LEVIS
Analisa
secara struktural mengenai pemikiran keagamaan selama ini telah ditekankan pada
bentuk-bentuk mitos dan ekspresinya yang terwujud sebagai rangkaian
rakitan-rakitan struktur sosial dan proses-prosesnya. Tokoh dari analisa
struktural ini adalah Levi-Strauss, yang model-model konseptualnya amat
kompleks dan luas; sehingga nampaknya hampir tidak mungkin untuk dapat secara
sewajarnya membahas keseluruhan model-modelnya tersebut dalam uraian pembahasan
ini. Karena itu, dalam pembahasan ini hanya akan mencakup berbagai masalah yang
berkaitan dengan yang telah dibahas seperti tersebut terdahulu.
Levi-Strauss
menyatakan bahwa sistem-sistem simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan
yang bersifat universal antara alam dan kebudayaan. Pertentangan secara
dualistik ini ditunjukkan bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara
diakronik, sebagaimana terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan
kebudayaan yang diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat
dualistik; yaitu kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan
berasal dari suatu transformasi kebudayaan. Hal ini secara amat jelas
diperlihatkan contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle)
(1969), dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan transformasi
kebudayaan atau menjadijadi busuk dengan melalui transformasi alamiah.
Simbol-simbol perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas
bertindak sebagai kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi
binari, yaitu melalui transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan
sistem tetap tinggal bersifat dualistik yang statis pada kedua sumbunya.
Kekuatan yang menyeluruh dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari
ini dalam struktur mitos adalah suatu refleksi atau pencerminan dari “cara
universal dalam mengorganisasi pengalaman sehari-hari” (1972:225) dan berfungsi
untuk “menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak” (1972:229).
Bentuk
struktural dari mitos bercirikan pembedaan-pembedaan yang bersifat dualistik
pada unsur-unsurnya tetapi unsur-unsur itu saling berkaitan. Landasan dasar
dari mitos adalah seperangkat metafor yang dualistik sifatnya, yang bersamaan
dengan itu juga berlanjut pada adanya pendefinisian mengenai mediasi atau
perantaraan antara kedua dasar yang dualistik tersebut. Satuan- satuan yang
mendasar yang ada dalam struktur mitos adalah kumpulan-kumpulan makna atau
pengertian-pengertian, yang disebut sebagai tema-tema mitos, yang mengandaikan
satuan-satuan dalam unsur pokoknya dan dilihat dalam dan merupakan
bagian-bagian dari suatu satuan yang lebih luas dan kompleks (1972:211).
Dengan
demikian pada dasarnya struktur mitos itu bersifat dua-dimensi yang melibatkan
transformasi-transformasi baik pada skala vertikal maupun pada skala horizontal
di antara komponen-komponen atau unsur-unsurnya yang bersifat dualistik
sebagaimana telah ditunjukkan oleh Turner dengan model triadiknya. Struktur
mitos memperoleh keabsahan dan corak simboliknya (yaitu sebagai sesuatu yang
bebas dari pengertiannya atau artinya yang tertempel pada masing-masing tema
mitosnya) pada suatu tingkat ketidak sadaran, oleh karena kesamaannya dengan
struktur linguistik seperti yang dikemukakan oleh Saussure (1961). Unsur-unsur
dari mitos yang struktural sifatnya adalah universal; dan ke-universalan ini
dapat dilihat dengan cara menggeneralisasi dari hasil-hasil studi mengenai
variasi-variasi mitos baik yang ada dalam masyarakat yang satu maupun dari
berbagai masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.
“Mitos
terdiri atas berbagai versi, yang tercakup di dalamnya: dan ….. sebuah mitos
akan tetap sama sebagaimana dahulunya selama mitos itu dirasakan sebagaimana
adanya” (1972). Dalam mitos juga selalu terdapat pengulangan-pengulangan; dan
fungsi dari pengulangan-pengulangan tersebut (baik tema-tema mitosnya maupun
strukturnya yang ada dalam berbagai versi-versinya) adalah untuk membuat
keseluruhan dari bingkai struktur mitos tersebut baik secara sinkronik maupun
secara diakronik agar nampak jelas; dan dengan melalui dorongan-dorongan
kekuatan yang terus menerus ada, menyajikan “suatu model yang logis atau masuk
akal yang dapat berfungsi untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi” (1972:229).
Kontradiksi-kontradiksi yang ada adalah pada tingkat logika, dan mitos
bertindak sebagai perantara untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini.
“Walaupun pengalaman bertentangan dengan teori mengenai berbagai gejala
alamiah, dalam kenyataannya kehidupan sosial mengabsahkan berlakunya kosmologi,
yaitu melalui mitos, oleh karena persamaan dalam strukturnya. Oleh karena itu
maka kosmologi adalah suatu kebenaran yang sah” (1972:216).
Walaupun
terdapat adanya pengulangan dan variasi-varisasi dari struktur mitos tetapi
peranan dari mitos seperti tersebut di atas dapat terlaksana dengan cara
melakukan penggeneralisasian dari:
“suatu
jumlah bingkai yang secara teoritis tidak terbatas…..yang masing-masing agak
berbeda antara satu dengan lainnya. Jadi mitos ditumbuhkan atau dikembangkan
seperti spiral sampai tercapainya suatu titik kejenuhan intelektual yang menyeluruh
sehingga terhenti proses pemproduksiannya. Pertumbuhan merupakan suatu proses
yang berlanjut terus menerus, tetapi strukturnya tetap atau tidak berkembang
mengikuti pertumbuhan tersebut” (1972:229).
Karenanya,
kalau dilihat dari hakekat eksistensinya dan dari struktur arusnya, sehingga
mitos adalah suatu perantara antara organisasi sosial sesuatu aggregate
individu-individu di satu pihak dengan struktur-struktur sosial dan kosmologi
yang melingkupi individu-individu tersebut di pihak lainnya.
Bagi
Levi-Strauss, struktur mitos yang tercakup dalam model- model strukturalnya dan
struktur mitos dalam konsep-konsep pemikiran manusia adalah sebuah satuan yang
satu. Hal ini dikarenakan struktur mitos dilihatnya sebagai berlandaskan pada
proses-proses dan pengkategorisasian secara linguistik yang universal dan denn
demikian secara analogi kegiatan konseptual manusia adalah bersifat universal.
“Mitos
memberi makna yang penting bagi pemikiran manusia yang bersangkutan dengan
mitos itu sendiri dengan cara menggunakannyaa dalam kehidupan yang nyata yang
dengan demikian pemikiran itu sendiri adalah sebagian dari mitos itu sendiri.
Dengan demikian juga terdapat suatu produksi mitos yang berjalan secara
simultan, yaitu yang dilakukan oleh pemikiran manusia yang mendorong bagi
penciptaan dan penggunaannya dan oleh mitos itu sendiri, mengenai gambaran
tentang dunia yang memang telah menjadi sebagian dari dan berada dalam
pemikiran manusia” (1966:341).
Menurut
Levi-Strauss, struktur-struktur sosial yang terdapat di dalam berbagai
masyarakat manusia memperlihatkan adanya persamaan-persamaan dalam hal bentuk
struktural dan unsur-unsurnya karena telah didefinisikan, divalidasikan, dan
diperantarai oleh proses-proses pemikiran mitologi yang jalin menjalin dan yang
ada dalam struktur mental manusia yang bersifat universal. Dengan demikian maka
tidak ada kaitan hubungan antara struktur sosial yang berfungsi sebagai
perantara bagi individu melalui struktur mitos dengan kenyataan-kenyataan
sosial dan ekonomi yang dihadapi secara nyata dalam kehidupan manusia.
Konsep-konsep struktural yang universal sifatnya ini menciptakan sistem-sistem
yang khusus, sehingga berbagai arus dari luar yang berasal dari lingkungan yang
dihadapi atau dari motif-motif sosial dan ekonomi menjadi tercakup dalam
kategori-kategori struktural yang deterministik sifatnya. Dalam kaitannya
dengan konsep-konsep tersebut di atas, Levi-Strauss mempertanyakan “kenyataan
dan otonomi dari konsep kebudayaan” dan menganjurkan untuk memperlakukannya
sebagai suatu “fragmen dari kemanusiaan”, atau sebuah bagian yang khusus atau
yang dinamakannya sebagai “isolate” (1972:35). Dengan kata lain, bagi
Levi-Strauss konsep Geertz mengenai kebudayaan sebagai “ide yang memberi
informasi” adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan secara
konseptual.
Dalam
kepustakaan antropologi, masalah-masalah yang terwujud yang berkaitan dengan
modelnya Levi-Strauss telah diperdebatkan secara tidak habis-habisnya; dan
tidak sedikit yang menolaknya. Tetapi pendekatannya mengenai struktur mitos dan
mitologi telah mempunyai pengaruh yang besar yang tidak mudah untuk dihapuskan
begitu saja dari teori-teori yang ada dalam antropologi. Masalah- masalah yang
berkenaan dengan modelnya tersebut dan yang memperlihatkan keseluruhan dari
“dogma” strukturalisme adalah: (1) Hakekat ke-universalan dari struktur sosial
manusia, mitologi, dan proses-proses pemikiran manusia. Metodologi ini secara
garis besarnya dapat dibantah seperti bantahan atau bahasan yang telah
dikemukakan terhadap model-modelnya Victor Turner. Memang benar bahwa struktur
dari pemikiran yang ada dalam otak manusia dan begitu juga proses primordial
manusia, pada tingkatnya yang sangat umum, adalah unsur-unsur yang kita punyai
sebagai manusia dan bahkan sebagai makhluk hidup. Tetapi kekhususan-kekhususan
dari perwujudan kebudayaan dan variasi-variasi dari bentuk-bentuk kehidupan
sosial dan masyarakat menuntut adanya suatu perangkat penjelasan yang lebih
dinamik sifatnya; bukannya yang kaku. (2) Membatasi gejala-gejala sosial hanya
menjadi garis-garis besar yang bersifat umum atau universal dan menolak adanya
pengakuan mengenai arus dan sumber dari perubahan sosial hanya akan menuju
kepada terwujudnya kontrol manipulatif dari para ahli antropologi terhadap data
sosial yang sifatnya adalah setempat dan unik. Nampak bahwa fungsi dari
pengulangan sebagaimana yang terdapat dalam model-modelnya Levi-Strauss adalah
untuk menolak atau meniadakan kehadiran struktur-struktur yang tidak statis
atau yang dinamis dan yang mempunyai corak hubungan sebab-akibat yang ada dalam
masyarakat yang dikaji. (3) Pendekatan strukturalnya menampakkan
kecenderungannya yang “dogmatik” dan mencerminkan struktur sosial sebagai suatu
sistem tertutup yang terbebas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan
kenyataan-kenyataan sosial, ekonomi, dan dari lingkungan hidup.
