Adalah
fakta bahwa perempuan memiliki beberapa ciri-ciri fisik yang berbeda dengan
laki-laki, dan karena itu perempuan memiliki sejumlah kekhususan. Perempuan tidak bisa kencing sambil berdiri,
perempuan mengalami menstruasi, bisa hamil dan melahirkan, perlu menyusui dan
paling cocok kalau seorang balita diasuh ibunya. Karena kebutuhan khususnya itu, Islam
mensyari’atkan agar perempuan menutup auratnya dan mengenakan jilbab (baju
kurung terusan) dan khimar (kerudung) bila berada di tempat publik. Pergaulan laki-laki dan perempuan pun sedapat
mungkin dibatasi kecuali pada hal-hal yang secara syar’i diijinkan. Oleh karena itu jelas bahwa ada beberapa
jenis teknologi yang akan lebih terasa ramah perempuan bila aspek spesifik tadi
diperhatikan (Amhar, 2007).
Selama
ini bila orang bicara teknologi spesifik perempuan yang terbayang tidak jauh
dari urusan ”macak-masak-manak”, atau berhias, memasak dan mengurus anak.
Berhias adalah aktivitas seputar kosmetik, perawatan rambut, wewangian, pakaian
- termasuk pakaian dalam, pembalut, perhiasan hingga sepatu dan asesori
lainnya. Memasak – meski banyak laki-laki juga pandai memasak – tetaplah
aktivitas yang lebih didominasi ibu rumah tangga. Ini aktivitas yang dapat melibatkan segala
jenis alat dapur seperti pisau, panci, kompor hingga kulkas sampai makanan atau
bumbu siap saji. Mengurus anak – adalah aktivitas yang tidak tergantikan bagi
seorang perempuan. Aktivitas ini dimulai
sejak hamil, melahirkan, memandikan, menyuapi, mengajak tidur – termasuk
memasangkan popok, sampai mengajak bermain sambil belajar.
Sepintas
saja sudah mulai terbayang bahwa teknologi haruslah dapat meringankan tugas
kaum perempuan pada aktivitas-aktivitas klasik itu. Padahal kebutuhan dan tugas kaum perempuan
tidak hanya itu. Perempuan juga wajib
menuntut ilmu, wajib berdakwah – termasuk di dalamnya ada aktivitas yang
bersifat politis (menasehati orang yang berkuasa). Dalam menjalankan
aktivitasnya itu, seorang perempuan terkadang harus berkomunikasi, bepergian,
makan di restoran atau menginap di hotel (Amhar, 2007).
Gender Dalam Sains Dan Teknologi
Sejak abad ke-20 perkembangan sains dan
teknologi berjalan pesat seiring dengan kebutuhan dan kemudahan hidup yang
diinginkan oleh manusia, sejalan dengan perkembangan masyarakat dan perubahan
sosial. Masyarakat dengan pelbagai macam adat istiadatnya secara sengaja maupun
tidak sengaja akan berperan sebagai pencipta dan pengguna teknologi.
Perkembangan yang dimaksud meliputi teknologi di bidang pertanian, industri,
transportasi, komputasi, kesehatan/kedokteran, persenjataan, komunikasi dan
informasi. Keberadaan Teknologi dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan masyarakat itu sendiri. Teknologi merupakan salah satu bagian dari
peradaban masyarakat (Fathani, 2007).
Sebagai konsekuensi, kehidupan
bermasyarakat yang menyangkut penciptaan dan penggunaan teknologi maka akan
melibatkan semua jenis kelamin, tidak memihak terhadap salah satu jenis,
laki-laki atau perempuan ansich. Bila kita membicarakan masalah
teknologi seolah-olah teknologi hanya merupakan milik kaum laki-laki saja.
