1. Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat Batang
Kabupaten Batang yang berada
di bentangan pesisir utara pulau dahulunya merupakan sebuah kota pelabuhan yang sudah
dikenal sejak orang-orang Tionghoa banyak berguru agama Budha ke Sriwijaya. Prasasti
Sojomerto yang ditemukan di daerah
Kabupaten Batang merupakan bukti sejarah bahwa daerah Batang merupakan wilayah pemukiman
tua karena prasasti tersebut menjelaskan tentang silsilah Syailendra yang
menjadi cikal-bakal dari raja-raja di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Batik Batang sebagai warisan budaya yang dimiliki
oleh masyarakat Batang merupakan potensi budaya daerah Batang yang berkembang
karena pengaruh-pengaruh dari budaya pada masa
keratonan yang masih dilestarikan sampai sekarang. Batik Batang diperkirakan sudah ada
sejak masa Sultan Agung (1613 – 1645) atau bahkan sejak masa kerajaan
Majapahit. Batik Batang sebagai kain batik yang dibuat dan dipakai di daerah
kabupaten Batang memiliki ciri-ciri motif dan warna spesifik batik yang khas
Batangan (William Kwan HL: 2010).
Batik Batang pada umumnya dapat dikenali dari corak
warna sogan ireng-irengan atau coklat
kehitam-hitaman yang khas dari
daerah Batang. Bapak Kunarudi (60
tahun) mengungkapkan bahwa Batik Batang digolongkan sebagai batik Keratonan
karena corak warna sogan dari batik
Batang. Batik keratonan Batang berbeda dengan
batik-batik keratonan
dari daerah Solo dan Jogjakarta.
Saudara Santoso (28 tahun) menuturkan bahwa Batik Batang mempunyai corak warna sogan yang lebih gelap dibandingkan
dengan corak-corak sogan batik dari daerah lain.
“Sogane batik Batang kuwi sogan ireng-irengan, dadi
coklate coklat tuo, bedo karo sogane Solo sing coklate coklat sing enom. Nek
sogane batik Yogyo si podo bae coklat tuo, tapi coklate bedo karo coklate batik
Batang, terus sakliyane coklate bedo, batik Yogyo kuwi warna latare putih, lha
nek batik Batang warna sogan sing dadi latar”
Artinya :
“Sogan batik
Batang itu sogan kehitam-hitaman, jadi warna coklatnya itu coklat tua, berbeda
dengan sogan batik Solo yang warna coklatnya adalah coklat muda. Corak sogan
pada batik Jogja warnanya juga coklat tua, tapi warna coklatnya berbeda dengan
warna coklat pada batik Batang, kemudian selain warna coklatnya berbeda, batik
Jogja warna latarnya adalah warna putih, sedangkan pada batik Batang warna
soganlah yang dijadikan sebagai warna latarnya”
Warna
sogan pada batik Batang biasanya
digunakan sebagai warna dasaran kain batik Batang yang pada umumnya menampilkan
motif berwarna putih dengan
ciri khas remukan di dalam motif
batik Batang tersebut. Remukan
yang dimaksudkan pada batik Batang sesuai
dengan penuturan Bapak Abdul Majid (62 tahun) yaitu
gambaran serat-serat yang ada pada bagian dalam motif batik Ba.tang yang
memberikan nilai-nilai seni tersendiri pada batik Batang. Batik Batang
berbeda dengan batik-batik yang berasal dari daerah lainnya karena proses pengrajinan batik Batang pun berbeda dengan proses pengrajinan batik-batik dari
daerah lainnya. Tahap peremukan lilin malam dalam proses pengrajinan batik
Batang yang dilakukan untuk menghasilkan aksen remukan pada motif-motif batik Batang menurut ungkapan Bapak Ahmad Toha (39
tahun) tidak dilakukan pada proses
pengrajinan batik di daerah lain, oleh karena ciri khas remukan yang ada pada motif-motif batik Batang tidak ditemukan pada
batik-batik yang berasal dari daerah lainnya.