KESIMPULAN
Dalam
tulisan ini telah ada saya coba untuk menunjukkan bagaimana sejumlah ahli
antropologi menggunakan cara-cara yang berbeda dalam melihat struktur sosial
dalam kaitannya dengan agama dan upacara. Penekanan yang telah diberikan adalah
pada hubungan-hubungannya yang dilihat secara konseptual, sehingga model-model
mengenai hubungan-hubungan tersebut nampak berbeda-beda di antara ahli-ahli
yang berbeda; yang mempunyai implikasi pada tingkat pembahasan yang mereka
lakukan serta pada tingkat pengertian yang mereka peroleh dengan menggunakan
model-model tersebut, dan yang mewujudkan adanya perbedaan antara yang satu
dengan yang lainnya.
Dengan
demikian maka juga nampak bahwa masing-masing model tersebut mempunyai
relevansi dan validitas yang terbatas sesuai dengan tujuan penggunaannya dalam
hal mengkaji hubungan antara struktur sosial di satu pihak dengan agama dan
upacara di pihak lainnya. Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa masing-masing
model yang telah dibahas tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Model-model dari Geertz yang berdasarkan pada model bagi dan model dari, yang
berlandaskan pada konsep-konsepnya mengenai sistem-sistem simbol dan ide yang
memberi informasi; yang walaupun berbelit-belit tetapi memberikan suatu
ketegasan penjelasan mengenai arti kebudayaan dalam kaitannya dengan struktur
dan dengan lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Geertz menyatakan bahwa studi
mengenai agama, mitos dan upacara adalah sebagai jalan untuk memahami bagaimana
manusia memahami dan menerima hakekat dari kedudukan dan peranannya dalam
kehidupan sosial di masyarakatnya; struktur sosial yang merupakan bagian yang
terorganisasi dalam kehidupan mereka menjadi dapat dipahami serta masuk akal
secara sewajarnya bagi mereka.
2.
Analogi yang berlandaskan pada sistem penggolongan yang dilakukan oleh Hertz
dan Cunningham; yang walaupun masing-masing berbeda dalam hal kedalaman dan
luasnya cakupan dari model klasifikasi yang digunakan, tetapi pada prinsipnya
berlandaskan pada model-model yang sama. Hertz melihat bahwa agama berperan
terhadap adanya semacam polarisasi dalam kehidupan sosial dari individu maupun
bagi seluruh warga masyarakat yang bersangkutan; yaitu dengan berlandaskan pada
sistem klasifikasi yang menjadi dasar dan yang ada dalam agama. Sedangkan
Cunningham memperlihatkan adanya suatu keteraturan (order), yaitu suatu sistem
yang menjadi pegangan bagi manusia pada waktu mereka mengklasifikasi dunia yang
mereka hadapi. Pada waktu pegangan yang berisikan aturan-aturan itu
diikuti/ditaati oleh manusia, maka sesungguhnya ide-ide yang terletak dibalik
aturan-aturan tersebut secara simbolik telah juga diterima. Upacara adalah
tempat bagi perwujudan ketaatan atas aturan-aturan yang diikuti tersebut dalam bentuk
berbagai tindakan yang dapat dilihat sebagai simbol dan metafor.
3.
Model-model hubungan yang dibuat berdasarkan atas prinsip- prinsip kesadaran
kolektif dan primordial yang dilakukan oleh Levi-Strauss dan Victor Turner;
yang walaupun mempunyai landasan model-model sendiri yang sesuai dengan
perhatian yang dipunyai masing-masing maka juga telah menghasilkan
pengertian-pengertian yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Turner melihat bahwa upacara berperan untuk membuat individu dapat menjadi
cocok dengan masyarakatnya dan membuatnya dapat menerima aturan-aturan yang
berlaku. Levi-Strauss melihat struktur sosial bukan sebagai kenyataan yang
dapat diamati, tetapi sebagai model bagi kenyataan. Model ini adalah suatu
sistem yang mempunyai kesanggupan untuk memprediksi atau meramalkan dan membuat
kenyataan dapat menjadi masuk akal dan dipahami. Menurut Levi-Strauss,
sebagaimana juga dengan pendahulu-pendahulunya yaitu Durkheim dan
Radcliffe-Brown, agama adalah suatu bagian dari struktur sosial. Levi-Strauss
percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat
diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss
menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat
membantu usaha-usaha mengenai struktur sosial karena mitos selalu berhubungan
dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik mengenai masa
yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.
Yang
sebenarnya patut diperhatikan dalam pengkajian mengenai hubungan antara
struktur sosial dengan agama dan upacara adalah dalam hal kaitannya dengan
kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam lingkungan hidup yang
dihadapi oleh para pelakunya dalam masyarakat. Sehingga pertanyaan-pertanyaan
yang berkenaan dengan relevansi dari sesuatu keyakinan keagamaan dan upacara
yang dilihat sebagai struktur sosial ataupun sebagai corak hubungan yang
terwujud antara struktur sosial dengan agama dan upacara, bukanlah harus
dilihat dalam konteks struktur itu sendiri tetapi dalam suatu konteks yang
lebih luas dan berlandaskan pada kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh para
pelaku yang bersangkutan. Karena, agama mempunyai berbagai fungsi penting yang
terwujud dalam berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan sosial manusia.
Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:
1.
Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari
kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain
terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat
menurut bidang atau arena sosial yang ada.
2.
Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan
lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri
adalah sebagian dari padanya; sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas
dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang
dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu
dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan
kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar
bagi individu-individu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan
bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam
keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.
3.
Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan
ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur
sosial, yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya
mempunyai peranan yang penting dalam mengko-ordinasi titik temu antara struktur
sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.
Sebagai
akhir kata, dapatlah dikatakan bahwa untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai
hakekat dan corak dari struktur sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji
agama, mitos dan upacara sehingga dapat menemukan dan kemudian menentukan apa
yang seharusnya dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat.
Begitu juga sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama
yang diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas
tersebut di atas dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada
masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam
masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan.
B.
Teori Aliansi Dari Claude Levi-Strauss
Aliansi
teori (General Theory of Exchange) adalah nama teori yang diberikan untuk
metode struktur yang memperlajari hubungan kekerabatan. Levi Strauss sebagai
pentolan teori ini mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Elemetary
Structures of Kinship (1949) menentang teori fungsionalisme Radcliffe Brown.
Studi Levi-Strauss mengenai aliansi tersebut dilakukan pada masyarakat di luar
Eropa, dimana ia melihat hubungan yang erat antara kerabat dan afinitas. Kedua
lembaga itu saling bertolak belakang, namun sesungguhnya saling melengkapi satu
sama lain. Hal ini memunculkan klasifikasi dunia sosial secara matrimonial.
Teori aliansi berusaha memahami pertanyaan mendasar tentang hubungan antara
individu, atau apa yang membentuk masyarakat.
Perkawinan
aliansi merujuk pada arah saling ketergantungan yang diperlukan dari berbagai
keluarga dan garis keturunannya. Pernikahan sendiri diartikan sebagai bentuk
komunikasi antar keluarga. Teori aliansi didasarkan pada tabu (incest) dimana
setiap keluarga tidak dibolehkan untuk kawin dengan anggota keluarganya sendiri,
akan tetapi diharuskan kawin dengan di luar anggota keluargnya (Collins, 1994).
Kondisi ini melahirkan bentuk perkawinan yang bersifat eksogami. Prinsip tabu
ini mendorong setiap anggota keluarga yang akan melaksanakan perkawinan keluar
dari lingkungan keluarganya untuk mencari pasangan hidupnya. Seorang anggota
keluarga yang menyerahkan anggota keluarga perempuannya untuk menikah diluar
anggota keluarganya berhak pula mendapatkan seorang perempuan dari keluarga
yang bersangkutan meskipun tidak segenarasi. Fenomena ini mengambil bentuk
adanya “sirkulasi perempuan” yang menghubungkan berbagai kelompok sosial di
dalam suatu masyarakat. Levi-Straus berpendapat bahwa kekerabatan didasarkan
pada persekutuan antara dua keluarga yang terbentuk ketika wanita dari satu
kelompok kawin dengan laki-laki diluar kelompoknya.
Model
pertukaran perkawinan antar kelompok sosial ini merupakan dasar terbentuknya
masyarakat. Kondisi ini dimungkinkan karena perkwaninan diluar kelompok akan
menciptakan hubungan kekelurgaan yang akan melahirkan solidaritas diantara
berbagai kelompok dalam masyarakat.
C.
Strukturalisme Claude Levi-Strauss
Pandangan
Eropa terhadap dimensi kehidupan sosial seperti konsepsi Jean Paul Sartre
tentang eksistensi manusia mendahului esensi manusia sebagai subjek, manusia
adalah mahluk yang bebas, otonom (subjektifitas). Sementara itu, Claude Levi
Staruss (yang juga orang Perancis) mengungkapkan konsepnya dengan mengatakan
bahwa manusia tidak sebebas apa yang telah dikemukakan Sartre. Bagi Levi
Strauss, manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan dan kebebasan
total, tetapi ada struktur yang selalu berada dibalik gejala dan tanpa disadari
menentukan pilihan-pilihan partikular individu. Sampai pada perkembangan
sejarah teori hingga kini Strukturalisme selalu diidentikkan dengan Levi
Strauss yang telah berhasil mengembangkan paradigma yang terbilang sangat
fenomenal dalam pendekatan kebudayaan. Lebih dari itu semua upayanya dalam
mengajarkan kepada kita tentang apa sesungguhnya kebudayaan. Meski begitu,
banyak ahli antropologi yang mengkritiknya dengan menggagap bahwa kerangka
teoritiknya terlalu menyederhanakan masalah serta pandangannya tentang sistem
kekerabatan yang terlalu meremehkan martabat wanita (bias gender).
Levi
Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh untuk memahami
atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya dan tidak ada kaitannya
dengan fenomena itu sendiri, dengan kata lain struktur adalah relations of
relations (relasi dari relasi) atau system of relation. Disinilah Levi Strauss
berbeda pandangan dengan Radcliffe Brown yang mengatakan bahwa relasi-relasi
empiris antar individu. Struktural yang telah dikembangkan oleh Levi Staruss
juga tidak terlepas dari pengaruh tokoh dan pemikiran lain, yakni Karl Marx,
Sigmund Freud dan ilmu geologi. Yang menarik dari pandangan Marx menurutnya
adalah bahwa bentuk-bentuk kondisi dalam masyarakat (politik dan ekonomi) yang
sekilas tampak kacau-balau seperti adanya pemogokan, kemiskinan, eksploitasi
dan sebagainya, hal itu sesungguhnya dapat dirunut kedalam mata rantai
sebab-akibat di bawah permukaan yakni sekitar pemilikan kapital, sarana
produksi dan struktur kelas.
Sedang
melalui Sigmund Freud menerangkan tentang “ketidaksadaran” dan kemungkinan
memetakan struktur jiwa manusia atau biasa Levi staruss sebutkan dengan “human
mind”, bahwa dari sedikit tanda-tanda yang muncul dalam suatu masyarakat
(mitologi, ritual dan adat) dapat disusun sebuah gambar tentang sistem
kebudayaan sebuah masyarakat. Levi Staruss juga senang dengan ilmu geologi yang
mempelajari tekstur permukaan tanah. Ia kagum bahwasanya struktur bebatuan yang
tersembunyi di bawah tanah dapat dipakai untuk menjelaskan tekstur permukaan
bumi. Dari Marx, Freud dan ilmu geologi ini, Levi Staruss belajar bahwa fenomena
di permukaan atau biasa disebutnya dengan “struktur luar”, yang tampak seadanya
ternyata ditentukan oleh “struktur dalam” yang kurang lebih bersifat teratur
dan tetap.
Selain
ketiga hal tersebut yang paling mempengaruhi tentu saja adalah linguistik
struktural. Seperti Ferdinand de Saussure yang merasa perlu mengkaji dan
mengurai langue dan bukan Parole, Levi Staruss berpendapat bahwa kita perlu
melampaui studi atas gejala yang ada di permukaan (misalnya mitos) dan mengurai
logika generatif dalam sistem kultural. Penggunaan ilmu linguistik sebagai
model dalam kajiannya dimungkinkan oleh keyakinan dan pandagannya bahwa bahasa
merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan dalam
membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan
material yang membentuk kebudayaan. Apakah material tersebut? Tak lain adalah
relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. Baik bahasa maupun
kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia sehingga ada hubungan korelasi
diantara keduanya. Selain itu pula ada beberapa asumsi yang mendasari
penggunaan paradigma linguistik struktural dalam menganalisis kebudayaan,
yakni:
1.
Dalam strukturalisme Levi Straus, beberapa aktifitas sosial seperti mitos,
ritual-ritual, sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan
sebagainya secara formal dapat dilihat sebagai bahasa yakni sebagai tanda dan
simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Ada keteraturan dan keterulangan dalam
fenomena-fenomena tersebut.
2.
Kaum strukturalis percaya bahwa dalam diri manusia secara genetis terdapat
kemampuan “structuring”, menyusun suatu struktur tertentu di hadapan
gejala-gejala yang dihadapi.
3.
Sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasi-relasinya dengan kata-kata
lain pada suatu titik waktu tertentu (sinkronis), para strukturalis percaya
bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena lain pada suatu titik
tertentulah yang menentukan makna fenomena tersebut..
4.
Relasi-relasi pada struktur dalam dapat disederhanakan menjadi oposisi biner.
Levi-Strauss
menyatakan bahwa sistem simbol adalah didasarkan pada adanya pembedaan yang
bersifat universal antara alam dan kebudayaan. Pertentangan secara dualistik
ini ditunjukkan bukti-buktinya baik secara sinkronik maupun secara diakronik,
sebagaimana terwujud dalam prinsip-prinsip statis dari alam dan kebudayaan yang
diperantarai oleh suatu prinsip transformasi yang bersifat dualistik; yaitu
kalau tidak berasal dari suatu transformasi alamiah maka akan berasal dari
suatu transformasi kebudayaan (Turner, 1967). Hal ini secara amat jelas
diperlihatkan contohnya dalam atau dari segitiga kuliner (culinary triangle)
(Levi-Strauss, 1969), dimana yang mentah menjadi matang dengan menggunakan
transformasi kebudayaan atau menjadi busuk dengan melalui transformasi alamiah.
Simbol-simbol perantara yang bersifat dinamik dalam pengertian terbatas
bertindak sebagai kekuatan pendorong yang pada dasarnya sama dengan oposisi
binari, yaitu melalui transformasi binari dan dengan demikian keseluruhan
sistem tetap tinggal bersifat dualistik dan statis pada kedua sumbunya.
Kekuatan yang menyeluruh dari simbol-simbol dan mediasi yang bersifat binari
ini dalam struktur mitos adalah suatu refleksi atau pencerminan dari “cara
universal dalam mengorganisasi pengalaman sehari-hari” dan berfungsi untuk
“menjadikan struktur mitos itu menjadi nampak” (Cunningham, 1972: 229).
Menurut
Levi-Strauss, struktur-struktur sosial yang terdapat di dalam berbagai
masyarakat manusia memperlihatkan adanya persamaan-persamaan dalam hal bentuk
struktural dan unsur-unsurnya karena telah didefinisikan, divalidasikan, dan
diperantarai oleh proses pemikiran mitologi yang jalin menjalin dan ada dalam
struktur mental manusia yang bersifat universal. Levi-Strauss mempertanyakan
“kenyataan dan otonomi dari konsep kebudayaan” dan menganjurkan untuk
memperlakukannya sebagai suatu “fragmen dari kemanusiaan”, atau sebuah bagian
yang khusus atau yang dinamakannya sebagai “isolate” (Levi-Strauss, 1972: 35).
Dengan kata lain, bagi Levi-Strauss konsep Geertz mengenai kebudayaan sebagai
“ide yang memberi informasi” adalah omong kosong yang tidak dapat dipertahankan
secara konseptual.
D.
Penutup
Levi-Strauss
percaya bahwa dengan melalui studi mengenai agama dan mitos akan dapat
diperoleh suatu pemahaman mengenai pengertian struktur sosial yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dalam perhatiannya mengenai mitos, Levi-Strauss
menyatakan bahwa mitos sebagai agama atau sebagai bagian dari agama, dapat
membantu usaha memahami mengenai struktur sosial karena mitos selalu
berhubungan dengan masyarakat dan berbicara mengenai masyarakat tersebut baik
mengenai masa yang lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.
Pengkajian
mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama serta upacara adalah
pengkajian dalam kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang
ada dalam lingkungan masyarakat. Agama mempunyai berbagai fungsi penting yang
terwujud dalam berbagai cara dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi
tersebut antara lain adalah:
1.
Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari
kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain
terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat
menurut bidang atau arena sosial yang ada.
2.
Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan
lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri
adalah sebagian dari padanya; sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas
dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang
dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu
dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan
kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar
bagi individu-individu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan
bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam
keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut.
3.
Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan
ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur
sosial yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya
mempunyai peranan yang penting dalam mengkoordinasi titik temu antara struktur
sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata.
4.
Untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur
sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga
dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan,
dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Sebaliknya kalau kita ingin
memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu
masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut di atas dapat digunakan
secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan
kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu
hendak dilakukan.
2...
MALINOWSKI
Ritual
Sihir
ritual adalah tindakan tepat didefinisikan (termasuk pidato) yang digunakan
untuk bekerja sihir. Bronislaw Malinowski menggambarkan bahasa ritual sebagai
memiliki "koefisien dari keanehan" yang tinggi, yang berarti dia
bahwa bahasa yang digunakan dalam ritual kuno dan luar biasa, yang membantu
menumbuhkan pola pikir yang tepat untuk percaya dalam ritual tersebut. [6] SJ
Tambiah catatan, bagaimanapun, bahwa bahkan jika tenaga dari ritual dikatakan
berada dalam kata-kata, "kata-kata hanya menjadi efektif jika diucapkan
dalam konteks yang sangat khusus dari tindakan lain." [7] Ini tindakan
lain biasanya terdiri dari gerak, mungkin dilakukan dengan objek khusus di
tempat tertentu atau waktu. Obyek, lokasi, dan pemain mungkin memerlukan
pemurnian terlebih dahulu. Peringatan ini menarik paralel dengan kondisi
kebahagiaan JL Austin membutuhkan dari ucapan-ucapan performatif . [8] Dengan
"performativitas" Austin berarti bahwa tindakan ritual itu sendiri
mencapai tujuan yang dinyatakan. Sebagai contoh, sebuah upacara pernikahan
dapat dipahami sebagai sebuah ritual, dan hanya dengan benar melakukan ritual
tersebut pernikahan terjadi. Émile Durkheim menekankan pentingnya ritual
sebagai alat untuk mencapai " gelembung kolektif ", yang berfungsi
untuk membantu menyatukan masyarakat. Psikolog, di sisi lain, menggambarkan
ritual dibandingkan dengan ritual obsesif-kompulsif, mencatat bahwa fokus
attentional jatuh pada tingkat yang lebih rendah representasi dari gerakan
sederhana. [9] Hal ini menyebabkan penurunan pangkat tujuan, sebagai ritual
tempat lebih menekankan pada melakukan ritual tepat dari pada hubungan antara
ritual dan tujuan. Namun, tujuan ritual adalah untuk bertindak sebagai fokus
dan efeknya akan bervariasi tergantung pada individu.
[
sunting ]simbol Sihir
Helm
dari Awe (ægishjálmr) - simbol magis dikenakan oleh Viking untuk tak
terkalahkan. Modern digunakan oleh pengikut Ásatrú untuk perlindungan.
Sihir
sering memanfaatkan simbol-simbol yang dianggap berkhasiat intrinsik.
Antropolog, seperti Sir James Frazer (1854-1938), telah ditandai pelaksanaan
simbol menjadi dua kategori utama: ". prinsip contagion"
"prinsip kesamaan", dan Frazer lebih dikategorikan sebagai
prinsip-prinsip ini jatuh di bawah " ajaib simpatik ", dan" ajaib
menular . " Frazer menegaskan bahwa konsep-konsep ini adalah
"hukum-hukum umum atau generik pemikiran, yang keliru dalam sihir."
[10]
[
sunting ]Prinsip Kesamaan
Prinsip
kesamaan, juga dikenal sebagai "asosiasi ide-ide", yang berada di
bawah kategori sihir simpatik, adalah berpikir bahwa jika suatu hasil tertentu
mengikuti tindakan tertentu, maka tindakan yang harus bertanggung jawab untuk
hasilnya. Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan tindakan ini lagi, hasil
yang sama lagi bisa diharapkan. Salah satu contoh klasik dari mode ini pemikiran
adalah bahwa dari ayam dan matahari terbit. Ketika ayam jantan berkokok, itu
adalah tanggapan terhadap terbitnya matahari. Berdasarkan sihir simpatik, orang
mungkin menafsirkan serangkaian peristiwa berbeda. Hukum kesamaan akan
menunjukkan bahwa sejak matahari terbit mengikuti kokok ayam, ayam harus telah
menyebabkan matahari terbit. [11] Kausalitas disimpulkan mana mungkin tidak
dinyatakan telah. Oleh karena itu, seorang praktisi mungkin percaya bahwa jika
ia mampu menyebabkan ayam jantan berkokok, ia akan mampu mengontrol waktu
matahari terbit. Penggunaan lain prinsip kesamaan adalah pembangunan dan
manipulasi representasi dari beberapa sasaran yang akan terpengaruh (misalnya
boneka voodoo ), diyakini membawa efek yang sesuai pada target (misalnya melanggar
dahan boneka akan membawa cedera di dahan yang sesuai dari seseorang yang
digambarkan oleh boneka).
[
sunting ]Prinsip Menular
Jenis
lain utama dari pemikiran magis mencakup prinsip penularan . Prinsip ini
menunjukkan bahwa setelah dua benda bersentuhan satu sama lain, mereka akan
terus mempengaruhi satu sama lain bahkan setelah kontak antara mereka telah
rusak. Salah satu contoh yang Tambiah memberikan berhubungan dengan adopsi.
Diantara beberapa orang Indian Amerika, misalnya, ketika seorang anak yang
diadopsi ibu angkatnya nya akan menarik anak melalui beberapa pakaiannya,
secara simbolis mewakili proses kelahiran dan dengan demikian bergaul anak
dengan dirinya sendiri. [12] Karena itu, anak secara emosional menjadi miliknya
meskipun hubungan mereka tidak biologis. Sebagai Claude Levi-Strauss akan
mengatakan: kelahiran "akan terdiri, karena itu, dalam membuat situasi
eksplisit sebuah awalnya ada pada tingkat emosional dan dalam memberikan
diterima oleh pikiran yang sakit tubuh menolak untuk mentolerir ... wanita
percaya dalam mitos dan milik masyarakat yang percaya di dalamnya ". [13]
Simbol,
bagi banyak budaya yang menggunakan sihir, dipandang sebagai jenis teknologi.
Pribumi mungkin menggunakan simbol-simbol dan tindakan simbolik untuk membawa
perubahan dan perbaikan, seperti budaya Barat mungkin penggunaan tingkat lanjut
irigasi teknik untuk mempromosikan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman.
Michael Brown membahas penggunaan nantag batu antara Aguaruna sebagai mirip
dengan jenis "teknologi." [14] Batu-batu ini dibawa ke dalam kontak
dengan stek batang tanaman seperti ubi kayusebelum mereka ditanam dalam upaya
untuk mendorong pertumbuhan. Nantag adalah simbol nyata kuat kesuburan,
sehingga mereka dibawa ke dalam kontak dengan tanaman untuk mengirimkan mereka
ke kesuburan tanaman.
Lainnya
berpendapat bahwa tindakan ritual hanyalah terapi. Tambiah mengutip contoh
tanah asli memukul dengan tongkat. Sementara beberapa orang mungkin menafsirkan
tindakan ini sebagai simbol (yaitu pria yang mencoba untuk membuat tanah
tanaman menghasilkan melalui kekuatan), yang lain hanya akan melihat seorang
pria melepaskan frustrasi di kembali tanaman miskin. Pada akhirnya, apakah atau
tidak suatu tindakan simbolis tergantung pada konteks situasi serta ontologi
budaya. Banyak tindakan-tindakan simbolis berasal dari mitologi dan asosiasi
yang unik, sedangkan tindakan ritual lainnya adalah ekspresi emosi hanya
sederhana dan tidak dimaksudkan untuk memberlakukan semua jenis perubahan.
[
sunting ]Bahasa Sihir
Kinerja
sihir hampir selalu melibatkan penggunaan bahasa. Apakah diucapkan keras-keras
atau tak terucapkan, kata-kata yang sering digunakan untuk mengakses atau
panduan kekuatan magis. Dalam "Magical Kekuatan Kata-Kata" (1968)
berpendapat Tambiah SJ bahwa hubungan antara bahasa dan sihir karena ada
kepercayaan pada kemampuan yang melekat pada kata-kata untuk mempengaruhi alam
semesta. Bronislaw Malinowski, dalam Coral Gardens dan Magic mereka (1935),
menunjukkan bahwa keyakinan ini adalah perluasan penggunaan dasar manusia
bahasa untuk menggambarkan lingkungannya, di mana "pengetahuan tentang
kata yang tepat, frasa yang tepat dan bentuk yang lebih sangat maju pidato,
seorang pria memberikan kekuatan lebih dan di atas lapangan sendiri yang
terbatas tindakan pribadi ". [15] Oleh karena itu pidato Magical tindakan
ritual dan adalah lebih penting sama atau bahkan kinerja sihir dibandingkan
non-verbal tindakan. [16]
Tidak
pidato semua dianggap magis. Hanya kata-kata tertentu dan frase atau kata-kata
yang diucapkan dalam konteks tertentu dianggap memiliki kekuatan magis. [17]
bahasa Sihir, menurut CK Ogden dan IA Richards (1923) 's kategori berbicara,
berbeda dari bahasa ilmiah karena emotif dan itu mengubah kata-kata menjadi
simbol untuk emosi, sedangkan dalam kata-kata bahasa ilmiah yang terkait dengan
makna spesifik dan mengacu pada realitas eksternal obyektif. [18] bahasa
Magical Oleh karena itu sangat mahir membangun metafora yang membentuk simbol
dan link ritual magis kepada dunia. [19]
Malinowski
berpendapat bahwa "bahasa sihir adalah sakral, diatur dan digunakan untuk
tujuan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan biasa." [20] Dua bentuk
bahasa dibedakan melalui pilihan kata, tata bahasa, gaya, atau dengan
menggunakan spesifik frase atau bentuk: doa , mantra , lagu , berkat , atau
nyanyian , misalnya. Mode Suci sering menggunakan kata-kata bahasa kuno dan
bentuk dalam upaya untuk memanggil kemurnian atau "kebenaran" dari
sebuah agama atau "zaman keemasan" kebudayaan. Penggunaan bahasa
Ibrani dalam Yudaisme adalah sebuah contoh. [21]
Sumber
lain potensi kekuatan kata-kata adalah kerahasiaan dan eksklusivitas. Bahasa
suci banyak yang dibedakan cukup dari bahasa umum yang tidak dapat dimengerti
oleh mayoritas penduduk dan hanya dapat digunakan dan ditafsirkan oleh praktisi
khusus ( penyihir , imam , dukun, bahkan mullah). [22] [23] Dalam hal ini ,
Tambiah berpendapat bahwa bahasa ajaib melanggar fungsi utama bahasa:
komunikasi. [24] Namun penganut sihir masih dapat menggunakan dan nilai fungsi
magis kata-kata dengan percaya pada kekuatan yang melekat pada kata-kata
sendiri dan dalam arti yang mereka harus menyediakan bagi mereka yang memahami
mereka. Hal ini menyebabkan Tambiah untuk menyimpulkan bahwa "disjungsi
yang luar biasa antara bahasa sakral dan profan yang ada sebagai fakta umum
tidak selalu terkait dengan kebutuhan untuk mewujudkan kata-kata suci dalam
bahasa eksklusif." [21]
[
sunting ]Penyihir
Artikel
utama: Magician (paranormal)
Ia
telah mengemukakan bahwa Magician (paranormal) akan digabungkan ke artikel atau
bagian. ( Diskusikan ) Usulan sejak November 2011.
Magician.
Pierpont Morgan, Visconti Sforza
Sebuah
penyihir adalah setiap praktisi sihir, sehingga pesulap mungkin spesialis atau
dokter umum, bahkan jika dia tidak menganggap dirinya seorang penyihir. [25]
Semua yang diperlukan adalah memiliki pengetahuan esoteris, sifat, atau
keahlian budaya yang diakui pelabuhan kekuatan magis.
Magical
pengetahuan biasanya diturunkan dari satu penyihir yang lain melalui keluarga
atau magang, meskipun dalam beberapa budaya itu juga bisa dibeli. [26]
Informasi ditransfer biasanya terdiri dari instruksi tentang bagaimana untuk
melakukan berbagai ritual, memanipulasi benda-benda magis, atau bagaimana untuk
menarik dewa atau kekuatan supernatural lainnya. Pengetahuan Magical sering
dijaga dengan baik, karena merupakan komoditas yang berharga yang masing-masing
penyihir percaya bahwa ia memiliki hak milik. [27]
Namun
memiliki pengetahuan magis saja mungkin tidak cukup untuk memberikan kekuatan
magis, sering seseorang juga harus memiliki benda-benda magis tertentu,
ciri-ciri atau pengalaman hidup untuk menjadi pesulap. Di antara Azande ,
misalnya, untuk mempertanyakan oracle seorang pria harus memiliki kedua oracle
fisik (racun, atau papan cuci, misalnya) dan pengetahuan tentang kata-kata dan
ritus-ritus yang dibutuhkan untuk membuat fungsi objek. [26]
Berbagai
sifat-sifat pribadi dapat dikreditkan untuk daya magis, meskipun sering mereka
berhubungan dengan kelahiran yang tidak biasa ke dunia. [28] Sebagai contoh,
pada abad ke-16 Friuli , bayi yang lahir dengan Caul diyakini menjadi penyihir
yang baik, benandanti, yang akan terlibat dalam pertempuran penyihir jahat
malam hari atas karunia panen tahun depan. [29]
Beberapa
pengalaman pasca melahirkan juga dapat dipercaya untuk menyampaikan kekuatan
magis. Misalnya kelangsungan hidup seseorang dari penyakit-kematian dekat dapat
diambil sebagai bukti dari kekuasaan mereka sebagai penyembuh:. Di Bali
kelangsungan hidup media adalah bukti hubungannya dengan dewa pelindung dan
karena kemampuannya untuk berkomunikasi dengan allah lain dan roh-roh [ 30]
inisiasi mungkin adalah upacara yang paling umum digunakan untuk membangun dan
untuk membedakan penyihir dari masyarakat umum. Dalam ritus hubungan penyihir
dengan supranatural dan masuk ke dalam sebuah kelas profesional tertutup
didirikan, sering melalui ritual yang mensimulasikan kematian dan kelahiran
kembali ke dalam kehidupan baru. [31]
Mengingat
eksklusivitas dari kriteria yang diperlukan untuk menjadi seorang penyihir,
sihir banyak dilakukan oleh spesialis. [32] orang awam mungkin akan memiliki
beberapa ritual magis sederhana untuk kehidupan sehari-hari, namun dalam
situasi penting, terutama ketika kesehatan atau peristiwa besar dalam hidup
prihatin , seorang pesulap spesialis akan sering berkonsultasi. [33] Kekuatan
dari kedua spesialis dan penyihir umum ditentukan oleh standar yang diterima
secara kultural sumber dan luasnya sihir. Seorang penyihir mungkin tidak hanya
menciptakan atau klaim ajaib baru;. Pesulap hanya sebagai kuat sebagai
peer-rekannya percaya dia menjadi [34]
Dalam
budaya yang berbeda, berbagai jenis penyihir dapat dibedakan berdasarkan
kemampuan mereka, sumber-sumber kekuasaan, dan pada pertimbangan moral,
termasuk divisi ke kategori yang berbeda seperti penyihir, penyihir, penyembuh
dan lain-lain.
[
sunting ]Sihir
Artikel
utama: Sihir
Dalam
masyarakat non-ilmiah, serangan magis yang dirasakan adalah sebuah ideologi
kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan kemalangan pribadi atau sosial. [35]
Dalam konteks antropologis dan historis ini sering disebut sihir atau ilmu
sihir , dan 'penyihir' para penyerang yang dirasakan atau 'tukang sihir'.
Mereka maleficium sering dilihat sebagai suatu ciri biologis atau keterampilan
yang diperoleh. [36] Dikenal anggota masyarakat dapat dituduh sebagai penyihir,
atau penyihir dapat dianggap sebagai supranatural, entitas non-manusia.
[37]Dalam modern awal Eropa dan Inggris tuduhan tersebut menyebabkan eksekusi
puluhan ribu orang, yang dianggap bersekutu dengan setan . Mereka dituduh 'penyihir'
setan sering praktisi (biasanya jinak) sihir rakyat, [38] dan 'penyihir'
istilah Bahasa Inggris juga kadang-kadang digunakan tanpa merendahkan akal
untuk menggambarkan praktisi tersebut. [39]
[
SUNTING ]TEORI SIHIR
Bagian
ini kebutuhan tambahan kutipan untuk verifikasi . Harap membantu memperbaiki
artikel ini dengan menambahkan kutipan ke sumber terpercaya . Unsourced bahan
mungkin akan ditantang dan dihapus . (Desember 2006)
[
sunting ]asal Anthropological dan psikologis
[
sunting ]Definisi terminologi yang relevan
Perspektif
terutama pada sihir dalam antropologi yang fungsionalis, simbolis dan
intelektualis. Ketiga perspektif ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana
sihir bekerja di masyarakat. Perspektif fungsionalis, biasanya berhubungan
dengan Bronislaw Malinowski , menyatakan bahwa semua aspek masyarakat yang
bermakna dan saling terkait. [40] Dalam perspektif fungsionalis, sihir
melakukan fungsi laten dalam masyarakat. Perspektif simbolis penelitian makna
halus dalam ritual dan mitos yang mendefinisikan sebuah masyarakat [41]dan
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan teodisi - mengapa melakukan hal-hal
buruk terjadi pada orang baik. Akhirnya perspektif intelektualis, terkait
dengan Edward Burnett Tylor dan James Frazer Sir , menganggap sihir sebagai
logis, tetapi berdasarkan pemahaman cacat dunia.
[
sunting ]berpikir Sihir
Artikel
utama: berpikir Sihir
"Istilah
pemikiran magis 'dalam antropologi , psikologi , dan ilmu kognitif mengacu pada
penalaran kausal non-ilmiah sering melibatkan pemikiran asosiatif keliru,
seperti kemampuan dirasakan pikiran untuk mempengaruhi dunia fisik (lihat
filosofis penyebab masalah jiwa ) atau korelasi keliru untuk penyebab .
Asosiasi kausal dirasakan antara tindakan atau peristiwa mungkin berasal dari
asosiasi simbolis seperti metafora , metonimi , dan jelas sinkronisitas .
[
sunting ]teori Psikologis sihir
Artikel
utama: teori Psikologis sihir
Teori-teori
psikologi mengobati sihir sebagai sebuah fenomena pribadi dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan individu, sebagai lawan dari fenomena sosial yang melayani
tujuan kolektif. Kekuatan penjelas dari sihir tidak boleh diremehkan, namun.
Baik di masa lalu dan dalam sistem kepercayaan dunia modern ajaib dapat
memberikan penjelasan untuk fenomena dinyatakan sulit atau tidak mungkin untuk
memahami sekaligus memberikan landasan spiritual dan metafisik bagi individu.
Selanjutnya, karena keduanya Brian Feltham dan Scott E. Hendrix berpendapat,
keyakinan magis tidak perlu mewakili bentuk irasionalitas, atau mereka harus dipandang
sebagai bertentangan dengan pandangan modern di dunia. [42][43]
[
sunting ]perspektif intelektualis
Informasi
lebih lanjut: Mitos dan ritual dan Shamanisme
Keyakinan
bahwa seseorang dapat mempengaruhi kekuatan supranatural, dengan doa , kurban
atau permintaan kembali ke agama prasejarah dan hadir dalam catatan awal
seperti Mesir teks piramida dan India Veda . [44]
James
George Frazer menyatakan bahwa pengamatan magis adalah hasil dari suatu
disfungsi internal: "Pria mengira urutan ide-ide mereka untuk tatanan
alam, dan karenanya membayangkan bahwa kontrol yang mereka miliki, atau
tampaknya telah, atas pikiran mereka, mengizinkan mereka untuk melakukan
kontrol atas hal-hal yang sesuai. " [45]
Lainnya,
seperti BL Thomas [46] dan Sigmund Freud telah menolak penjelasan ini. Freud
menjelaskan bahwa "teori terkait sihir hanya menjelaskan jalan sepanjang
yang hasil sihir, itu tidak menjelaskan esensi sejati, yaitu kesalahpahaman
yang mengarah untuk mengganti hukum-hukum alam oleh yang psikologis". [47]
Freud menekankan bahwa apa yang orang primitif menyebabkan datang dengan sihir
adalah kekuatan keinginan:. "keinginan-Nya disertai dengan impuls motorik,
kemauan, yang kemudian ditakdirkan untuk mengubah wajah seluruh bumi dalam
rangka untuk memenuhi keinginannya ini impuls motor pada awalnya digunakan
untuk memberikan representasi dari situasi memuaskan sedemikian rupa sehingga
menjadi mungkin untuk mengalami kepuasan dengan cara apa yang mungkin
digambarkan sebagai motor halusinasi . Ini semacam representasi dari keinginan
puas adalah cukup sebanding untuk bermain anak-anak, yang teknik sebelumnya
mereka berhasil sensorik murni kepuasan [...] Dengan berjalannya waktu, logat
psikologis bergeser dari motif untuk tindakan magis pada langkah-langkah dengan
yang dilakukan. keluar-yaitu, pada tindakan itu sendiri. [...] Dengan demikian
datang untuk tampil seolah-olah itu adalah tindakan magis sendiri yang, karena
kesamaan dengan hasil yang diinginkan, sendirian menentukan terjadinya hasil
yang ". [48]
[
sunting ]Teori tentang hubungan dengan agama sihir
Artikel
utama: Magic dan agama dan Mitos dan ritual
Magic
dan agama adalah kategori dari keyakinan dan sistem pengetahuan yang digunakan
dalam masyarakat. Sementara umumnya dianggap kategori yang berbeda dalam budaya
barat, interaksi, persamaan, dan perbedaan telah menjadi pusat untuk
mempelajari sihir untuk banyak teori dalam sosiologi dan antropologi , termasuk
Frazer , Mauss , SJ Tambiah ,Malinowski dan Isabelle Sarginson. Dari perspektif
intelektualis dan fungsionalis, sihir sering dianggap paling analog dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
[
sunting ]Marcel Mauss
Dalam
A General Theory of Magic, [49] Marcel Mauss mengklasifikasikan sihir sebagai
suatu fenomena sosial, yang serupa dengan agama dan sains, tapi belum kategori
yang berbeda.Dalam prakteknya, sihir memiliki kemiripan yang kuat dengan agama.
Menggunakan kedua jenis ritual serupa, bahan, peran sosial dan hubungan untuk
mencapai tujuan dan keyakinan menimbulkan. Mereka berdua beroperasi pada
prinsip yang sama, khususnya mereka konsekrasi dan kesucian objek dan tempat,
interaksi dengan kekuatan supranatural dimediasi oleh seorang ahli, pekerjaan
simbolisme, pemurnian pengorbanan, dan representasi dalam ritus-ritus, dan
pentingnya tradisi dan kelanjutan dari pengetahuan. Magic dan agama juga
berbagi karakter kolektif dan totalitas keyakinan. Aturan dan kekuatan dari
masing-masing ditentukan oleh cita-cita masyarakat dan keyakinan dan
perlahan-lahan berevolusi. Selain itu tidak mendukung keyakinan parsial. Kepercayaan
pada satu aspek dari fenomena membutuhkan keyakinan dalam keseluruhan, dan
masing-masing menggabungkan struktural celah untuk mengakomodasi kontradiksi.
Para
Mauss Perbedaan menarik antara agama dan sihir adalah baik sentimen dan
praktek. Dia menggambarkan sihir sebagai unsur pra-modern masyarakat dan dalam
banyak hal antitesis agama. Sihir adalah rahasia dan terisolasi, dan jarang
dilakukan secara terbuka dalam rangka untuk melindungi dan melestarikan
pengetahuan gaib. Agama diprediksi dan ditentukan dan biasanya dilakukan secara
terbuka dalam rangka untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Sementara
dua fenomena lakukan bentuk berbagi banyak ritual, Mauss menyimpulkan bahwa
"sebuah ritus magis adalah setiap ritus yang tidak memainkan bagian dalam
kultus terorganisir Ini adalah pribadi, rahasia, misterius dan pendekatan batas
ritus dilarang.." [3] Dalam praktek, sihir berbeda dari agama dalam hasil
yang diinginkan. Agama berusaha untuk memenuhi tujuan moral dan metafisik,
sementara sihir adalah seni fungsional yang sering berusaha untuk mencapai
hasil yang nyata. Dalam hal ini menyerupai sihir teknologi dan ilmu
pengetahuan. Kepercayaan pada setiap difus, universal, dan dihapus dari asal
praktek. Namun, kesamaan antara fenomena sosial terbatas, sebagai ilmu yang
berbasis di eksperimen dan pengembangan, sementara sihir adalah "sebuah
keyakinan apriori." [50] Mauss menyimpulkan bahwa meskipun kepercayaan
magis dan ritus yang paling analog dengan agama, sihir tetap menjadi berbeda
dari agama dan ilmu pengetahuan dengan aturan sendiri karakteristik, tindakan
dan tujuan sosial fenomena.
[
sunting ]Tambiah
Menurut
Tambiah , sihir, ilmu pengetahuan, dan agama semua memiliki mereka sendiri
"kualitas rasionalitas", dan telah dipengaruhi oleh politik dan ideologi.
[51] Tambiah juga berpendapat bahwa persepsi dari ketiga gagasan telah
berevolusi dari waktu ke waktu sebagai akibat dari Pemikiran Barat. Garis
demarkasi antara ide-ide tergantung pada perspektif dari berbagai antropolog,
namun Tambiah memiliki pendapat sendiri tentang sihir, ilmu pengetahuan, dan
agama.
Menurut
Tambiah, agama didasarkan pada sebuah komunitas yang terorganisir, dan
diharapkan untuk mencakup semua aspek kehidupan. Dalam agama, manusia wajib
kekuatan luar dan dia seharusnya merasa kesalehan terhadap kekuasaan itu. Agama
adalah efektif dan menarik karena umumnya eksklusif dan sangat pribadi. Juga,
karena agama mempengaruhi semua aspek kehidupan, akan lebih mudah dalam arti
bahwa moralitas dan perilaku yang dapat diterima gagasan yang dikenakan oleh
Allah dan supranatural. Ilmu pengetahuan, di sisi lain, menunjukkan kesenjangan
yang jelas antara alam dan supranatural, membuat perannya jauh lebih sedikit
mencakup semua daripada agama.
Berbeda
dengan agama, Tambiah menunjukkan bahwa umat manusia memiliki lebih banyak
kontrol pribadi atas peristiwa. Ilmu pengetahuan, menurut Tambiah, adalah
"sebuah sistem perilaku di mana manusia memperoleh penguasaan
lingkungan." [52] Bahwa di alam agama dan supranatural terhubung dan
dasarnya saling dipertukarkan, dalam ilmu pengetahuan, alam dan gaib bola jelas
terpisah. Juga, ilmu pengetahuan adalah suatu disiplin yang dikembangkan,
sebuah argumen yang logis dibuat dan dapat ditantang. Basis pengetahuan ilmiah
dapat diperpanjang, sementara agama lebih konkrit dan absolut. Magic, yang
kurang diterima dari tiga disiplin ilmu dalam masyarakat Barat, adalah sebuah
ide sama sekali unik.
Tambiah
menyatakan bahwa sihir adalah tindakan ketat ritual yang menerapkan kekuatan
dan benda-benda di luar bidang para dewa dan supranatural. Benda-benda dan
peristiwa dikatakan intrinsik berkhasiat, sehingga supranatural tidak perlu.
Untuk beberapa, termasuk Yunani, sihir dianggap sebagai "proto-ilmu
pengetahuan." Magic memiliki sejarah penting lainnya juga.
Banyak
perdebatan antara agama dan sihir berasal selama Reformasi Protestan. Gereja
Katolik diserang karena doktrin transubstansiasi karena itu dianggap sebagai
jenis sihir sakramental. Selain itu, kemungkinan terjadi sesuatu di luar tujuan
Allah ditolak. Mantra [53] dipandang sebagai tidak efektif dan menghujat,
karena agama kepercayaan yang diperlukan dalam "agen sadar yang dapat
dibelokkan dari tujuan ini dengan doa dan permohonan." [54] Doa adalah
satu-satunya cara untuk secara efektif memberlakukan perubahan positif.Reformasi
Protestan adalah sebuah momen penting dalam sejarah pemikiran magis karena
Protestantisme memberikan dorongan untuk pemahaman yang sistematis dunia. Dalam
kerangka kerja sistematis, tidak ada ruang untuk sihir dan praktik. Selain
Reformasi, Renaissance adalah zaman berpengaruh dalam sejarah pemikiran tentang
sihir dan ilmu pengetahuan.
Selama
Renaisans, sihir kurang stigma meskipun itu dilakukan secara rahasia dan
karenanya dianggap "gaib". Renaissance sihir didasarkan pada
kosmologi, dan kekuasaannya yang dikatakan berasal dari bintang-bintang dan
penyelarasan planet. Newton sendiri mulai bekerja di matematika karena dia
ingin melihat "apakah astrologi yudisial punya klaim validitas."[55]
Garis
demarkasi antara ilmu, sihir, dan agama semua memiliki asal-usul dating ke
saat-saat ketika proses berpikir didirikan ditantang. Munculnya pemikiran Barat
pada dasarnya dimulai diferensiasi antara tiga disiplin. Sedangkan ilmu
pengetahuan dapat direvisi dan dikembangkan melalui pemikiran rasional, sihir
dipandang sebagai kurang ilmiah dan sistematis dari ilmu pengetahuan dan agama,
sehingga yang paling dihormati dari tiga.
[
sunting ]Bronislaw Malinowski
Artikel
utama: Bronislaw Malinowski
Dalam
esainya "Sihir, Sains dan Agama", Bronislaw Malinowski berpendapat
bahwa setiap orang, tidak peduli seberapa primitif, menggunakan kedua sihir dan
ilmu pengetahuan. Untuk membuat perbedaan yang dia memecah kategori ini ke
dalam "sakral" dan "profan" [56] atau "sihir /
agama" dan ilmu pengetahuan. Dia berteori bahwa perasaan hormat dan kagum
bergantung pada pengamatan alam dan ketergantungan pada keteraturan tersebut.
Ini pengamatan dan penalaran tentang alam adalah jenis ilmu pengetahuan. Sihir
dan ilmu keduanya memiliki tujuan yang nyata untuk membantu "naluri manusia,
kebutuhan dan kegiatan." [57] Baik sihir dan ilmu mengembangkan prosedur
yang harus diikuti untuk mencapai tujuan tertentu. Sihir dan ilmu pengetahuan
keduanya didasarkan pada pengetahuan; sihir adalah pengetahuan tentang diri dan
emosi, sedangkan ilmu adalah pengetahuan alam.
Menurut
Malinowski, sihir dan agama juga serupa bahwa mereka sering melayani fungsi
yang sama dalam masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa sihir lebih tentang
kekuatan pribadi individu dan agama adalah tentang iman dalam kuasa Allah. Sihir
adalah juga sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk kelompok
tertentu, sementara agama adalah lebih luas tersedia untuk masyarakat.
Untuk
mengakhiri esainya, Malinowski mengajukan pertanyaan, "mengapa
sihir?" Dia menulis, "Sihir persediaan manusia primitif dengan
sejumlah siap pakai ritual, tindakan dan keyakinan, dengan teknik mental dan
praktis tertentu yang berfungsi untuk jembatan di atas jurang yang berbahaya
dalam setiap mengejar penting atau situasi kritis.
3....GEERTZ
CLIFFORD
GEERTZ: AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN
A.
Mengenal Clifford Geertz
Clifford
Geertz lahir di San Fransisco, California pada tahun 1929. Setelah
menyelesaikan pendidikan menengah, ia melanjutkan ke Antioch College sampai
mendapat gelar BA dalam bidang filsafat pada tahun 1950. Ia melanjutkan
studinya ke harvard dan mendalami antropologi. Tahun ke-dua di Harvard, ia
melakukan studi lapangan di Jawa dan menetap selama dua tahun bersama istrinya.
Sekembalinya ke Harvard, ia meraih gelar doktor dalam bidang antropologi dari
Departement of Social Relation tahun 1956.
Kemudian
Geertz kembali memilih lokasi penelitian di Indonesia, tepatnya Bali dan
risetnya di sini selesai tahun 1958. Missinya sebagai antropolog adalah
etnografi, yakni memberikan deskripsi rinci dan sistematis dari masyarakat yang
dijadikan obyek kajiannya, serta mengungkapkan bagaimana keragaman aspek-aspek
kehidupan masyarakat bisa melebur menjadi sebuah kebudayaan yang utuh.
Riset-risetnya di Jawa dan Bali merupakan fondasi utama tulisan dan analisis-analisis
selanjutnya.[1]
Sekembalinya
dari Bali, Geertz bergabung dengan Universitas California di Berkeley, kemudian
pindah ke Universitas Chicago dan mengabdi di sana antara tahun 1960-1970.
Mulai tahun 1960 Geetz melakukan studi lanjutan, dan memilih masyarakat Muslim
Maroko di Afrika Utara, suatu masyarakat Muslim yang sama sekali berbeda dengan
masyarakat Muslim Asia Tenggara (Jawa). Studinya di Maroko dilakukan dengan
mengadakan lima kali kunjungan ke kawasan ini.
Pada
tahun 1970, Geertz adalah satu-satunya ilmuwan antropologi yang bergelar
profesor pada Advanced Study di Princeton, New Jersey tempat ia melakukan
riset-risetnya. Gelar ini diberikan antara lain karena kritikan-kritikannya
yang tajam tentang masalah-masalah teoritis yang penting dalam antropologi, dan
kemudian membangun analisis-analisis berdasarkan ketidak-setujuannya terhadap
ilmu sosial kuno.[2]
Buku-buku
yang dihasilkan dari riset-risetnya antara lain: The Religion of Java (1960)
yang menjelaskan kepercayaan, ritual, dan adat istiadat di tempat risetnya
(Jawa); Agricultural Revolution (1963) membahas tentang masalah lingkungan dan
ekonomi di Indonesia, serta tantangan dan peluangnya pasca Kolonial; Peddler
and Princess (1963), berisi perbandingan kehidupan ekonomi di Jawa dan Bali;
The Social History of an Indonesian Town (1965) mengupas tentang kepercayaan
simbol, ritual, dan adat kebiasaan masyarakat sebuah kota kecil di Jawa
(Mojokuto); Islam Observed (1968), dengan buku ini geertz mampu membuat
perbandingan dalam satu jenis agama (Islam) dengan dua setting yang berbeda
(Jawa/Indonesia dan Maroko); Meaning and Order in Marocean (1960) merupakan
kumpulan tulisannya bersama beberapa ilmuwan lain; The Interpretation of
Cultures (1973), sebuah adikarya yang mendapat sambutan luas; dan Local
Knowledge(1983), kumpulan tulisan yang muncul belakangan yang juga mendapat
sambutan yang luar biasa.
B.
Geertz, dan Teori-teori Yang Mempengaruhi Perspektif Antropologinya
Boas,
Kroeber dan Lowie, menekankan bahwa ‘kebudayaan’ merupakan kata kunci bagi
studi antropologi.[3] Menurut mereka, dalam penelitian lapangan, yang harus
diselidiki bukan hanya masyarakat (komponen material dan struktur satu
komunitas manusia) semata-mata, tetapi sistem yamg lebih luas dari itu, yakni
meliputi ide, adat istiadat, perilaku, simbol dan institusi-institusi dalam
suatu masyarakat. Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Ruth Benedict,
yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan kata kunci untuk memahami umat
manusia, ataupun (bahkan) seorang indvidu.
Geertz
sangat tertarik dengan ide-ide para peneliti di atas yang kemudian mempengaruhi
perspektif antropologinya. Dalam hal ini, Geertz sangat yakin bahwa antropologi
sebelum dilanjutkan ke tahap berikutnya harus didasarkan pada etnografi
terlebih dahulu. Fokus utamanya harus ditujukan pada satu tempat dan satu
masyarakat, sehingga kesimpulan general hanya akan muncul dari studi yang
mendalam yang difokuskan pada satu titik ini. Karena pintu gerbang untuk
memasuki kehidupan masyarakat lain akan terbuka lebar apabila struktur-strukrut
sosial seperti keluarga, klan, ataupun sistem hukum telah diamati dan
dipahami.[4] Juga karena kesaling-terkaitan ide, motivasi, dan
aktivitas-aktivitas secara keseluruhan dalam masyarakat yang diteliti itulah
yang disebut kebudayaan.
Oleh
karena itu kebudayaan sebenarnya adalah sumber tempat seorang individu
mengambil pelajaran bagaimana harus bertindak dalam hidupnya. Dengan demikian
Geertz meyakini ide tentang kebudayaan sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang
obyektif, riil dan permanen, sehingga pendekatan yang dilakukan Geertz
dinamakan “antropologi simbolis”. Dalam hal ini, pengaruh Max Weber melalui
terjemahan-terjemahan Talcot Parson tampak besar sekali terhadap pemikiran
Geertz, karena memang Weberlah ilmuwan yang paling sering dirujuk Geertz dan
mewarnai hampir setiap tulisannya.[5]
Pengaruh
Weber terhadap Geertz, juga didapatkannya melalui The Structure of Social
Action (1934) tulisan Parson tentang jalan pemecahan masalah-masalah
kebudayaan. Parson mengembangkan pandangan bahwa seluruh kelompok manusia
terdiri dari tiga level bentuk organisasi; (1) kepribadian individual yang
berasal dan dibangun oleh (2) sistem sosial, yang pada gilirannya sistem ini
akan dikontrol oleh (3) satu “sistem kebudayaan” yang terpisah. Sistem kebudayaan
yang berisi jaringan tata nilai, simbol, kepercayaan-kepercayaan yang kompleks
ini memiliki integrasi tak terpisahkan dengan individu dan masyarakat.
Demikianlah,
Weber, Parson, dan atropolog-antropolog yang telah disebutkan di atas, telah
mendasari perspektif antropologi yang dikembangkan Geertz, sehingga Geertz
mampu menggabungkannya ke dalam suatu program yang lengkap tentang antropologi
interpretatif/interpretive anthropology atau lebih dikenal dengan simbolic
anthropology, yang menampakkan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji makna
kebudayaan manusia.[6] Dalam hal ini Geertz dipengaruhi oleh Ricoeur yang
mengatakan bahwa kata “hermeneutik” yang berarti penafsiran tentang dokumen
dalam karya sastra, maknanya terkait dengan penafsiran-penafsiran dalam studi
tentang kebudayaan.[7]
C.
Tinjauan Antropologi Interpretatif Geertz Tentang Kebudayaan
Menurut
Geertz, kalau ingin memahami aktivitas kebudayaan -yang salah satu elemen
terpentingnya adalah agama- maka seorang peneliti tidak punya pilihan lain kecuali
menemukan metode-metode yang tepat. Karena dalam membicarakan manusia, yang
hidup dalam sistem makna yang kompleks yang disebut kebudayaan,[8] pendekatan
sekedar ‘menjelaskan’ perilaku mereka seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan
alam dalam menyelidiki sekawanan ikan atau serangga, tidaklah memadai.
Pendekatan
yang ditawarkan Geertz untuk menyelidiki kebudayaan adalah apa yang disebut
oleh filosof Inggris Gilbert Ryle dengan “Thick Description” (deskripsi/
pelukisan mendalam). Istilah ini dikaitkan dengan kegiatan La Paenseur (sang
pemikir)yang sedang melakukan kegiatan ‘memikirkan dan merefleksikan’dan
‘memikirkan pikiran-pikiran’. Dengan cara ini, biasanya penelitian dilakukan
dengan mengambil suatu obyek yang terbatas, sehingga pelukisan terhadap suatu
kebudayaan menghasilkan suatu paparan yang bersifat mikroskopis, deskripsi
tentang makna dan sistem simbol dalam masyarakat.[9]
Maka
menurut Geertz, etnografi dan juga antropologi secara umum, harus selalu
melibatkan ‘pelukisan mendalam’ ini, sebagai kebalikan dari ‘pelukisan dangkal’
(Thin Description). Tugas etnografer atau antropolog tersebut, bukan hanya
sebatas mendeskripsikan struktur suku-suku atau rtual-ritual masyarakat yang
ditelitinya saja, tetapi juga mencari makna, menemukan apa yang sesungguhnya
berada di balik perbuatan mereka, atau makna yang ada di balik seluruh
kehidupan dan pemikiran ritual, struktur, dan kepercayaan mereka.[10]
Lebih
lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat
publik, dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka
saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Sehingga menurutnya,
secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna dalam terma-terma
berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan,
mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan
kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan menemukan artikulasinya
melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.
Ketika
meneliti kebudayaan, seorang antropolog harus mencoba merekonstruksi masyarakat
yang diteliti. Dalam hal ini, penafsiran mereka terhadap dokumen/teks yang
bersifat publik(kebudayaan) itu, harus didasarkan pada pandangan , yang berasal
dari pandangan asli pendukung kebudayaan tersebut (native’s point of view).[11]
Jadi kajian antropologi yang interpretif, harus menghasilkan tulisan menurut
definisi penduduk asli (di dasarkan pada penafsiran-penafsiran para informan
kepada peneliti), kemudian memikirkan dan memetakan yang mereka sampaikan, dan
menata nya kembali dengan melukiskan kesimpulan penjelasannya, sehingga menjadi
tulisan etnografi yang bersifat alami.[12] Suatu hal yang hanya mungkin
didapatkan dengan suatu kajian yang bersifat mikroskopis.
Oleh
karena itu antropologi interpretatif memfokuskan perhatiannya pada subjek dalam
skala kecil, seperti klan, suku, atau sebuah desa yang sistem kebudayaannya
dapat dilukiskan dalam detil-detil karakter yang terperinci, dengan mengamati
perbedaan fakta yang terjadi di dalam sistem kebudayaan tersebut. Oleh
karenanya menurut Geertz, tidak akan mungkin ditarik teori umum (generalisir)
tentang kebudayaan seluruh manusia. Karena analisa kebudayan, bukanlah sains
eksperimental yang ingin menemukan suatu hukum, melainkan penafsiran yang ingin
menemukan makna-makna.[13] Sehingga interpretasi kebudayaan tidak akan pernah
selesai, dan tidak akan ada benar dan salah secara absolut.
D.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Dari
berbagai bidang yang merupakan lahan kajian Geertz (mulai dari agrikultur,
ekonomi, ekologi, pola-pola hubungan kekerabatan, sejarah, politik
negara-negara berkembang, dll.), agama merupakan bidang yang paling menarik
perhatian Geertz, yang menurutnya salah satu elemen terpenting dalam
kebudayaan. Sebagaimana Geertz menganjurkan pendekatan interpretatif
(hermeneutika) terhadap studi-studi ilmu sosial umumnya (termasuk studi
kebudayaan), Geertz juga menganjurkan pendekatan ini untuk meneliti agama, dan
merupakan pelopor penerapannya.
Buku
pertama Geertz, the Religion of Java (1960), yang membahas secara mendetil
mengenai kompleksnya hubungan tradisi keagamaan Islam, Hindu, dan Kepercayaan
Asli setempat, memperlihatkan agama sebagai fakta kultural sebagaimana halnya
dalam kebudayaan jawa, bukan hanya sekedar ekspresi kebutuhan sosial atau
ekonomis semata. Dalam buku ini, walaupun pendekatan interpretatif tampaknya
sudah digunakan Geertz, namun dia belum menawarkan tentang aspek-aspek teoritis
pendekatan interpretatif terhadap agama.
Aspek-aspek
teoritis pendekatan interpretatif terhadap agama, dijelaskan Geertz pada salah
satu esai yang dimuatnya kembali dalam The Interpretation of Cultures (1973),
yang bertajuk “ Religion as a Cultural System”(1966). Geertz memulai esai
tersebut dengan menyatakan bahwa ia tertarik pada “dimensi kebudayaan” dalam
agama. Menurutnya dalam satu kebudayaan terdapat ‘sistem-sistem budaya’ yang
salah satunya adalah agama, yang akan terlihat ketika Geertz mendefinisikan
tentang agama.[14]
Menurut
Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol, yakni segala sesuatu yang memberikan
penganutnya ide-ide.[15]Sebagaimana kebudayaan yang bersifat publik,
simbol-simbol dalam agama juga bersifat publik dan bukan murni bersifat
privasi.
Kemudian
menurut Geertz, simbol-simbol dalam agama tersebut menciptakan perasaan dan
motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang
(penganutnya), atau simbol agama tersebut menyebabkan penganutnya melakukan
sesuatu (misalnya ritual), karena dorongan perasaan yang sulit didefinisikan
dan juga sulit dikendalikan.
Kekuatan
perasaan itu muncul karena agama membentuk konsep-konsep tentang tatanan
seluruh eksistensi . Maksud agama terpusat pada makna final (ultimate meaning),
suatu tujuan pasti bagi dunia. Konsepsi-konsepsi tentang dunia dan serangkaian
motivasi serta dorongan-dorongan yang diarahkan oleh moral ideal adalah inti
agama, yang diringkas Geertz dalam dua terma: pandangan hidup dan etos.
Selanjutnya Geertz menambahkan bahwa agama melekatkan konsep-konsep (pandangan
hidup dan etos) tersebut, kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya
perasaan dan motivasi tersebut akan terlihat sebagai realitas yang unik.
Secara
sederhana, agama membentuk sebuah tatanan kehidupan dan sekaligus memiliki
posisi istimewa dalam kehidupan tersebut. Agak berbeda dengan ‘sistem-sistem
kebudayaan’ lainnya, simbol-simbol dalam agama menyatakan kepada penganutnya
bahwa terdapat sesuatu yang ‘benar-benar riil’, sesuatu yang dianggap lebih
penting dari apapun. Dalam ritual keagamaan, manusia dimasuki oleh desakan realitas
‘riil’ ini. Dengan demikian, perasaan dan motivasi seseorang dalam ritual
(salah satu simbol) keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya, dan kedua
hal tersebut saling memberi kekuatan.
Setiap
agama, mempunyai cara-cara tersendiri untuk mengkombinasikan pandangan hidup
dan etos mereka. Berkaitan dengan hal ini, Geertz menyimpulkan bahwa studi
apapun tentang agama, akan berhasil bila telah menjalani dua langkah. Pertama,
memulai dengan menganalisa seperangkat makna yang terdapat dalam simbol-simbol
keagamaan itu sendiri. Kedua, karena simbol-simbol itu sangat terkait dengan
struktur masyarakat dan aspek psikologis anggota masyarakat, maka rangkaian
simbol-simbol ini, harus ditelusuri secara kontinyu, baik cara terciptanya,
proses penerimaan dan pemaknaannya, dan pembelokan maknanya.
E.
Penerapan Metode Interpretatif Dalam Studi Tentang Agama
Pendekatan-pendekatan
teoritis sebagaimana diuraikan di atas, antara lain diterapkan Geertz ketika
meneliti agama di tengah masyarakat bali modern, dan studi komparasinya
terhadap masyarakat Muslim di Indonesia (Jawa) dan Maroko, dalam
tulisan-tulisan Geertz berikut ini:
1.
“Internal Conversion in Contemporary Bali” (1964) dalam Interpretation of
Cultures (1973)
Ketika
menggambarkan agama masyarakat Bali, Geertz menggunakan framework Weber
mengenai dua tipe agama yang ada di dunia, yakni agama tradisional dan agama
rasional. [16]
Melihat
dengan perspektif Weber ini, Geertz menyatakan bahwa agama Bali bukanlah
mistisisme India walaupun bernama Hindu, dan dapat dikategorikan sebagai agama
tradisional. Hindu Bali, bermuatan nilai-nilai politeisme dan mitologi
masyarakat setempat. Hampir tdak ada nilai-nilai rasional dalam bangunan
teologi mereka, walaupun kita dapat dengan mudah menemukan ritual-ritual dan perasaan
dekat dengan Tuhan di dalamnya walaupun beribu-ribu kuil terdapat di pulau ini
dan bahkan penduduk bisa memeliki selusin kuil. Kebanyakan masyarakatnya tidak
memiliki ide tentang Tuhan yang akan mereka sembah, tapi mereka tetap meyakini
upacara-upacara tertentu yang mesti di laksanakan sebelum melakukan pekerjaan.
Lebih jauh lagi, upacara-upacara ini selalu berkait dengan struktur sosial.
[17]
Sebagai
inti agama yang magis, pemujaan kematian dan mantra-mantra dalam agama Bali
ini, terlihat dalam pertempuran antara Rangda dan Barong, yang merasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat Bali selama berabad-abad. Sekalipun mereka telah
berinteraksi dengan masyarakat Islam dan Kristen, namun mereka tidak pernah
berpindah kepada salah satu agama tersebut. Jadi agama tradisional mereka bisa
bertahan selama berabad-abad tanpa di sentu oleh pengaruh-pengruh agama
rasional.
Pada
tahun 1964, perubahan-perubahan sosial yang sangat drastis terjadi di Bali,
yang sebagian besar disebabkan oleh angin kemerdekaan Indonesia. Pendidikan
modern, kesadaran politik dan jaringan komunikasi telah membuka kesempatan
masyarakat Bali dengan dunia luar. Perkembangan desa menjadi kota dan
pertumbuhan penduduk semakin mendesak masyarakat tradisional. Itulah yang
terjadi pada masyarakat tradisional ketika ketegangan sosial membawa rasa
“kurang pas” terhadap dunia mereka selama ini dan berakhirnya zaman agama magis
yang tampak benar-benar di alami oleh masyarakat Bali modern.
Sebenarnya,
jika dilihat lebih dekat lagi, masyarakat Bali terlihat berada dalam proses
yang disebut Weber sebagai “konversi internal”, transformasi kontinyu dari tata
cara peribadatan tradisional menuju sosok agama rasional. Geertz mengisahkan
pengalamannya ketika masih berada di Bali, bahwa pada suatu malam saat berlangsung
satu upacara pemakaman, dia terlibat diskusi filosofis dengan penduduk setempat
tentang makna dan tujuan agama yang kelihatannya tidak di acuhkan oleh generasi
muda Bali saat itu. Dalam kebudayaan trdisional, hampir tidak di kenal
diskusi-diskusi semacam ini yang sangat berciri agama rasional. Ternyata hal
ini membuktikan suatu perubahan mendasar telah terjadi di jalan-jalan Bali.
Yang
juga hampir-hampir tidak pernah terdengar dalam situasi tradisional, adalah
suatu perkembangan satra, doktrin, naskah keagamaan dan organisasi-organisasi
kependetaan. Sekali lagi, tanda-tanda perubahan ini sekarang telah masuk dalam
kebudayaan Bali. Yang juga menarik diamati adalah bahwa para bangsawan,
pangeran, dan raja-raja—karena hak istimewa mereka sedikit terancam oleh
datangnya pemerintahan demokratis—juga menempatkan diri dalam perubahan ini,
dengan harapan dapat mempertahankan status sosial mereka, yaitu dengan cara
memprakarsai agama masyarakat Bali yang baru dan lebih definitif ini.
Walaupun
Geertz mengakui bahwa konsepsi Weber tentang seluruh proses perubahan yang
ditemukan di balik pertumbuhan agama-agama rasional dunia, di temukan dalam
masyarakat Bali modern. Namun dari pengamatan yang dilakukan secara detil dan
dari jarak dekat terhadap agama masyarakat Bali modern tersebut, Geertz masih
merasa ragu dapat ditarik menjadi konsep ataupun teori-teori umum.
2.
Islam Observed (1960).
Geertz
menyatakan dengan cukup ambisius bahwa tujuan buku ini adalah untuk mendapatkan
framework untuk keperluan analisis perbandingan agama, dan mengaplikasikannya
kepada satu kepercayaan, dalam hal ini islam, yang tumbuh di dua daerah yang
berbeda, yakni Indonesia dan Maroko. Dua negara yang mayoritas penduduknya
Muslim, dan sama-sama mengalami perubahan sosial yang drastis di era modern,
pasca kolonialisme. Walaupun mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat kedua
negara tersebut berbeda (Indonesia bercocok tanam sedangkan Maroko
menggembala), menurut Geertz tidak diragukan lagi, agama memiliki peran penting
dalam proses transformasi sosial yang terjadi di kedua negara ini.
Masyarakat
Maroko ketika Islam masuk (+ 1050 M), didominasi oleh suku-suku agresif dari
gurun-gurun pasir dan pedagang-pedagang fanatik dari kota, dimana para ksatria
(prajurit) dan para mistikus (kadan-kadang merangkap keduanya) merupakan figur
utama dalam kebudayaan ini. Di masa-masa selanjutnya, figur ini semakin dipuja
dan dianggap suci karena dianggap keturunan langsung Nabi muhamad (syarif),
serta dikenal sebagai marabouth (dari kata Arab murabith, yang berarti orang
yang diikatkan pada Tuhan). Mereka kemudian mencari pengikut-pengikut yang
tersebar dalam sekte-sekte, yang sangat setia kepada pemimpin suci mereka.
Islam
di Maroko dapat dilihat dari kisah hidup yang melegenda, seorang tokoh yang
bernama Sidi Lahsen Lyusi, salah seorang generasi terakhir marabouth yang hidup
sekitar tahun 1600-an. Dia adalah seorang yang berakhlak sangat terpuji,
berpengetahuan luas, dan seorang figur yang gagah berani, yang mempunyai
barakah (sejenis kharisma spiritual), yang telah dipertunjukkannya ketika
melawan Sultan. Kisah ini, menunjukan karakteristik kesadaran religius ‘Islam
Klasik’ yang tumbuh di dalam masyarakat Maroko, yang cenderung keras, tidak
kenal kompromi, fundamental, dan agresif, yang akan sangat berbeda dengan di
Indonesia.
Islam
memasuki kepulauan Nusantara menjelang tahun 1300-an M, melalui kontak dagang
dan merupakan bentuk toleransi kebudayaan India, sehingga Islam dapat bercampur
dengan kebudayaan Hindu-Budha, dan animistik yang sudah ada di sana. Legenda
Sunan kalijaga, menurut Geertz mencerminkan Islam di Indonesia pada awal
pertumbuhannya. Legenda ini, menggambarkan bahwa Islam masuk dan bisa berbaur
dengan agama-agama lama ( yang sebelumnya dianut Sunan kalijaga) dan juga dapat
menyesuaikan diri dengan apa yang disebut Geertz sebagai kebudayaan ‘negara
teater’[18]. Oleh sebab itu, Islam di Indonesia berkembang secara
fleksibel,mampu beradaptasi, menyerap nilai-nilai lokal, pragmatis dan gradual,
sehingga perasaan dan motifasi yang tercermin dalam masyarakatnya adalah
kesadaran diri, ketenangan, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme, dan bisa
dikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Namun baik Islam (klasik) di maroko
maupun indonesia, sama-sama bersifat mistik, yang membawa masyarakat kepada perasaan
tentang kehadiran secara langsung.
Kemudian,
kedua negara tersebut sama-sama menghadapi dua tantangan yakni: penguasa
kolonial dan modernisasi. Sebagaimana yang berkembang di dunia Islam umumnya
pada waktu itu, keterbelakangan kaum muslim dibandingkan negara-negara Barat
yang modern dan merupakan penguasa-penguasa kolonial, menimbulkan reaksi dari
golongan fundamentalis yang disebut geertz dengan skripturalis. Gerakan
skripturalis tersebut, ingin kembali ajaran Islam ‘dalam bentuk aslinya’ (hanya
berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah), sehingga marabouthisme di Maroko maupun
Islam Klasik yang berkembang di Indonesia (yang keduanya merupakan hasil
adaptasi), mendapat tantangan dari gerakan ini.
Model
Islam ‘skripturalis’ini dengan cepat menyebar, dan dalam proses penyebarannya
memberikan kekuatan bagi pertumbuhan semangat nasionalisme dan perlawanan
terhadap penguasa kolonial, serta melatar belakangi gerakan perjuangan
kemerdekaan negara masing-masing pertengahan abad 20 M. Dengan demikian
‘kekuatan agama” bisa dikatakan menjadi kekuatan semangat nasional.
Namun
ketika berbicara mengenai “kekuatan” agama, Geertz mengingatkan perlunya
membedakan ‘kekuatan’ agama dengan ‘ruang lingkup’ pengaruh agama tersebut.
Dari hasil pengamatannya terhadap Islam di Maroko dan Indonesia, geertz
menemukan bahwa ruang lingkup atau wilayah religiusitas masyarakat muslim
Indonesia lebih luas daripada masyarakat Maroko, karena hampir tidak ada aspek
kehidupan yang tidak diwarnai oleh citra supernatural. Sedangkan di Maroko, yang
merupakan segala-galanya hanyalah ‘pertemuan’ dengan Tuhan, sedangkan hal
lainnya tidaklah bersifat religius.
Dari
hasil penelitiannya dalam Islam Observed ini, Geertz menemukan bahwa walaupun
sama-sama Islam yang dikembangkan dalam bangunan teologis yang sama, terdapat
perbedaan dalam citarasa, karakter dan tekstur yang dimunculkan, oleh
masyarakat Muslim di kedua negara tersebut.
F.
Penutup
Demikianlah
paparan mengenai pemikiran Clifford Geertz, dengan pendekatan interpretatifnya
terhadap antropologi, khususnya studi tentang agama yang menurutnya merupakan
”sistem kebudayaan”. Studi etnografisnya yang sangat detil dengan melakukan
‘thick description” terhadap agama masyarakat Jawa, Bali, dan Maroko, telah
menyebabkan teori-teori lama yang bersifat menggeneralisir untuk semua agama
mengadapi dilema. Bahkan Geertz membuktikan, bahkan satu agama yang sama pun,
-jika tumbuh dalam masyarakat yang berbeda-, sistem-sistem ide, sikap, dan
perasaan yang dikembangkan para penganutnya akan berbeda, karena penghayatan religiusitas
yang berbeda pula.