Bagi orang Jawa, mengadakan upacara tradisional adalah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, supaya eling marang purwa
daksina.Adat
istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketentraman
hidup lahir dan batin. Tradisi kebatinan orang jawa itu bersumber dari ajaran agama yang
diberi hiasan budaya daerah. Oleh karena itu, orientasi kehidupan rohani orang
jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun
temurun oleh nenek moyangnya. Disamping
itu, upacara tradisional dilakukan orang jawa dalam rangka memperoleh
solidaritas sosia,l lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Upacara
tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif yang tercermin dalam ungkapan
gotong royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional itu
memang dilaksanakan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual dengan
dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga
berkaiatan dengan lingkunngan hidup.
Peranan
upacara ( baik ritual maupun seremonial ) adalah untuk selalu mengingatkan
manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka.
Dengan adanya upacara-upacara, warga suatu masyarakat bukan hanya selalu diingatkan
tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak
yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata
yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena
upacara-upacara itu selalu dilakukan secra rutin. (menurut skala waktu
tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif dan yang nyata ada
menjadi kabur, dan upacar-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya
bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari jangkauan kenyataan. Tetapi
sebaliknya telah menjadi sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata. Dengan
demikian upacara (slametan,misalnya) dapat dilihat sebagai aspek keagaamaan,
yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah
bentuk menjadi serangkaian metefor dan simbol. Disamping itu, upacara dapat
juga dapat dilihat dalam perspektif sosiologi yang menekankan pada aspek
kelakuan, yaitu sebagai sesuatu adat atau kebiasaan yang dilakukan secara tetap
menurut waktu dan tempat tertentu dan untuk peristiwa atau keperluan tertentu.
Berdasarkan
hasil penelitan yang dilakukan oleh Harsja Bachtiar (1973) bahwa pada orang
jawa di Suriname (1976) ia memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya yang
dinamakan Agana Jawa bukanlah agama pemujaan leluhur. Tetapi berintikan pada
prinsip utama yang dinamakan sangkan
paraning dumedi (dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia di masa kini
dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya). Hakikat dari
tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam betuk upacara adalah untuk
mencapai tingkat selamat atau kesejahteraan, yaitu suatu keadaan ekuilibrium
unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah tertentu. Tindakan-tindakan
keagamaan ini berintikan pada azas saling menukar prestasi yang terwujudtuk
persembahan pemberian sesuatu (biasanya makanan,minuman,,bunga,menyan) ke
makhluk-makhluk halus tetentu dan sebagai imbalannya makhluk halus tersebut
akan memberi prestasi sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memberi
persembahan.
Dari
uraian diatas dapat kita lihat gambaran yang lebih jelas mengenai tradisi
slametan orang jawa yang kali ini akan difokuskan pada tradisi mitoni . Upacara peralihan tahap (rites of passage) orang
jawa menggambarkan sebuah busur, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak
teratur yang melingkungi keahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang
diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacara-upacara kematian
yang hening dan mencekam perasaan. Dalam keseluruhannya slametan menyediakan
kerangka; apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati, dan kompleksitas
simbolis khusus dari peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambugan
dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase
khusus yang dilewatinya.
Pada masa kehamilan, pada umumnya,
masyarakat jawa hanya melaksanakan upacara tradisi Ngaliman ( hamil lima bulan
) dan mitoni (hamil tujuh bulan). Upacara tradisi mitoni ini bertujuan menolak
bala dan mohon keselamatan bagi anak yang sedang dikandung dan sang ibu yang
sedang mengandung. Selain mitoni, tradisi ini juga disebut juga tingkeban.
Mitoni atau
selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7
bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun
kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari
Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa
atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya
ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa,
jatmika, rahayu).
Perlengkapan
upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut :
Golongan Bangsawan :
sajen : tumpeng robyong, tumpeng gundul, sekul asrep – asrepan, ayam hidup,
satu buah kelapa, lima macam bubur, dan jajan pasar. Kenduri : nasi majemukan,
tujuh pasang nasi, pecel ayam, sayur menir, ketan kolak, apem, nasi gurih,
ingkung, nasi punar, ketupat, rujak, dan dawet, emping ketan, air bunga dan
kelapa tabonan.
Golongan Rakyat Biasa :
Sajen : sego jangan, jajan pasar, jenang abang putih, jenang baro – baro,
emping ketan, tumpeng robyong, sego golong, sego liwet, dan bunga telon.
Kenduri : sego gurih, sego ambengan, jajan pasar, ketan kolak, apem, pisang
raja, sego jajanan, tujuh buah tumpeng, jenang, kembang boreh, dan kemenyan.
Tingkeban
Di
sekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan berbagai slametan kecil.
Slametan utama diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan (tingkeban
atau mitoni; yang diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak
pertama bagi si ibu, si ayah, atau keduanya), pada kelahiran bayi itu sendiri
(babaran atau brokohan), liam hari sesudah kelahiran (pasran), dam ketujuh
bulan setelah kelahiran (pitonan). Tingkeban mencerminkan perkenalan seorang
wanita jawa kepada kehidupan sebagai ibu. Karena ketidaktentuan yang relatif
tentang waktu konsepsi, maka tingkeban tidak diadakan pada hari tertentu sesuai
dengan mulainya kehamilan, tetapi selalu pada hari sabtu yang terdekat dengan
bulan kandungan yang ketujuh sepanjang hal itu bisa diperkirakan. Timgkeban
artinya tutup, sehingga tingkeban merupakan upacara penutup selama kehamilan
sampai bayi dilahirkan. Upacara ini dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh
bulan di waktu setelah maghrib dan di hadiri oleh si ibu, suami, keluarga,
dukun dan ulama. Terdapat makanan pantangan yaitu ikan gabus atau sungsang,
daging yang bersifat panas, belut, kepiting, buah durian dan maja. Upacara ini
terbagi menjadi dua : mitoni untuk calon ibu yang akan mempunya anak pertama
dengan tambahan siraman dan mitoni untuk anak kedua dan seterusnya hanya
dilakukan slametan kendhuri.
Para
petani yang kaya atau para pegawai pemerintah tingkat desa yang meraykan suatu
slametan mitoni untuk anak pertama, seringkali mengadakan pertunjukan wayang
kulit semalam suntuk. Cerita lakon yang dipertunjukan pada acara mitoni
biasanya mengenai kelahiran salah seorang Pandawa atau seorang raja atau tokoh
keramat dalam cerita wayang. Orang – orang di daerah Kebumen seperti juga
halnya orang – orang santri di daerah – daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa
Timur seringkali mengadakan pertunjukan perjanjen
yaitu nyanyian – nyanyian Islam, pada suatu perayaan tingkeban. Para keluarga
priyayi yang tinggal di kota – kota besar biasanya merayakan peristiwa semacam
itu dengan sederhana saja, bersama kerabat dekatnya.
Sejak
diadakan upacara mitoni, seorang calon ibu harus mematuhi berbagai syarat dan
pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang
sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan mantra – mantra. Kecuali itu seorang seorang
wanita hamil juga harus minum jamu setiap minggu dan air tajin setiap pagi.
Adapun larangan untuk makan berbagai makanan tertentu, seperti telur, ayam
muda, buah “kepel”, udang, ikan yang berpatil, dan buah – buahan yang letak
bijinya melintang, sebenarnya sudah dimulai sejak awal kehamilannya. Orang –
orang tua sering memberikan penjelasan yang berbeda – beda terhadap berbagai
pantangan makan itu yang semuanya mempunyai arti simbolik yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan berdasarkan asosiasi pikiran sederhana. Buah –
buahan dengan biji – biji yang tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi
letak yang salah dari si jabang bayi. Karena itu larangan untuk makan buah
semacam itu dapat menghindari kemungkinan terjadinya letak yang salah seperti
itu.
Kecuali
memperhatikan pantangan – pantangan tersebut diatas, seorang calon ayah dan ibu
juga harus berhati – hati dan tidak melakukan hal – hal seperti : membiarkan
sendok didalam tempat menyimpan garam, menutup lubang semut, menyakiti atau
membunuh binatang, duduk diatas lesung, dan sebagainya. Jika secara tidak
sengaja terjadi pelanggaran atas suatu pantangan maka calon ayah dan ibu
bersangkutan harus segera mengucapkan “ nyuwun sewu jabang bayi”, untuk
mengahapus kesalahannya.