Misalnya hanya laki-lakilah yang dapat menciptakan teknologi yang canggih
seperti pesawat terbang. Rendahnya perempuan dalam perkembangan sains dan
teknologi, diakui atau tidak disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan
perempuan secara umum. Meskipun di kota-kota besar banyak sekali perempuan yang
mempunyai tingkat pendidikan tinggi, tetapi kalau dalam skala makro,
keterwakilan perempuan di bidang sains dan teknologi masih tergolong sangat
rendah.
Sehingga tidak heran jika muncul stigma
bahwa perkembangan sains dan teknologi hanya menjadi dominasi bagi kaum
laki-laki. Sedangkan perempuan hanya diberikan posisi sebagai pengguna
teknologi. Benarkah pernyataan tersebut? Sekilas, memang benar karena pada
kenyataannya produk-produk teknologi yang sebagian besar sudah kita nikmati ini
memang karya dari kaum adam. Namun, sebenarnya banyak sekali peran perempuan
dalam perkembangan sains dan teknologi, tetapi hal itu tidak akan nampak di
permukaan karena adanya pembedaan menurut kultur sosial budaya (Wakhidah, 2006:
137).
Secara historis-sosiologis, ilmuwan yang
menganut faham feminisme telah mempertanyakan hubungan antara gender dan ilmu
pengetahuan (terutama sains) sejak tahun 70-an. Banyak ilmuwan yang berhasil
menemukan temuan baru yang mempunyai identitas kelamin perempuan. Para
pemerhati perempuan memprediksikan bahwa di masa yang akan datang akan lebih
banyak lagi ilmuwan perempuan yang muncul ke permukaan dalam pergulatan ilmu
pengetahuan. Prestasi perempuan tidak dapat dipungkiri lagi. Perempuan sudah
banyak memberi kontribusi terhadap perkembangan sains dan teknologi (Waejman
dalam Wakhidah, 2006:138).
Saat ini, sudah saatnya kita tidak terlalu lama berdebat soal
“jenis kelamin” teknologi. Artinya kita tidak terlalu sibuk mempersoalkan
teknologi ini dibuat oleh siapa, laki-laki atau perempuan. Alangkah lebih
bijaknya, mulai saat ini kita bisa mulai berpikir apa peran kita masing-masing
sebagai individu dalam perkembangan sains dan teknologi ini. Karena kenyataan menunjukkan
bahwa partisipasi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki, maka
hendaknya kenyataan ini dijadikan motivasi para perempuan untuk sesegera
mungkin menyusul untuk ikut berperan dalam perkembangan sains dan teknologi.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian serius terkait hal ini adalah antara
laki-laki dan perempuan ‘wajib’ selalu mengembangkan SDM-nya terutama bidang
sains dan teknologi. Jika hal ini dapat direalisasikan, maka orang yang selama
ini selalu mempermasalahkan tentang peran perempuan dalam perkembangan sains
dan teknologi secara otomatis akan terjawab.
Adanya fenomena di atas, maka UNESCO
bekerjasama dengan LIPI untuk membentuk sekretariat regional untuk gender, ilmu
pengetahuan dan teknologi di kawasan Asia Pasifik. Pembentukan badan ini
merupakan perwujudan dari rekomendasi konferensi Dunia Perempuan dan konferensi
Dunia tentang pengetahuan. Sekretariat tersebut diharapkan dapat meningkatkan
peran serta perempuan khususnya bidang sains dan teknologi. Selain itu pusat
penelitian dan pengembangan kependudukan dan ketenagakerjaan LIPI juga
mengutamakan gender mainstreaming dalam kegiatan penelitian. Adanya hal ini
diharapkan akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tercapainya
kesetaraan gender di bidang iptek (Kompas,2000).
Untuk ke depan, perkembangan sains dan
teknologi -mau tidak mau- akan memaksa perempuan untuk terlibat aktif dalam
pengembangan sains dan teknologi. Perempuan (dan juga laki-laki) dituntut tidak
hanya sebagai pengguna (baca: penikmat) iptek saja, tetapi juga berperan
sebagai penemu, penggagas, pencipta (creator). Dengan demikian,
kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam hal mengembangkan sains
dan teknologi dapat terwujud.
