan adanya penyesuaian bentuk-bentuk upaya pelestarian batik Batang terhadap
keadaan lingkungan serta kebutuhan situasional masyarakat Batang. Fungsi goal
attaiment atau pencapaian tujuan dalam upaya pelestarian batik Batang diopersasionalkan
dengan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menjaga keberadan batik
Batik Batang dengan tujuan agar tetap mampu bertahan dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Fungsi Integration atau integrasi berada
dalam pengaturan hubungan bagian-bagian yang menjadi komponen dalam upaya
pelestarian batik Batang. Fungsi Latensi atau pemeliharaan pola dalam
upaya pelestarian batik Batang berusaha untuk melengkapi, memelihara, dan
memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan
mepertahankan motivasi tersebut.
Parsons dalam analisis sistem sosial tertarik
pada komponen-komponen struktural. Parson memperhatikan masalah tentang status
peran dan juga komponen sistem sosial skala besar seperti kolektivitas, norma,
dan nilai. Parson dalam analisis sistem sosial tidak sekedar seorang
strukturalis tetapi seorang fungsionalis yang menguraikan sejumlah persyaratan
fungsional bagi sistem sosial. Pertama, sistem sosial harus terstruktur
sedemikian rupa sehingga dapat beroperasi secara baik dengan sistem lain.
Kedua, agar dapat bertahan hidup, sistem sosial harus dapat didukung sebelumnya
oleh sistem lain. Ketiga, sistem harus secara signifikan memenuhi proporsi
kebutuhan aktor-aktornya. Keempat, sistem harus menimbulkan partisipasi yang
memadai dari anggotanya. Kelima, sistem paling tidak harus memiliki kontrol
minimun terhadap perilaku yang berpotensi merusak. Keenam, jika konflik menjadi
sesuatu yang menmbulkan kerusakan yang signifikan harus dikontrol. Ketujuh,
untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memeurlukan bahasa (Ritzer dan
Goodman, 2008: 260).
Analisis sistem sosial dalam kaitannya dengan
komponen-komponen struktural upaya pelestarian batik Batang memenuhi beberapa
persyaratan fungsional. Pertama, upaya pelestarian Batik Batang yang dilakukan oleh
para pelaku pendukung upaya pelestarian batik Batang dengan struktur yang
sedemikian rupa sehingga dapat beroperasi secara baik dengan sistem lain.
Kedua, upaya pelestarian batik Batang yang dilakukan oleh masyarakat Batang
didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Batang. Ketiga, upaya pelestarian batik Batang secara
signifikan memenuhi proporsi kebutuhan dari para pelaku pendukung upaya
pelestarian batik Batang. Keempat, sistem sosial dalam upaya pelestarian batik
Batang menimbulkan partisipasi yang memadai pihak-pihak yang berperan dalam
upaya pelestarian batik Batang. Kelima, upaya pelestarian batik batang memiliki
kontrol minimun terhadap perilaku yang berpotensi merusak. Keenam, konflik terkait
dengan upaya pelestarian batik Batang dikontrol agar tidak menimbulkan masalah
yang signifikan. Ketujuh, untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial di dalam
upaya pelestarian batik menjalin hubungan dan komunikasi antar-pihak yang
berperan dalam upaya pelestarian batik Batang.
Teori Fungsionalisme Struktural yang digunakan
dalam “Kajian mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya”
ini pada umumnya digunakan penulis untuk menganalisa serta menjawab
permasalahan yang ada dalam upaya-upaya pelestarian Batik Batang sebagai
warisan budaya masyarakat Batang.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka dalam penelitian berjudul Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian
Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat memaparkan
dimensi-dimensi kajian utama dalam penelitian, faktor-faktor kunci dan
hubungan-hubungan antar dimensi dalam
upaya pelestarian batik Batang yang disusun dalam bentuk bagan sebagai berikut:
BATIK BATANG
|
PELESTARIAN BATIK BATANG
|
FAKTOR
PENDUKUNG
|
FAKTOR
PENGHAMBAT
|
SOLUSI
|
MASYARAKAT
BATANG
|
Gambar
1. Kerangka berfikir Kajian
Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya
Masyarakat
Kerangka berfikir diatas dapat dideskripsikan sebagai
berikut:
Masyarakat
Batang memiliki warisan kekayaan budaya berupa batik Batang yang menjadi potensi
budaya dan memberikan ciri khas tersnediri bagi masayarakat Batang. Batik
Batang belum begitu dikenal oleh masyarakat umum, bahkan oleh sebagian
masyarakat Batang sendiri. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian
Batik Batang menjadi acuan untuk mengetahui mengapa Batik batang kurang begitu
dikenal oleh masyarakat. Upaya-upaya pelestarian batik Batang mempunyai faktor-faktor
pendukung dan penghambat. Solusi terhadap faktor-faktor penghambat upaya
pelestarian batik Batang akan berpengaruh pula terhadap upaya pelestarian batik
Batang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar