Perlu
dipahami bahwa lahirnya teori sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial
penciptanya pada saat itu, sehingga untuk menyebut suatu teori tertentu pasti
tidak bisa lepas dari nama tokoh penciptanya.
Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi
Tahun-Tahun Awal) oleh munculnya aliran Sosiologi
Perancis dengan tokoh-tokoh: Saint-Simon, Auguste Comte, dan Emile
Durkheim. Sosiologi Jerman dengan tokoh-tokoh: Karl Marx, Max Weber, dan
Georg Simmel. Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer.
Serta Sosiologi Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto.
a. Auguste Comte: Sosiologi Positivis
Auguste
Comte (1798-1857) sangat prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat
saat berlangsungnya Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan
pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial untuk
menandingi pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan destruktif. Positivisme
mengklaim telah membangun teori-teori ilmiah tentang masyarakat melalui
pengamatan dan percobaan untuk kemudian mendemonstrasikan hukum-hukum
perkembangan sosial. Aliran positivis percaya akan kesatuan metode ilmiah akan
mampu mengukur secara objektif mengenai struktur sosial.
Sebagai
usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga disebutnya sebagai
sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu alam agar
motivasi manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya fisika atau
kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu dominan yang mempelajari statika
sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial).
Comte
percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa pada
kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang
Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat
berkembang secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap
kekuatan dewa), melalui tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak),
hingga tahap positivistik (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan
evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya organisme,
berkembang dari sederhana menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi
diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan
sosial.
b. Emile Durkheim: Sosiologi Struktural
Untuk
menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917) berbicara mengenai kesadaran
kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu
masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society (1893).
Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang
membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu
berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam
ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang
kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki
Solidaritas Mekanik. Sedangkan pada masyarakat yang kompleks/modern,
kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat oleh pembagian
kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki Solidaritas
Organik .
Selanjutnya
dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method (1895),
Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial, yaitu
fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol individu untuk berpikir dan
bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti struktur-struktur tertentu dalam
masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat mengontrol tindakan individu dan
dapat dipelajari secara objektif, seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial
terbagi menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial
(kultur dan lembaga sosial).
Dua
tahun kemudian melalui Suicide (1897), Durkheim berusaha membuktikan
bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab sosial (fakta sosial) dengan pola-pola
bunuh diri. Dalam karya itu disimpulkan ada 4 macam tipe bunuh diri, yakni
bunuh diri egoistik (masalah pribadi), altruistik (untuk
kelompok), anomik (ketiadaan kelompok/norma), dan fatalistik
(akibat tekanan kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim berpendapat bahwa
faktor derajat keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial)
sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.
Melalui
karya-karyanya, Durkheim selalu berpijak pada fungsi kolektif sebagai bentuk
aktivitas sosial, fakta sosial, dan kesatuan moral. Durkheim mewakili kutub struktural
dari perdebatan “struktural” versus “tindakan sosial” atau perdebatan
“konsensus” versus “konflik” yang berlangsung sepanjang sejarah sosiologi.
c. Karl Marx: Sosiologi Marxis
Karl
Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme historis percaya bahwa
penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas. Marx memandang bahwa
kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat.
Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi (kaum borjuis/kapitalis)
senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang dieksploitasi (kaum
proletar).
Menurut
Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah
sejarah konflik kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak
yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik dan hamba
sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan di zaman modern ini juga
ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga
kerja untuk dijual kepada majikan. Di samping itu juga ada masyarakat kelas
kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak berpunya (the haves not).
Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari
kehidupan ekonomi masyarakat
Proposisi
utama Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah bentuk organisasi sosial yang
didasarkan pada eksploitasi buruh oleh para pemilik modal. Kelas borjuis
kapitalis mengambil keuntungan dari para pekerja dan kaum proletar. Mereka
secara agresif mengembangkan dan membangun teknologi produksi. Dengan demikian
kapitalisme menciptakan sebuah sistem yang mendunia.
Sosiologi
Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi
komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan
merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua
bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah
sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat
keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan.
Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur
(kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan
Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan sosial yang telah
terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut (Osborne, 1996:
50):
1) Semua masyarakat dibangun atas dasar
konflik.
2) Penggerak dasar semua perubahan sosial
adalah ekonomi.
3) Masyarakat harus dilihat sebagai
totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah faktor dominan.
4) Perubahan dan perkembangan sejarah
tidaklah acak, tetapi dapat dilihat dari hubungan manusia dengan organisasi
ekonomi.
5) Individu dibentuk oleh masyarakat,
tetapi dapat mengubah masyarakat melalui tindakan rasional yang didasarkan atas
premis-premis ilmiah (materialisme historis).
6) Bekerja dalam masyarakat kapitalis
mengakibatkan keterasingan (alienasi).
7) Dengan berdiri di luar masyarakat,
melalui kritik, manusia dapat memahami dan mengubah posisi sejarah mereka.
Melalui kritik ilmiah
dan aksi revolusioner, masyarakat dapat dibangun kembali.
Sosiologi
Marxis ini selanjutnya dikembangkan oleh tokoh-tokoh abad XX, seperti Gramsci,
Adorno, Althusser, dan Habermas.
d. Herbert Spencer: Sosiologi Evolusioner
Herbert
Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan
perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari
bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia
berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu
beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota
masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak
akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini
diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering
dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh
karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama
Darwinisme Sosial.
Melalui
teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan
para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-faire
dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual
kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang
bebas tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah,
dan ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan
sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme
Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.
e. Max Weber: Sosiologi Weber
Max
Weber (1864-1920) tidak sependapat dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi
merupakan kekuatan pokok perubahan sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan
dan Semangat Kapitalisme, Weber menyatakan bahwa kebangkitan
pandangan religius tertentu– dalam hal ini Protestanisme– yang membawa masyarakat
pada perkembangan kapitalisme. Kaum Protestan dengan tradisi Kalvinis
menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial merupakan tanda utama bahwa Tuhan
berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini, mereka menjalani kehidupan
yang hemat, menabung, dan menginvestasikan surplusnya agar mendapat modal lebih
banyak lagi.
Pandangan
lain yang disampaikan Weber adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat
mempengaruhi masyarakat secara luas. Inilah yang disebut sebagai memahami Tindakan
Sosial. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat,
ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini disebut verstehen
(pemahaman).
Weber
juga mengkaji tentang rasionalisasi. Menurut Weber, peradaban Barat
adalah semangat Barat yang rasional dalam sikap hidup. Rasional menjelma
menjadi operasional (berpikir sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi
adalah proses yang menjadikan setiap bagian kecil masyarakat terorganisir,
profesional, dan birokratif. Meski akhirnya Weber prihatin betapa intervensi
negara terhadap kehidupan warga kian hari kian besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik
sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang
memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi
yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik.
f. Georg Simmel: Filsafat Uang
Georg
Simmel (1858-1919) sangat terkenal karena karyanya yang spesifik tentang
tindakan dan interaksi individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe
orang berinteraksi, kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil
lainnya. Karya-karya Simmel ini nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi
di Amerika.
Karya
yang terkenal dari Simmel adalah tentang Filsafat Uang. Simmel sebagai
sosiolog cenderung bersikap menentang terhadap modernisasi dan sering disebut
bervisi pesimistik. Pandangannya sering disebut Pesimisme Budaya.
Menurut Simmel, modernisasi telah menciptakan manusia tanpa kualitas
karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri. Sebagai contoh, begitu
teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga
kerja secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin modern
teknologi, maka kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung malas.
Di
sisi lain, gejala monetisasi di berbagai faktor kehidupan telah membelenggu
masyarakat terutama dalam hal pembekuan kreativitas orang, bahkan mampu
mengubah kesadaran. Mengapa? Uang secara ideal memang alat pembayaraan, tetapi
karena kekuatannya, uang menjadi sarana pembebasan manusia atas manusia.
Artinya uang sudah tidak dipahami sebagai fungsi alat, tetapi sebagai tujuan.
Kekuatan kuantitatifnya telah mampu mengukur berbagai jarak sosial yang
membentang antar individu, seperti cinta, tanggung jawab, dan bahkan mampu
membebaskan atas kewajiban dan hukuman sosial. Barang siapa memiliki uang
dialah yang memiliki kekuatan.
g. Ferdinand
Tonnies: Klasifikasi Sosial
Ferdinand
Tonnies (1855-1936) mengkaji bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan sosial dan
organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial. Menurut Tonnies,
masyarakat itu bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban) atau gesselschaft
(asosiasi/ patembayan).
Masyarakat
gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial tertutup,
pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas hubungan
kekeluargaan dan kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan tipikal
masyarakat pra-industri atau masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat gesselschaft,
hubungan kekeluargaan telah memudar, hubungan sosial cenderung impersonal
dengan pembagian kerja yang rumit. Bentuk seperti ini terdapat pada masyarakat
industri atau masyarakat perkotaan. Tema dasar Tonnies adalah hilangnya
komunitas dan bangkitnya impersonalitas. Ini menjadi penting dalam
kajian tentang masyarakat perkotaan.
sumber :
http://pensa-sb.info/teori-sosiologi/
sumber :
http://pensa-sb.info/teori-sosiologi/