Internet:
Teknologi Bidang Informasi dan Komunikasi yang Berwawasan Gender
Elisa Dean (2007) menjelaskan bahwa, TIK
(teknologi informasi dan komunikasi) telah membawa keuntungan kepegawaian
termasuk bagi wanita. Akan tetapi pemisahan gender yang direproduksi dalam
ekonomi informasi di mana pria memegang mayoritas kaum yang memiliki
keterampilan tinggi, menguasai pekerjaan yang bernilai tambah, di mana wanita
terkonsentrasi pada pekerjaan keterampilan rendah dan bernilai rendah.
Pekerjaan di call centre mengabadikan pekerjaan wanita dan organisasi dalam
sektor teknologi informasi , seperti sektor lainnya, menghargai prilaku yang
dikatakan maskulin.
Beberapa organisasi dan kelompok masyarakat
mengikutsertakan isu yang berkaitan dengan demokrasi di bidang TIK – dari
pembagian digital dan hak untuk berkomunikasi, sampai keragaman budaya dan hak
kepemilikan intelektual. Pendukung persamaan gender telah didesak untuk
memperhatikan dimensi gender masyarakat informasi : mengintegrasikan perspektif
gender dalam kebijakan dan strategi nasional TIK, menyediakan isi yang relevan
bagi wanita, mempromosikan partisipasi ekonomi kaum wanita dalam ekonomi
informasi, dan membuat aturan untuk melawan pornografi wanita dan anak-anak
yang ada di Internet. The World Summit in the Information Society / Pertemuan
Puncak Masyarakat Informasi Dunia (WSIS) yang dilakukan di Genewa pada bulan
Desember 2003, membawa berbagai pelaku dalam bidang TIK untuk memperhatikan
tantangan dan kemungkinan TIK , meskipun dengan berbagai hasil dan pandangan.
Teknologi baru yang digunakan dalam bidang informasi
dan komunikasi, terutama Internet telah membawa dunia masuk ke era baru. Ada
pandangan utama yang mengatakan bahwa teknologi seperti itu tidak memiliki
keterlibatan secara sosial, hanya secara teknis saja. Perubahan positif yang disebabkan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, yang notabene berdampak secara
dramatis, tidak menyentuh umat manusia keseluruhan. Hubungan-hubungan kekuasaan yang telah ada
dalam masyarakat menentukan tingkat penggunaaan dan pengambilan keuntungan dari
(TIK), karenanya teknologi ini tidak bersifat netral secara gender. Pertanyaan
penting : siapa yang mengambil keuntungan dari TIK? Siapa yang mendikte
keberadaaan dari TIK? Apakah mungkin keberadaan TIK dijumpai sehari-hari supaya
dapat melayani tujuan yang lebih luas dari persamaan dan keadilan? Fokus dari
hal ini adalah isu gender dan persamaan hak wanita untuk mengakses, menggunakan
dan membentuk TIK.
Akses untuk TIK yang baru masih merupakan
kenyataan yang jauh bagi sebagian besar orang.
Negara-negara bagian selatan, khususnya di daerah pedesaan, secara nyata
tertinggal jauh dari revolusi informasi, ditandai dengan tidak adanya
infrastuktur dasar, biaya yang tinggi untuk pengadaan TIK, ketidaktahuan
mengenai TIK, dominasi dari bahasa Inggris dalam isi Internet – kurangnya
demonstrasi keuntungan TIK untuk menjawab tantangan pembangunan level
bawah. Penghalang-penghalang ini bahkan
menjadi masalah yang lebih besar bagi kaum wanita, yang secara umum : buta
huruf, tidak mengerti bahasa Inggris dan kurangnya kesempatan untuk mendapat
pelatihan keterampilan komputer. Tanggung jawab domestik, pembatasan budaya
untuk perpindahan, kurang kuatnya kekuatan ekonomi sejalan dengan kurangnya
relevansi kepuasan dalam hidup mereka, lebih jauh membuat mereka termarginalisasi
dari sektor informasi.
