TERMINOLOGI
PERTALIAN KELUARGA
Bentuk
dasar sistem terminologi di Jawa adalah bilateral dan generasional, bersisi dua
dan turun-temurun. Setiap orang Jawa selalu berada diantara kakek-nenek,
ayah-ibu, kakak-adik, anak-anak dan cucu-cucu. Untuk saudara sepupu, ukuran
kesenioran bukan dilihat dari usia, melainkan dari posisi kesenioran keluarga
mereka didalam keluarga besar. Ada bentuk pembedaan antara keluarga “somah” dengan keluarga saudara yang
lain. Namun untuk menjaga agar hubungan sosial lebih lancar dan terhindar dari
perselisihan, hal tersebut sering dikesampingkan untuk para keluarga yang jauh
dari kawasan “somah”
Berdasarkan
sistem terminologi, jenis kelamin, usia komparatif, jabatan, cara hidup dan
terhadap orang yang tidak begitu dikenal, seseorang Jawa bisa mempunyai posisi
tinggi dihadapan seseorang, namun posisinya bisa lebih rendah terhadap
seseorang yang lainnya. Orang Jawa mempunyai dua tataran bahasa, yakni bahasa krama (hormat) dan (akrab). Bahasa krama digunakan untuk bertutur sapa
terhadap oang yang mempunyai kedudukan kasepuhan, bahasa ngoko digunakan untuk berbicara secara akrab. Pada umumnya,
berbahasa krama dianggap berat karena
mengandung ketegangan sosial dan bersifat kaku.
Istilah
sapaan kekeluargaan digunakan untuk menegur semua orang, baik yang keluarga
maupun yang bukan keluarga (kecuali pembantu atau orang yang lebih muda),
sebagai standar kesopanan masyarakat jawa. Konflik antarsistem-sistem penghormatan
memang biasa terjadi. Misalnya, anak laki-laki berusia 12 tahun biasanya akan
protes apabila harus memanggil kakeknya yang baru berusia 2 tahun dengan
istilah kekeluargaan yang semestinya. Selain itu, semakin jauh jarak pertalian
keluarga, semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik antara
standar-standar penghormatan, yang berdampak terhadap melunturnya
krteria-kriteria kekeluargaan.
KELUARGA
SEDARAH DAN KELUARGA PERBESANAN
Bagi
masyarakat Jawa, tidak ada konsep keluarga sedarah adalah sebagai satu
kesatuan. Tidak ada batasan penyebaran keluarga, tetapi ada pembedaan antara
saudara dekat dengan saudara jauh. Ketika ada hajatan keluarga diharapkan
memberikan bantuan berupa bahan makanan, uang atau tenaga. Keluarga mempunyai
kewajiban moral untuk memperhatikan saudara yang miskin dan memberikan
tumpangan kepada yang belum mampu hidup sendiri.
Keluarga
Jawa memperlakukan keluarga perbesanannya dengan hormat. Keluarga Jawa lebih
memilih hanya hidup bersama dengan saudara keluarga sedarah dan tidak dengan
saudara perbesanan karena menghindari munculnya perselisihan yang bisa terjadi
ketika mereka hidup bersama dengan saudara perbesanannya.
KOMPOSISI
RUMAH TANGGA
Perkawinan
di Jawa cenderung monogami, namun poligami dijinkan dan cenderung mengangkatkan
derajat seseorang. Pasangan pengantin baru di jawa biasanya tinggal bersama
keluarga perempuan sebelum pasangan tersebut mulai mapan. Pada umumnya sebuah
rumah tangga adalah sekelompok keluarga yang hidup dalam satu rumah. Terkadang,
sesaudara hidup dalam satu rumah, namun biaya hidupnya tersebut ditanggung
masing-masing.
Orang
dewasa yang tinggal bersama di rumah saudara biasanya adalah saudara terdekat
dari suami atau istri. Dalam sebuah rumah tangga yang didalamnya hidup bersama
sekelompok saudara sedarah, mereka cenderung hidup sebagai satu kesatuan. Namun
apabila didalamnya ada saudara perbesanan, biasanya suara mereka kurang bisa bulat.
Ada banyak alasan bagi orang jawa
untuk meminjam atau menitipkan anak kepada keluarga saudaranya, dan siapapun
wajib menyediakan tempat bernaung bagi anak saudaranya yang membutuhkan tempat
tinggal. Anak-anak dapat dipinjamkan dikalangan sesaudara. Akan tetapi,
anak-anak jawa masih tetap membedakan antara paman dan bibi dengan orang tuanya
sendiri. Lazimnya, orang tua pengasuh sementara anak adalah kakak dari ibu,
lalu berikutnya adalah kakek-nenek dari garis ibu.Orang Jawa mempunyai
kepercayaan bahwa mengangkat anak seperti halnya perkawinan bahwa yang mereka
lakukan tersebut akan membawa nasib baik atau buruk itu tergantung keserasian
magisnya,
Peminjaman anak berbeda dengan
pengangkatan anak. Pengangkatan anak oleh orang yang bukan saudara biasanya
cenderung formal, sebagai penglepasan hak-hak anak oleh orang tua anak yang
sebenarnya agar ada jaminan bahwa orang tua yang sebenarnya tidak akan muncul
lagi sampai kelak si anak dewasa. Namun, si anak tetap layak menerima warisan
dari orang tua sebenarnya karena si anak tidak punya hak waris atas orang tua
asuhnya.
Anak
Kualon (Tiri)
Orang jawa
menganggap bahwa keadaan sebagai tiri adalah serba sulit. Seorang ibu tiri
tidak boleh memperlihatkan penganakemasan terhadap anaknya sendiri karena
khawatir menyinggung perasaan suami dan anak tirinya. Apalagi, banyak pula
cerita rakyat jawa yang menceritakan tentang kekejaman ibu tiri. Akan lebih
mudah bila keadaannya adalah sebagai ayah tiri karena laki-laki jarang dirumah
dan perempuan akan selalu bersama anaknya. Status wanita selalu lebih dominan
di dalam keluarga karena laki-laki sering bersikap meanahan diri dan menghindari
antarsesamanya, factor gyak wasangka antara saudara perbesanan pada umumnya dan
posisi ekonomi wanita yang kuat.
PEMBAGIAN
HARTA PADA PERCRAIAN DAN KEMATIAN
Pembagian harta karena perceraian
dan kematian didasarkan pada pertimbangan jasa serta kebutuhan masing-masing
penerima harta. Tidak ada jaminan untuk adil sama rasa-sama rata, namun ada
proses penyesuaian dan pencarian kesepakatan bersama agar kerukunan keluarga
tetap terjaga.
Ketika terjadi perceraian, harta
pribadi tetap berada di tangan masing-masing. Kemudian untuk harta bersama yang
diperoleh selama menjadi suami-istri akan dibagi dengan perbandingan dua bagian
untuk suami dan satu bagian untuk istri. Jika harta sulit diidentifikasi
sebagai milik pribadi atau milik bersama, maka harta tersebut biasanya
dipercayakan kepada anak yang tinggal tidak bersama mereka setelah perceraian
terjadi.
Pembedaan harta seperti diatas
berlaku juga dalam penyelesaian hak waris kematian ketika pasangan belum
mempunyai anak. Harta pribadi milik si meninggal dikembalikan kepada orang tua
dan saudara-saudara terdekatnya. Sedangkan harta milik bersama dibagi 2:1, dan
bagian si meninggal diberikan kepada sanak saudaranya. Namun apabila mereka
mempunyai anak, semua harta warisan orang tua menjadi hak milik anak-anaknya.
Bahkan, seorang janda pun tidak berhak atas kekayaan suaminya. Tapi biasanya ia
diberi sebagian harta sebagai penunjang hidupnya, atau tinggal bersama anak
yang terkecil di rumah peninggalan suaminya yang nantinya akan menjadi hak
milik anak tersebut.
PERKAWINAN
Di Jawa, perkawinan merupakan
pertanda terbentuknya sebuah somah
baru yang akan memisahkan diri dan membentuk basis rumah tangga baru.
Perkawinan akan menyatukan dua rumah tangga menjadi keluarga perbesanan.
Kebanyakan pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak dalam segala
halnya, termasuk dalam memilihkan calon pengantinnya. Sering terjadi bahwa
pertemuan pertama antara suami-istri adalah saat upacara pernikahan mereka
sehingga tidak jarang pernikahan berujung kepada perceraian. Kemudian untuk
perkawinan kedua dan ketiga biasanya diselenggarakan dengan kurang formalitas
dan mempelai mulai mempunyai peranan yang lebih banyak dalam mempersiapkan
perkawinan tersebut.
Dalam pemilihan jodoh, faktor
terpenting yang harus diperhatikan adalah strata sosial, kemudian berikutnya
adalah wawasan keagamaan, baru setelah itu baru mempertimbangkan kesrasian
magis karena hubungan darah, perbandingan usia, dan sebagainya. Aturan magis
yang paling diperhatikan dalam pemilihan jodoh adalah hari-hari lahir kedua
calon pengantin sebagai petunjuk tentang watak masing-masing yang akan
berdampak kepada kecocokan perkawinan mereka. Saudara-saudara sepupu paralel
pada pihak ayah pantang untuk saling menikahi, karena laki-laki disana adalah
wali menurut garis keturunan langsung. Seorang adik hendaknya tidak menikah
sebelum kakak perempuannya menikah terlebih dahulu, atau mengadakan upacara “nglangkahi gunung” bila memang sudah
ingin cepat-cepat menikah.
Pola pinangan secara formal menurut kejawen adalah sebagai beriku; Pertama,
adanya penjajakan oleh seorang teman atau saudara si pemuda. Kedua, kunjungan
resmi si pemuda ayah atau sanak saudara yang lain ke rumah si gadis dengan
perjamuan yang serba basa-basi. Setelah tercapai kesepakatan untuk perkawinan,
pemuda memberikan bagi calon istrinya. Kemudian pada upacara pernikahannya
nanti pemuda tersebut memnerikan seserahan hadiah lagi diluar mas kawin.
Ada tiga upacara perkawinan yang
terpisah, tetapi tidak harus dilaksanakan semuanya. Yang tidak boleh ditawar adalah
pendafran perkawina ke kantor kecamatan (naib),
serta doa darinya untuk pengantin dan mempelai. Kedua adalah slametan (makan bersama secara
keagamaan) dirumah pengantin (perempuan). Ketiga, yang terpenting bagi orang
jawa adalah ketemuan. Jika tidak ada dana untuk melaksanakan upacara
besa-besaran atau mempelai pernah menikah, hal ini bisa ditiadakan. Mempelai
laki-laki diiringi teman-teman pemuda sebayanya berjalan kaki menuju rumah
perempuan. Secara simbolis, kedua mempelai bertukar tanaman berbunga dan
sebagainya, menghirup air dari sebuah gayung yang disodorkan ibu mempelai
perempuan, serta dibasuhnya kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sembari
menyatakan kehendak pengabdiannya. Keluarga laki-laki tidak punya peranan dalam
upacara perkawinan, tidak hadir pada upacara-upacara dan tidak memberikan
sumbangan apa-apa untuk pesta yang diselenggarakan.
Suami-istri muda yang kerap kali tidak saling
mengenal sebelum perkawinan cenderung mengalami ketegangan emosional pada
bulan-bulan pertama perkawinan. Hampir separuh perkawinan di jawa mengalami
percerceraian, dan kebanyakan terjadi pada perkawinan pertama. Suami
bertanggung jawab atas nafkah mantan istrinya selama masa terentu pasca
perceraian. Namun, suami bisa kembali lagi kepada istri sebelum berakhirnya
masa idah. Bila pun tidak rujuk
kembali dengan suaminya, seorang janda tidak sulit untuk mendapatkan suami lagi
karena beberapa faktor.
STRUKTUR
PERTALIAN KELUARGA JAWA
Sistem pertalian
keluarga jawa jelas bilateral, mutlak simetris terhadap sanak saudara paternal
dan maternal. Akan tetapi ada kecenderungan paternal di dalam pembagian harta
warisan maupun gono-gini dan pantangan
menikah dengan saudara paralel dari ayah karena hubungan wali garis keturunan
langsung.
Masyarakat jawa cenderung
menghindari konflik terbuka dengan mengurangi hubungan dengan sanak saudara
yang berkemungkinan bertentangan dengan menitikberatkan pada otonomi somah dan tidak ada kelompok-kelompok
keluarga yang diperluas. Terdapat jaringan ikatan yang kukuh antara wanita-wanita
sesaudara sebagai bentuk organisasi pertalian matrifolokal. Sistem terminologi pertalian keluarga jawa bersifat
turun-temurun (generasional). Suatu sistem yang secara struktural sederhana,
luwes dan mantap.