Dalam
bulan kesimbilan dari kehamilan diadakan suatu slametan lagi yaitu slametan mumuli sedherek , untuk menghormati
“saudara- saudara kembar” anak yang belum lahir itu. Toya Kawah ( air ketuban) secara perlambang dianggap sebagai
sedherek sepuh ( saudara kandung yang lebih tua ), sedangkan ari – ari dianggap
sebagai sedherek enem ( adik ). Orang jawa menganggap keduanya itu memiliki
jiwa sendiri – sendiri yang kelak akan menjadi roh pelindung bagi bayi yang
lahir bersamanya. Selama beberapa minggu sebelum melahirkan, si calon ibu harus
minum jamu temulawak tiga kali sehari. Kembali ke tradisi sebelumnya, tingkeban
atau mitoni.
Tingkeban
diselenggarakan dirumah ibu si calon ibu, dan slametan yang khusus disiapkan
dengan unsur-unsur utama berikut ini:
·
Sepiring nasi untuk
setiap tamu dengan nasi putih diatas dan nasi kuning dibawahnya. Nasi putih
melambangkan kesucian, nasi kuning melambangkan cinta. Ini harus dihidangkan
diatas wadah dari daun pisang (takir) yang direkatkan dengan jarum baja agar
anak yang bakal lahir kuat dan tajam fikirannya.
·
Nasi dicampur dengan
kelapa parutan dan ayam irisan. Ini dimaksudkan untuk menhhormati nabi Muhammad
maupun untuk menjamin slamet bagi semua peserta dan anak yang bakal lahir.
·
Tujuh tumpeng kecil
nasi putih terutama melambangkan tujuh bulan kehamilan, tatapi seringkali
beberapa “hajat” lain ditambahkan, seperti untuk menghormati hari yang tujuh
dari satu minggu, langit yang berlapis tujuh dan semacamnya.
·
Delapan(kadang-kadang
sembilan) bola nasi putih yang dibentuk dengan genggaman tangan untuk
melambangkan delapan atau sembilan wali- penyebar Islam yang legendaris di
Indonesia dab khususnya untuk memuliakan Sunan Kalijaga yang paling terkenal
dan paling berkuasa dari semua Wali, yang biasanya dianggap penemu wayang ,slametan,
dan agama abangan pada umumnya.
·
Sebuah tumpeng nasi
yang besar, biasanya disebut tumpeng “kuat” karena ia dibuat dari beras ketan
yang maksudnya agar anak yang dalam kandungan itu kuat dan juga memuliakan
danyang desa itu.
·
Beberapa hasil tanaman
yang tumbuh dibawah tanah (seperti singking) dan bebarap buah yang tumbuh bergantung diatas, yang
pertama untuk melambangkan bumi sedang yang kemudian untuk melambangkan langit,
yang maasing-masing dianggap memiliki tujuh tingkatan.
·
Tiga jenis bubur :
putih, merah, (dibuat demikian dengan memberinya gula kelapa) dan suatu
campuran dari keduanya: yang putih diseputar bagian luar, sedang yang merah
ditengah piring. Bubur putih melambangkan “air” sang ibu, yang merah “air”
ayah, dan campuran keduanya (disebut bubur sengkala yang harfiah berarti bubur
malapetaka) dianggap sangat mujarap untuk mencegah masuknya makhluk halus jenis
apapun.
·
Rujak legi, suatu
ramuan yang sedap dari berbagai buah-buahan, cabe, bumbu-bumbu dan gula. Ini
sangat penting dalam hubungannya dengan tingkeban, dan yang paling khas:
kebanyakan antara lain terdapat dalam slametan-slametanlain, tetapi rujak hanya
terdapat disini. Konon, bila rujak itu terasa “pedas” atau “sedap” oleh si ibu,
ia akan melahirkan anak perempuan, sebaliknya kalau terasa biasa saja, ia akan
melahirkan anak laki-laki.
Dalam ujub ( sambutan pembukaan) ada
seorang tua sekitar umur tujuh puluhan, mempersembahkan hidangan dan maksud
baik kepada Nabi Adam dan Hawa, Nabi Muhammad, isterinya, anak-anaknya,
sahabat-sahabatnya, kepada danyang desa dan anak-anaknya yang menjaga keempat
pojok desa; kepada kedua roh kembar yang menjaga orang yang terlibat dalam
upacara itu yang berasal dari bekas tali pusarnya dan air ketuban ibunya.
Dalam tingkeban, sebagaimana dalam
semua slametan, disamping hidangan, sajian gabungan baik kepada roh-roh maupun
kepada para tetangga , ada lagi sajian khusus untuk makhluk halus secara
keseluruhan yakni sajen. Dengan komposisi yang kurang lebih selalu tetap, sajen
senantiasa muncul dalam semua upacara orang jawa dan seringkali diadakan khusus
sekalipun tidak ada upacara. Contoh kasus tingkeban yang ada di Mojokuto sajen
yang ada berupa satu sisir rambut kecil, sebungkus peniti, sepotong kemenyan
kecil, satu campuran buah pinang, sedikit nasi, sebutir telur dan masih banyak
lagi. Semuanya ditaruh dalam keranjang daun pisang yang besar yang diberi garis
dengan buah pisang dan diletakkan pada satu sisi tempat para undangan duduk.
Bila bagian slametan dari tingkeban itu sudah selesai, sajen itu diberikan kepada
dukun bayi yang memimpin upacara berikutnya dan yang biasanya membantu
kelahiran nanti. Namun sekarang ini, dukun bayi yang melakukan upacara
tingkeban tidak selalu menjadi bidan dalam kelahiran,dan bahkan orang yang
kemudian melahirkan anaknya di rumah sakit kadang-kadang mengadakan upacara
tingkeban bersama seorang dukun bayi. Pada upacara tingkeban mungkin dukun
manten yang tadinya meresmikan pernikahan pasangan itulah yang mengetuai
upacara dan bukan si calon dukun bayi. Ketika sambutan pembukaan selesai, donga
(do’a dari bahasa arab) telah dibacakan, hidangan telah dicicipi dan dibungkus
untuk dibawa pulang, maka upacara untuk tingkeban yang sebenarnya pun mulailah.
Satu bak air yang ditaburi daun-daun bunga disiapkan; air itu secara teoritis
diambil dari tujuh mata air. Konon dalam air mandi serupa itulah para dewa-dewi
itu mandi dan karena pasangan itu sementara dianggap suci, dan segayung demi
segayung air ini disiramkan kepada mereka oleh sang dukun,yang mengucapkan
mantera (japa).
Seutas benang tenun Jawa kemudian
diambil dari sajen, lalu si wanita itu mengikatkannya dengan longgar
dipinggangnya. Si lelaki mengambil mengambil keris jawa, mengangkatnya
tinggi-tinggi di atasnya kepalanya untuk menghormatinya, dan kemudian memotong
benang itu dari bawah ke atas di sebelah dalam agar terpotong menuju arah
dirinya. Keris itu kemudian disarungkan. Dalam suatu tingkeban keris yang
digunakan itu dari pihak istri, dan keris itu tidak pernah digunakan selain
untuk tingkeban. Sementara si suami melakukan tugas ini sang dukun mengucapkan
sebuah japa lainnya. Kemudian kumparan untuk menenun
dijatuhkan oleh dukun kedalam sarung wanita itu. Ia ditangkap dibawah oleh ibu
si suami dengan sebuah selendang, yang lalu menggendongnya seolah-olah benda
itu benar-benar seorang anak. Ibu sang suami akan berkelakar, berbicara kepada
kumparan yang di timang-timang itu, katanya : “ Oh cucuku laki-laki” ,
sedangkan ibu si istri akan mengatakan : “Oh cucuku perempuan”. Dua buah kelapa
muda yang dilukisi dengan Janaka dan Sumbadra, tokoh pewayangan dan isterinya,
yang oleh orang jawa dianggap manusia paling cantik dan paling tampan,
diletakkan didepan sang suami. Ia membelah tiap-tiap buah itu, dengan golok
besar sekali pukul. Kalau kedua-duanya terbelah, itu berarti kelahirannya nanti
sangat lancar, tidak ada kesulitan sama-sekali. Kalau hanya satu yang terbelah,
maka yang tidak terbelah menunjukkan jenis kelamin yang bayi (kalau Janaka yang
tidak terbelah, bayi itu laki-laki dan seterusnya). Kalau tak satupun yang
terbelah, maka kelahirannya akan sulit dan mungkin tidak selamat sama sekali.
Berbagai gerakkan isyarat lainnya seperti menjatuhkan telur lewat sarung sang
istri, melemparkan kendi keluar pintu(yang kedua-duanya pecah) dan sebagainya,
sering dilakukan juga untuk melambangkan kelahiran yang mudah. Sekarang si wanita melakukan pekerjaan
rutin ganti pakaian. Dikenakannya kain sehelai demi sehelai, menarik kain yang
dipakai sebelumnyadari bawah. Setiap kali melakukan itu mereka yang berkerumun
berteriak-teriak di tengah- tengah keriuhan, “ Oh,itu tidak pantas” sampai
perempuan itu mengenakan sarung yang ketujuh dan terakhir, yang disebut toh watu . Sebuah toh watu, tepatnya
berarti suatu tanda pada sebuah batu yang tak bisa dihapus. Sarung toh watu
adalah jenis khusus yang dibuat dari katun tebal yang tak akan luntur dan
dengan demikian melambangkan hubungan yang abadi antara ibu dan anak sepanjang hayat,
ketakterpisahan mereka selama hidup. Kemanjuran sarung ibu untuk menyadarkan
seseorang yang lagi pingsan telah dikisahkan sebelumnya, tetapi pelambangan
hubungan anak-ibu dalam pakaian ibu adalah lebih umum lagi.
Upacara tingkeban akhirnya ditutup dengan
penjualan rujak legi oleh sang istri, dibantu oleh suaminya, kepada semua yang
hadir yang membayarnya dengan sbuah mata uang. Dan uang yang terkumpul tadi
konon digunakan oleh sang ibu untuk membeli obat si bayi. Melahirkan anak tanpa
suatu tingkeban dikatakan sebagai ngebokne si anak, menjadikan anak seperti
kerbau. Mengatakan ini terhadap anak seseorangmerupakan penghinaan berat, sebab
ini berarti orang tua itu sebagai binatang, yang tak tahu “aturan manusia”.
Asekalipun demikian, kadang-kadang jika seoramg wanita telah tiga atau empat
kali mengalami keguguran kandungan atau anaknya mati waktu melahirkan, suaminya
bisa mengucapkan sumpah, “yen kowe meteng meneh tak kebokne” (kalau kamu hamil
lagi, saya akan mengerbaukan anak itu), dan bahwa ia tak akan lagi mengadakan
tingkeban atau berbagai slametan kelahiran lainnya. Ii merupak hal yang berat
untuk dilakukan karena tidak saja hal itu membuat orang tak lagi terlindung
terhadap gangguan makhluk-makhluk halus, tetapi juga menyebabkan dia jadi
sasaran kritik di kemudia hari kalau anak itu ternyata keras kepala seperti
yang lazim terjadi dalam kasus demikian.
Hal Lain Tentang “
Mitoni”
Asal –Usul Mitoni
Ritual mitoni atau tingkeban telah ada sejak zaman kuno. Menurut
peneuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal-usulnya sebagai berikut
: Sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Setingkeb, pernah punya anak
sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur panjang. Mereka telah
meminta bantuan banyak orang pintar, dukun tetapi belum juga berhasil. Karena
sudah tidak tahan lagi menghadapi derita berat dan panjang, kedua suami istri
itu memberanikan diri memohon pertolongan dari Jayabaya, sang ratu yang terkenal
sakti dan bijak. Raja baya yang bijak dan yang sangat dekat dengan rakyatnya,
dengan senang hati memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita.
Kedua suami istri, dinasehati supaya
melaukan ritual, caranya : Sebagai syarat pokok, mereka harus rajin menyembah
kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong danwelas asih kepada
sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan. Mereka harus mensucikan
diri, menyembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari
tujuh sumber. Kemudian berpasrah diri lahir dan batin. Sesudah itu memohon
kepada Gusti, Tuhan, apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan
dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk
penguat do’a dan penolak balak, supaya mendapat berkah Tuhan. Rupaya Tuhan
memperkenankan permohonan mereka, Ki Sedya dan Niken Satingeb mendapatkan
momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingeb,
upacara mitoni juga disebut Tingkeban.
PERSYARATAN :
1. Bubur 7
macam :
Kombinasi 7
macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih, (4)
putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah disilang putih, (7)
baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih
dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan
sekeluarga.
Bahan:Bubur putih
gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa); Bubur
ditaruh di piring kecil-kecil;
2.
Gudangan Mateng (sayurnya
direbus) :
Bahan :
Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang panjang
jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran direbus.
Bumbu
gudangannya pedas.
3.
Nasi Megono : Nasi
dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4.
Jajan Pasar : Biasanya
berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5.
Rujak : Bumbunya
pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6.
Ampyang :Ampyang
kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7
macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7.