Bidang TIK ditandai dengan kontrol strategis yang
dilakukan oleh perusahaan kuat dan oleh negara-negara kuat. Monopoli yang
dibangun berdasarkan rejim kepemilikan intelektual, bertambahnya pengawasan
Internet dan pengurangan keberadaan isi
demokratisnya dan ekploitasi kaum lemah yang dilakukan imperialisme kapitalis,
rasisme dan perbedaan gender (sexism). Dalam bidang TIK, wanita relatif
memiliki kepemilikan dan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan, karena
tidak terwakilkan dalam sektor privat dan pemerintahan yang mengontrol bidang
ini.
Lebih lanjut, Dean (2007) mejabarkan bahwa, TIK
juga telah digunakan oleh kebanyakan sebagai alat untuk transformasi sosial dan
persamaan gender. Sebagai contoh :
- E-Commerce (perdagangan yang
dilakukan secara elektronik dengan bantuan Internet) merupakan langkah
awal yang dicoba sekarang ini di berbagai tempat oleh NGO (Non Government
Organization / Organisasi Non Pemerintah) untuk menghubungkan para wanita
ahli secara langsung ke pasar global melalui Internet, dan juga mendukung
aktivitas mereka dengan informasi produksi dan pasar
- Program e-governance / pemerintahan
melalui media elektronik telah dicoba oleh beberapa pemerintah menggunakan
TIK untuk membuat pelayanan pemerintahan dapat lebih luas dijangkau oleh
warga masyarakat. Dalam beberapa kasus disertai dengan strategi eksplisit
untuk memastikan bahwa pelayanan ini menjangkau kaum wanita dan lainnya
yang menghadapi halangan untuk mengakses layanan pemerintahan.
- Para pendidik kesehatan telah
menggunakan sarana radio untuk mengkomunikasikan informasi yang
berhubungan dengan kesehatan seks dan reproduksi. Kemungkinan komunikasi
melalui sarana Internet juga sedang digali.
- Berbagi informasi dan dialog melalui
sarana email, newsletter dan catatan online antara wanita dari belahan
Utara dan Selatan dan di antara
para wanita di bagian Selatan itu sendiri telah memungkinkan kolaborasi
dan pemfokusan usaha dalam skala global untuk mendorong agenda dari
persamaan gender.
Aktivitas-aktivitas tersebut telah sangat efektif di mana hal itu dapat
dilakukan di atas isu keterbatasan akses dan infrasruktur untuk memandang
konteks sosial yang lebih besar dan hubungan kekuasaan yang lebih besar.
Tingkat efektivitas dan keterjangkauan telah diperkaya dengan kombinasi
teknologi lama seperti radio dengan teknologi baru seperti Internet.
DAFTAR PUSTAKA
Amhar, Fahmi. 2007. Teknologi ramah lingkungan?. Dalam
http//google//co.id dalam Suara
Islam, no. 19, minggu III-IV April 2007 (diunduh pada hari minggu,
tanggal 28 oktober tahun 2007)
Dean, Elisa. 2007. Teknologi Bidang
Komunikasi dan Informasi Berwawasan Gender. OV Assignment – English
Indonesian translation on Gender and ICT’s. Dalam http//google//co.id
(diunduh pada hari minggu, tanggal 28 oktober tahun 2007)
Fakih, mansour. 1996. Menggeser
Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka.
Fathani,
Abdul Halim. 2007. Gender dalam Sains dan Teknologi. Malang. Dalam
http//google//co.id (diunduh pada hari minggu, tanggal 28 oktober tahun 2007)
Muthali’in. 2001. Bias Gender dalam
Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University press.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris. 2004. Kesetaraan
Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT. Genesindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar