A.
Gambaran Umum Keraton Yogyakarta
Istilah keraton berasal dari kata ka-ratu-an, maksudnya adalah tempat
bersemayam bagi ratu. Di samping keraton, istilah kadaton sering juga digunakan
untuk menyebut pengertian yang sama. Istilah kadaton berasal dari kata
ka-dhatu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi para dhatu. Ada pula yang
menyatakan bahwa keraton berasal dari bahasa Sansekerta, kratu yang berarti
kebijaksanaan. Dengan demikian, arti keraton di samping sebagai tempat
bersemayam para ratu/raja juga diartikan sebagai sumber/tempat kebijaksanaan.
Sumber yang dimaksud adalah raja. Oleh karena itu pula keraton pada zaman dulu
diakui sebagai tempat tinggal ratu dan memiliki fungsi sebagai pusat
pemerintahan dan kebudayaan. Sama seperti rumah, keraton atau istana terdiri
atas beberapa bagian bangunan atau tempat yang mempunyai fungsi berbeda-beda.
Di samping itu, ditinjau dari keseluruhan bangunan/tempat di dalam keraton,
semuanya mengandung arti kefilsafatan, kebudayaan, dan keagamaan. Istilah
keraton sering pula diidentikkan dengan pengertian negara. Ada juga yang mengartikan
bahwa keraton adalah bangunan yang berpagar dan berparit keliling sebagai pusat
kerajaan, tempat bersemayam raja-raja dengan kerabat/keluarganya. Dengan
demikian, Keraton Yogyakarta adalah tempat bersemayam raja-raja Yogyakarta
beserta keluarganya. Oleh karena raja-raja Yogyakarta bergelar sultan, maka
Keraton Yogyakarta sering juga disebut Kasultanan Yogyakarta atau Keraton
Kasultanan Yogyakarta. Istilah keraton sudah jarang digunakan oleh umum.
Istilah kraton-lah yang lebih sering digunakan/populer. Hal ini berkait erat
dengan proses peluluhan huruf e dalam pengucapan kata keraton yang telah
berlangsung cukup lama.
|
Kraton yogyakarta dianggap mulai ada setelah di
tandatangani perjanjian Giyanti pada zaman belanda, isi perjanjian itu memecah
Mataram menjadi dua kawasan pemerintahan, yaitu Kasunanan Surakarta dan
kasultanan yogyakarta. Sampai saat ini Keraton Yogyakarta mempunyai peranan yang
tetap penting sebagai faktor penentu dalam dinamika kehidupan masyarakat
Yogyakarta. Keraton Yogyakarta menjadi salah satu sistem simbol identitas masyarakat Jawa pada umumnya dan
masyarakat Yogyakarta pada khususnya, identitas ini berupa sistem kultur yang
meliputi: cara penghadiran diri atau representasi, pemaknaan, dan penghayatan
hidup, cara pandang hidup, dan nuansa kehidupan batin (Said Agil, 2001: 1).
Sebagaimana telah diketahui kraton dan masyarakat yogyakarta adalah
merupakan Sistem politik pemerintahan dan kehidupan di Jawa yang menggunakan
perpaduan antara islam dan budaya jawa.
Pada zaman penjajahan belanda, Keraton Yogyakarta diposisikan oleh belanda
sebagai pemimpin simbolik, menjadi icon yang dapat dimainkan oleh
Belanda untuk dapat mengendalikan kepatuhan massa inlander. posisi
priyayi Keraton Yogyakarta dalam pembentukan kepatuhan massa inlander ini
dipandang penting dilakukan, karena alam pikiran masyarakat Jawa pada umumnya
dan masyarakat yogyakarta pada khususnya masih didominasi oleh cara pandang
sistem kasta Hindu, yaitu ada 4 stratifikasi sosial, yaitu kasta : Brahmana,
Ksatria, Waisya dan Sudra. Masyarakat inlander mengangap bahwa diri mereka dari
kasta Sudra dan Paria yang harus tunduk pada kelas Brahmana dan Ksatria yang
ada di keraton Yogyakarta (Said Agil,2001: 2).
Prof. Dr. H.Said Agil Husein Al-Munawar,M.A pernah mengatakan bahwa
Yogyakarta adalah kota budaya, pusat kasultanan Islam beberapa abad yang lalu.
Tradisi budaya masih terus hidup, dan sampai sekarang menjadi objek wisata yang
mengharumkan nama Indonesia di mancanegara. Di kota ini, khasanah keislamannya
sangat kaya, bukan saja karena karya budaya yang terlihat, seperti budaya
sekaten tetapi banyak pula karya-karya yang belum tergali dan sangat berharga
untuk diungkap.
Kota-kota kuno biasanya berpusat pada keraton tempat tinggal ratu atau
penguasa. Karena tempat tinggal ratu merupakan kompleks bangunan, tempat
bekerja para pendeta, pegawai administrasi, dan para seniman
(Surjomihardjo,2000:17). Wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota
Jogyakarata telah lama dikenal sebelum Sultan Hamengku Buwono I memilih tempat
itu sebagai pusat pemerintahan. Wilayah itu dikenal dalam sejarah tradisional (
babad) dan leluri dari mulut ke mulut. Babad Giyanti mengisahkan, bahwa
Sunan Amangkurat telah mendirikan dalem di wilayah itu yang bernama
Gerjiwarti dan oleh Paku Buwono II dinamakan Ayogya (Surjomiharjo, 2000: 18).
|
B.
Tradisi dan Kesenian Keraton Yogyakarta yang Tetap
Dilaksanakan dan Menggunakan Dialek Bahasa Jawa Krama
1. Pagelaran Kesenian Wayang
Kulit
Ada banyak tradisi dan bentuk kesenian yang dilaksanakan oleh
keraton secara rutin. Dan dalam pelaksanaannya masih tetap memakai bahasa Jawa
krama. Diantara tradisi tersebut, ada satu tradisi yang setiap dua minggu
sekali tetap dilaksanakan, yaitu pagelaran
wayang kulit yang diselenggarakan di depan keraton dan dalam alun-alun kota
Yogyakarta. Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari
setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan
masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan
mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi
itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi
media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang
bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa
melihat bayangan.
Pagelaran
wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik
terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang
memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan
berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging
(ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan
guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh
musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh
dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak
dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat
dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada
di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan
wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan
orang-orangan yang sedang dimainkan.
|
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda.
Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon
gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya
bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis
besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak
bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada
perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita
wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata,
Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat
lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat
Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua
kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan
oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai
ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam
suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan)
dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran
dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga
yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara
Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan
perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap
pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
Dalam
pagelaran wayang kulit tersebut, Dalang dalam melakonkan aktor wayang
menggunakan bahasa Jawa krama, mulai dari awal sampai akhir cerita. Dengan
demikian, pagelaran wayang kulit secara langsung maupun tidak langsung memiliki
peranan dalam menjaga dan mewarisan kebudayaan kepada masyarakat. Selain itu,
dilihat dari segi pembawaanya, pagelaran wayang kulit juga mempunyai peranan
yang penting, yaitu dalam mempertahankan eksistensi bahasa jawa krama dan dalam
meawariskan bahasa Jawa krama kepada masyarakat.
2. Tradisi Sekaten
Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai
Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten
karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu
selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad
ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun
Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
|
Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang
berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua
perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang
ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat
lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati
(suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut
dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun
Utara.
Pendapat
lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua
kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla
ila-ha-ilallah) yang berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah" dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh)
yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".
Upacara
Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada
awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan
Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk
memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya
dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela
pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi
mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat
Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Di
kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan
ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan
mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai
syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta,
terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama
perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta
lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid
Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar
panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka
membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Sebelum
upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan
fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara
Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah
bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan
perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
|
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai
Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur
Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan
dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali
dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk
dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus
diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.
Sedangkan
Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu
pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet
lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng
pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun
pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring
pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun
pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.
Untuk
persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi
dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara
mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih
para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri
dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten
dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan
gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai
Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di
Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan
pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman
Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.
|
Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal,
memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada
perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah
upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat
pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung
Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan
Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan
gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah
utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus
siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat
hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada
tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke
Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa
pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara
tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat
gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton.
Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
C.
Pentingnya Bahasa Jawa Krama Untuk Tetap Dilestarikan dan
Dijaga Eksistensinya
Manusia sebagai
makhluk sosial tidak bisa lepas dari sifat ketergantungan dengan manusia lain.
Manusia akan melakukan aktivitas-aktivitas yang pada intinya adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak mungkin manusia bisa hidup sendiri tanpa
adanya bantuan dari orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
sebagai makhluk sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap
manusia akan berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain. Dalam
interaksinya, terdapat unsur komunikasi, dan dalam unsur komunikasi terdapat
unsur bahasa. Sehingga bahasa merupakan unsur pokok dalam interaksi. Dalam
keesing (1999:79) disebutkan bahwa bahasa adalah sandi konseptual, sistem
pengetahuan yang memberikan kesanggupan pada penutur-- pendengar guna
menghasilkan dan memahami ujaran, sedangkan ujaran ialah tingkah laku nyata—
orang menghasilkan bunyi.
|
Di dunia ini, terdapat beranekaragam bahasa yang
digunakan dalam berinteraksi. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan dan faktor
pengaruh dari luar. Di jawa, terdapat bahasa yang khas, yang merupakan
kebudayaan masyarakat yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai
makhluk sosial. Yaitu bahasa Jawa. Di dalam pergaulan hidupnya, masyarakat Jawa
menggunakan bahasa Jawa sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Pada
waktu mengungkapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan
keadaaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, dan juga
berdasarkan usia maupun status sosialnya. Pada prinsipnya ada dua macam bahasa
Jawa apabila ditinjau dari segi tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa ngoko dan
bahasa Jawa krama. Bahasa Jawa ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal
akrab dan terhadap orang yang lebih rendah derajatnya atau status sosialnya.
Sebaliknya, bahasa Jawa krama digunakan untuk bicara dengan orang yang belum
dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam
umur maupun derajat sosialnya. Selain itu juga dilakukan terhadap orang yang
lebih tinggi umur serta status sosialnya. Bahasa Jawa yang khusus digunakan
dikalangan istana atau keraton disebut bahasa kedaton (atau bahasa bagongan)
(Koentjaraningrat:2004: 329-330).
Pada dasarnya bahasa Jawa (ngoko dan krama) yang
digunakan, memiliki tujuan untuk menghormati sesama. Oleh karena itu
masyarakat jawa sebagai pemakai dan pemilik nahasa Jawa dikatakan sebagai
masyarakat sopan, halus dan saling menghormati. Namun demikian, saat era
modernisasi mulai memasuki kehidupan masyarakat Jawa, nampak sebuah perubahan
yang signifikan. Banyak hal yang berkembangdan menjadi lebih maju dari
sebelumnya, mulai dari sistem teknologi, informasi, birokrasi, politik dan
sebagainya. Modernisasi yang terdapat pada perkembangan teknologi dan informasi
inilah yang mempunyai pengaruh penting terhadap perkembangan budaya. Oleh
karena itu, era modenisasi tidak hanya berdampak positif pada perkembangan
masyarakat, melainkan juga berdampak negatif, yaitu mengenai kebudayaan pada
umumnya dan bahasa Jawa krama pada khususnya. Hal ini tentu saja sangat
berbahaya dalam usaha pelestarian dan pewarisan budaya, khususnya bahasa Jawa
krama. Bahasa Jawa krama sebagai ciri khas masyarakat Jawa merupakan simbol
identitas jati diri mereka.
|
Berdasarkan asumsi diatas, dapat dikatakan bahwa alasan perlunya menjaga
eksistensi bahasa Jawa krama adalah agar eksistensi bahasa jawa krama itu
sendiri dapat bertahan di era modernisasi saat ini. Misalnya mengapa bahasa
Jawa krama yang sering digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum
dikenal akrab maupun berbicara dengan orang yang umurnya lebih tinggi harus
dilaksanakan dan dipertahankan?. Hal ini dikarenakan agar persepsi orang
terhadap masyarakat Jawa yang terkenal “lemah lembut”, “halus”, dan penuh
dengan sopan santun tidak akan luntur. Jika bahasa jawa krama sudah mulai
jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dikhawatirkan persepsi orang
mengenai ciri khas kepribadian masyarakat Jawa itu semakin lama akan hilang.
D.
Peranan Keraton Yogyakarta dalam Menjaga Eksistensi Bahasa
Jawa Krama
|
|
|
|
Penjelasan mengenai peranan keraton Yogyakarta dalam menjaga eksistensi
bahasa Jawa krama dapat dlihat dari bagan dibawah ini:
Era modernitas
memunculkan suatu kebudayaan popular atau yang disebut dengan Pop Culture,
dimana pop culture mempengaruhi dan bahkan memaksa individu atau kelompok
masyarakat menggunakan bahasa gaul atau bahasa Indonesia yang tidak sesuai
dengan aturan bahasa Indonesia yang
telah ditetapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan penggunaan bahasa asing
melalui semua media yang ditawarkan. Pop culture itu sendiri adalah sebuah
kebudayaan yang dianut atau dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan atas
kepopuleran yang saat ini sedang berkembang. Baik itu dalam hal life style,
gaya hidup, pakaian, model rambut, tutur kata dan lain sebagainya. Kebanyakan
yang mendapat pengaruh daripada pop culture atau budaya pop adalah generasi
muda. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan eksistensi bahasa Jawa krama yang
notabene merupakan bahasa asli masyarakat Jawa dan merupakan warisan kebudayaan
Jawa terancam eksistensinya. Dari kondisi yang sedemikian rupa ini keraton
memiliki posisi yang sentral dalam menjaga eksistensi bahasa krama karena dalam
lingkungan keraton Jogyakarta penggunaan
bahasa krama bersifat intensif dan berbagai aktivitas atau bahkan ritual yang
menggunakan bahasa Jawa krama.
|
Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan Jawa Islam,
disamping mengagungkan Islam, juga masih mengagungkan tradisi kejawen, keduanya
merupakan aspek religius Keraton. Aspek religius keraton merupakan penggabungan
dari keduanya yang telah ada dan dijalankan secara tumpang tindih, tidak
terpisahkan dengan yang lain (Said Agil, 2001). Dalam tradisi kejawen yang
dilakukan oleh keraton tersebut, terdapat nilai-nilai dan makna-makna sosial
budaya yang dikandungnya. Dan dalam pelaksanaan tradisi tersebut, masih tetap
menggunakan bahasa Jawa krama. Dengan demikian, secara tidak langsung keraton
Yogyakarta mempunyai peranan sebagai media pewarisan kebudayaan dan berfungsi
dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa krama.
Keraton Yogyakarta terbuka bagi semua orang. Keterbukaan bagi semua itu
bertujuan untuk mengembangkan seni dan budaya. Budaya keraton disebut dengan adiluhung,
artinya pembinaan pelestarian dan pengembangan tidak secara eksklusif karya
busana tradisional yang sudah mapan dipertahankan keasliannya, tetapi karena
karya-karya itu telah diakui secara luas sebagai khazanah budaya yang khas
Yogyakarta, yang disebut sebagai gaya mataram (Said Agil, 2001).
Oleh karena
itu, perlu ditekankan lagi bahwa di era modernisasi sekarang ini kondisi bahasa
Jawa krama terancam eksistensinya. Hal ini terlihat jelas dengan adanya
pemakaian bahasa Jawa krama yang semakin sedikit dan masyarakat Jawa itu
sendiri lebih cenderung untuk memakai bahasa gaul atau bahasa Indonesia yang
tidak baku yang disertai bahasa asing.
Melihat kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Seperti diketahui bahasa krama
merupakan bahasa asli negeri ini dan merupakan warisan budaya yang harus
dilestarikan keberadaannya. Apabila hal ini tidak memperoleh perhatian secara
khusus dari berbagai pihak, maka kemungkinan besar bahasa Jawa krama akan punah. Selama ini image
yang melekat pada masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kesopanan dan keramahtamahan, salah satunya diwujudkan dalam
pemakaian bahasa jawa krama yang identik dengan kehalusan. Semakin sedikitnya
pemakai bahasa jawa krama berdampak pada semakin pudarnya image
tersebut.
Dalam konteks
yang sedemikian rupa ini, keraton Yogyakarta memiliki kedudukan yang strategis
dalam menjaga eksistensi bahasa Jawa krama. Aktivitas-aktivitas yang ada dalam
keraton Jogyakarta ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
eksistensi bahasa Jawa krama. Adapun aktivitas yang dimaksud adalah
ritual-ritual yang masih memakai bahasa Jawa krama dalam pelaksanaanya antara
lain pisowanan, sungkeman, pagelaran wayang dan lain-lain. Namun, selama ini
peranan tersebut tidak begitu disadari oleh masyarakat Jawa. Dengan demikian
jelas bahwa keraton Jogyakarta memiliki peranan dalam menjaga eksistensi bahasa
Jawa krama yang semakin terancam keberadaaanya.
oleh: Muntohar, Nur Rokhman, Arlinda Chikmata Sari
DAFTAR PUSTAKA
Agil, Said Husein Dkk.2001.
Khasanah Budaya Keraton Yogyakarta Di. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga
bekerja sama dengan YKII.
Djoyomartono, Mulyono.1991. Perubahan
Kebudayaan Dan Masyarakat Dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press
Heppell, Daniel Justin. 2004.
Penyebab dan Akibat Perubahan Kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam www.tembi.org/keraton_yogja/keraton_yogya.htm (diunduh pada tanggal 22 Maret
2007)
Herusatoto.2003. Simbolisme
Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Ihromi, TO. 2004. Bunga
Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Khairuddin. 2002. Sosiologi
Keluarga. Yogyakarta: Liberty.
Koentjaraningrat.
2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
_____________.2002.
Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan . Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Liliweri,
Alo.2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Poerwanto,
Hari. 2005. Kebudayaan dsan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi.
Jogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Sairin,
Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: perspektif antropologi. Yogyakarta: pustaka pelajar ofsett.
Soekanto,
Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sujarwa.
2005. Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Sudaryanto.1992.
Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Uhlenbeck.
E.N.1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta : Semarang Press.