Gambar 3. Tahap ngremuk
pada proses pembuatan batik Batang
(Sumber :
Dokumentasi pribadi, 17 Juni 2012)
Proses
pengrajinan batik tulis khas
Batang pada umumnya adalah sebagai berikut :
a. Nglengreng, menggambarkan motif langsung pada kain.
b. Ngisen-isen, memberi variasi motif yang telah di lengreng.
c. Nembok,
menutup (ngeblok) bagian dasar kain
yang tidak perlu diwarnai.
d. Ngobat,
Mewarnai batik yang sudah ditembok dengan cara dicelupkan pada larutan zat
warna.
e. Ngremuk, Meremukkan
lilin malam agar mendapatkan gambaran remukan (serat-serat) pada motif.
f. Nglorod, Menghilangkan lilin malam dengan cara
direbus dalam air mendidih (finishing).
Proses
pengrajinan batik Batang
di atas sesuai dengan pernyataan dari Bapak Ahmad Toha (39 tahun) yang merupakan seorang
pekerja pengrajin batik Batang di daerah Bogoran, Kelurahan Kauman, Kecamatan
Batang Kabupaten Batang.
“Pertama-pertamane
nggawe batik Batang kuwi nglengreng utowo mbatik’i motif ndisek, terus
ngisen-isen nggo variasi motif’e, bar kuwi nembok’i sing orak apak diwarnai,
terus ngobat nggo nge’i werno, terus ngremuk’i malam, terakhir nembe nglorod’i
malam’e”
Artinya :
“Tahap awal dalam proses pengrajinan batik
Batang adalah nglengreng atau membatikkan
motif terlebih dahulu, lalu ngisen-ngisen
untuk memberikan variasi motif, kemudian mengeblok bagian yang tidak akan
diwarnai, kemudian memberikan obat warna,
setelah itu meremukkan malam, dan terakhir adalah nglorod atau menghilangkan lilin malam pada kain.”
Tahapan ngisen-isen
pada proses pembuatan batik tulis
khas Batang
biasanya memberikan detail lentreng
terusan dengan motif yang rapat, saling menyambung dan tembus bolak-balik
pada dua sisi kainnya. Detail lentreng
terusan yang ada pada batik Batang menurut penuturan Bapak Burhan (41 tahun) menjadi salah satu
ciri khas tersendiri pada batik Batang karena hanya dilakukan pada kain-kain batik Batang.
Proses pembuatan
batik tulis khas Batang mempunyai
perbedaan dengan proses pembuatan
batik cap khas Batang dalam tahap pembatikan motif pada kain yang akan dijadikan
sebagai kain batik Batang. Bapak
Abdul Majid (62 tahun) mengungkapkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
tahapan pembatikan dalam proses pembuatan batik cap khas Batang juga jauh lebih
singkat dibandingkan dengan tahap pembatikan dalam proses pembuatan batik tulis
khas Batang. Proses pembuatan batik cap khas Batang terbilang lebih sederhana
karena tahapan nglengreng, tahapan ngisen-isen dan tahapan nembok yang dilakukan pada proses
pembuatan batik tulis khas Batang digantikan sekaligus dengan satu tahapan mengecapkan stempel motif pada kain.
Gambar 3. Tahap pengecapan pada proses pembuatan
batik Batang
(Sumber :
Dokumentasi pribadi, 17 Juni 2012)
Perbedaan
batik-batik yang berasal dari daerah Batang dengan batik-batik yang berasal
dari daerah lainnya bukan hanya karena proses pembuatannya yang berbeda,
melainkan juga karena Batik Batang memiliki ciri khas tersendiri yang merupakan
suatu bentuk representasi dari nilai-nilai seni budaya serta kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat Batang. Masyarakat Batang sesuai dengan pembagian Bentang Kebudayaan
masyarakat Jawa digolongkan sebagai masyarakat Jawa Pesisiran karena lokasi daerah Kabupaten Batang berada dalam
lingkup wilayah pesisir utara pulau Jawa di bagian Barat Provinsi Jawa Tengah. Para
penduduk pesisr utara dimana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan dan
pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas, yaitu
kebudayaan pesisiran (Susesno, 2001: 11). Daerah Batang yang berbatasan
langsung dengan Laut Jawa dahulunya merupakan daerah kota pelabuhan yang
menjadi tempat menepinya kapal-kapal niaga asing yang masuk ke pulau Jawa. Kapal-kapal niaga yang masuk ke pulau Jawa tidak
hanya membawa barang dagangan, namun juga membawa pengaruh kebudayaan asing masuk
ke daerah Batang. Bapak Eman Tri Warsono (54 tahun) menjelaskan bahwa pengaruh-pengaruh budaya asing yang
berkembang di daerah Batang turut membawa perubahan yang menyebabkan
motif-motif dan warna pada
Batik Batang menjadi lebih beragam.
“Dari cerita-cerita yang saya dengar,
Batik Batang itu awalnya hanya menggunakan warna sogan, akan tetapi akhirnya
warnanya menjadi lebih beragam karena daerah Batang sebagai daerah pelabuhan
yang banyak mendapatkan pengaruh dari budaya-budaya luar.”
Masyarakat Batang dalam perkembangannya sebagai masyrakat
Jawa pesisiran banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan agama Islam yang masuk
ke daerah Batang. Masyarakat
Batang sebagai masyarakat Jawa yang mayoritas juga beragama Islam cenderung mengakulturasikan
budaya Jawa dengan ajaran-ajaran dari agama Islam. Batik Batang sebagai warisan budaya dari
nenek moyang masyarakat Batang turut
mendapatkan pengaruh dari ajaran-ajaran agama Islam melalui perwujudan motif-motifnya. Batik Batang yang mendapatkan
pengaruh-pengaruh dari ajaran agama Islam menurut Bapak Eman Tri Warsono (54 tahun) biasanya
disebut juga sebagai Batik Batang Rifa’iyahan.
Nama Batik Rifa’iyah sendiri diambil
dari nama komunitas masyarakat yang membuat batik tersebut, yakni komunitas
masyarakat Islam Rifa’iyah. Komunitas
masyarakat Islam Rifa’iyah merupakan
sebuah komunitas yang melakukan gerakan pembelajaran agama Islam yang lahir di
daerah Kalisalak, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Masyarakat Islam Rifa’iyah di Kabupaten Batang pada umumnya juga mengenal dan melakukan kegiatan
membatik sebagai sebuah tradisi budaya yang diwariskan turun-temurun oleh nenek
moyang masyarakat Batang.
Batik Rifaiyah pada umumnya tetap menggunakan corak warna sogan ireng-irengan yang sudah menjadi ciri khas batik Batang
sebagai batik yang bercorak keratonan, meskipun demikian motif-motif pada batik
Rifa’iyah banyak dipengaruhi pula
oleh gaya batik pesisiran yang beradaptasi dengan unsur-unsur kebudayaan asing
seperti Cina, Belanda, dan juga Arab. Pengaruh ajaran-ajaran agama Islam
terhadap motif-motif batik Rifaiyah terdapat dalam prinsip bahwa ragam hias
yang boleh digunakan sebagai motif-motif pada batik Rifaiyah harus diyakini
tidak menimbulkan syirik bagi pembuat maupun pemakainya. Bapak Eman Tri Warsono (54 tahun) menjelaskan bahwa motif-motif
pada batik Rifa’iyah secara
keseluruhan hampir tidak ada yang mengunakan gambar berwujud makhluk yang hidup
seperti manusia ataupun binatang. Gambar-gambar
bentuk binatang yang terkadang terdapat pada batik Rifa’iyah bentuknya pasti tidak sempurna atau hanya menyerupai saja
karena penggambaran makhluk hidup dalam batik Rifa’iyah memang harus selalu disamarkan.
“Gambar-gambar
motif batik Batang yang berupa binatang biasanya disamarkan dengan rupa-rupa
bentuk tumbuhan agar gambarnya tidak benar-benar berwujud binatang yang
bernyawa.Contohnya gambar burung yang ekornya dibuat seperti rangkaian
dedaunan. Motif Pelo Ati yang khas
Batang yang gambar sebernarnya adalah gambar bagian dalam organ tubuh hewan pun
juga disamarkan agar menyerupai tumbuhan”.
Motif Pelo Ati yang diciptakan
oleh masyarakat Islam Rifa’iyah di
Kabupaten Batang menurut Bapak Eman Tri
Warsono (54 tahun) merupakan
salah satu bentuk wujud penyesuaian motif-motif batik Batang dengan
ajaran-ajaran agama Islam yang menghindari penggunaan gambar-gambar berupa
wujud dari makhluk hidup yang bernyawa. Rupa
gambar motif Pelo Ati seperti bentuk rempela
hati ayam yang disamarkan dengan ornamen-ornamen bunga dan juga dedaunan agar terlihat seperti gambar rangkaian
tumbuh-tumbuhan. Motif
Pelo Ati mengandung pesan makna bahwa
manusia harus selalu bisa hidup seimbang dengan menggunakan hati nuraninya.
Gambar 4. Batik Batang Rifa’iyah motif Pelo Ati –
Kembang Tanjung
(Sumber : William Kwan HL, 23 Februari 2010)
2. Ragam Gaya Batik Khas Batang
Wilayah Kabupaten Batang secara keseluruhan merupakan
kombinasi dari daerah pengunungan, perbukitan dan dan juga dataran rendah yang
terbentang di pesisiran utara pulau
Jawa. Keberagaman bentuk topografi daerah
Batang memberikan potensi keberagaman budaya di wilayah Kabupaten Batang. Keberagaman budaya yang ada di daerah Batang
dapat terlihat pula pada batik-batik Batang yang
cenderung variatif. Presentasi Hasil Penelitian yang
berjudul “Sebuah Upaya Awal Penggalian dan Pengembangan Budaya Batik di
Kabupaten Batang” oleh William Kwan pada tahun 2010 menyebutkan bahwa batik Batang pada umumnya
digolongkan ke dalam dua kategori gaya, yaitu gaya keratonan
dan gaya pesisiran. Unsur-unsur
yang ada pada batik Batang keratonan biasanya dipengaruhi oleh budaya Jawa dan
Hindu-Budha, sedangkan batik Batang Pesisiran biasanya dipengaruhi oleh
unsur-unsur budaya China, Belanda dan Rifaiyah.
a. Batik Batang keratonan
Batik Batang keratonan dengan ragam gaya khas
keratonan dikenal juga sebagai batik Batang Jawa, batik vorstenlanden
atau batik Batang pedalaman. Batik Batang keratonan banyak mendapatkan pengaruh
dari budaya Hindu-Buddha India. Bapak
Eman Tri Warsono Batang Batik Batang keratonan pada umumnya kerap disebut juga
dengan istilah Batik Batangan. Corak warna pada batik Batang keratonan
banyak menggunakan corak warna sogan
ireng-irengan atau coklat kehitam-hitaman.
Motif-motif pada batik Batang keratonan terdiri dari
motif berbentuk geometris dan campuran motif
geometris dengan motif bebas. Batik Batang yang mendapat pengaruh motif kraton
Mataraman banyak menggunakan motif-motif udan liris, sido mukti, romo ukel,
kawung, parang atau seno, dan lain sebagainya. Motif lokal batik Batang keratonan antara lain motif manggaran, kembang
cepoko, gemek setekem, dan lain sebagainya. Batik-batik
Batang keratonan juga mempunyai motif-motif yang merupakan campuran dari
beberapa motif, contohnya adalah motif parang karna dan parang tempe.
Gambar 5. Batik Batang Keratonan Motif Parang Seno
(Sumber :Dokumentasi
pribadi, 10Juli 2012)
b.
Batik
Batang Pesisiran
Batik Batang pesisiran
banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya China, Belanda, dan Islam Timur Tengah. Warna-warna
pada batik Batang pesisiran cenderung lebih beragam dibandingkan dengan corak
warna batik Batang keratonan. Batik-batik Batang pesisiran tidak hanya menggunakan corak warna sogan, melainkan
juga corak warna non soga yang seperti warna-warna merah,
biru, ungu dan hijau. Batik Batang pesisiran berdasarkan ragam gaya
motifnya dibedakan menjadi batik Batang pesisiran gaya
Tionghoa/Cina, batik Batang
pesisiran gaya Belanda, batik Batang pesisiran gaya Islam/Rifa’iyah dan batik
Batang pesisiran gaya bebas. Batik
Batang pesisiran gaya Tionghoa/Cina contohnya adalah motif tiga negeri, banji
kotak, banji kitir dan nyah Pratin. Batik Batang
pesisiran gaya Belanda misalnya adalah batik
motif buketan dan cerita rakyat Eropa. Batik Batang pesisiran gaya Islam/ Rifa’iyah contohnya motif pelo ati ayam, elawati dan jeruk no’i.
Gambar 6. Batik
Batang motif jeruk
noi
(Sumber : William
Kwan HL, 23 Februari 2010)
terimakasih
BalasHapus