Aneka Ragam Kolo : Kolo
kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo
merambat (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela,
pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis
kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja. Misalnya kolo
kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah. Jika kesulitn mencari
kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ; yakni cangelo; kacang
tanah + ketela (ubi jalar).
8.
Ketan : Dikukus
lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah,
hijau, coklat, kuning.
9.
Tumpeng nasi putih: kira-kira
cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang.
10. Telur : telur
ayam 7 butir.
11. Pisang : pisang
raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12. Tumpeng
tujuh macam warna: Tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang
berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai.
Sesaji
Sesaji sangat penting didalam
upacara tradisional. Sebenarnya maksud dan tujuan sesaji adalah seperti sebuah
do’a. Kalau doa diucapkan dengan kata-kata, sedangkan sesaji diungkapkan
melalui sesaji yang berupa berbagai bunga, dedaunan, dan hasil bumi yang lain.
Tujuan sesaji adalah mengagungkan asma Gusti., Tuhan dan merupakan permohonan
tulus kepada Gusti supaya memberikan berkah dan perlindungan. Mengingat dan
menghormati pinisepuh, supaya mendapat tempat tentram dialam keabadian.
TATA CARA
Ø Tumpeng
ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng
dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak
ngglimpang. Sisa potongan daun pisang diletakkan di antara cobek dan pantat
kalo.
Ø Sayur 7
macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu gudangannya
melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung atau ayam
petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi
tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate
yang berisi ; cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah
besar, tancapkan vertikal. (urutan ini dari bawah ke atas; lihat gambar).
Ø
Tusuk satenya dari bambu, posisi
berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari bawah; cabe merah besar posisi
horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang merah lagi, paling
atas cabe merah besar posisi vertikal.
Ø Pisang,
jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah
tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.
Ø Tambirnya
juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir
pantatnya sedikit agak cembung.
Ø Tumpeng
tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh
diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.
Ø Setelah ubo
rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata
cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran
Jawa.
Ø Berikut ini contoh
doa menurut tradisi Jawa: Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu): “Niat
ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka
kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong
tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen
wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.
Ø Apabila
orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam
atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling
anda ingin membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila
yang dibaca surat Yusuf, biasanya jabang bayi lahir laki-laki.
Ø Dalam
tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika
bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen
(kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.
Ø Rangkaian
acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu:
·
Siraman, memasukkan telor ayam
kampung di dalam kain calon ibu dilakukan oleh calon bapak, ganti baju tujuh
kali, brojolan (memasukkan kelapa gading muda), memutus benang lawe
atau lilitan benang (atau janur), memecah wajan dan gayung, mencuri
telor dan terakhir kendhuri.
·
Sehelai tikar tua dan
dedaunan untuk siraman
·
Seekor ayam jago yang
sehat, hidup, melambangkan keluarga akan hidup baik ditengah masyarakat.
·
Tujuh macam nasi
tumpeng, antara lain :
a. Tumpeng
Megana ( dengan sayuran mengelilingi nasi), artinya menumbuhkan kehidupan.
b. Tumpeng
Robyong, melambangkan keselamatan dan dicintai semua orang.
c. Tumpeng
urubung damar, sinar lampu, sinar kehidupan yang berguna dan berwibawa.
d. Tumpeng
gundul
Ø Tujuh
macam sambal, artinya hidup menjadi semangat, aktif, dan kreatif.
Ø Sambal
rujak, supaya segar, cerah hidupnya.
Ø Dlingo-blenge,
untuk menghindarkan pengaruh roh-roh jahat.
Ø Kue-kue
manis terbuat dari kacang, artinya hidup ini manis.
Ø Lauk
pauk dari sayuran, artinya anak-anak menjadi sehat.
Ø Tujuh
buah ketupat diisi abon, artinya sudah ada jalan buat keluarnya bayi, tinggal
tunggu saatnya.
Ø Telur
kura-kura ditaruh diatas tumpeng.
Ø Panganan
srabi dan klepon
Ø Telur
ura-kura ditaruh diatas tumpeng megana. Kura-kura itu kuat dan peka instinknya.
Ø Bubur
merah putih, berarti selalu ingat dan hormat kepada orangtua dan pinisepuh.
Ø Berbagai
macam buah-buahan untuk kesehatan dan kebugaran.
Ø Berbagai
macam nasi seperti nasi gurih, nasi punar, nasi kebuli, dll.
Ø Boneka
laki-laki dan boneka perempuan. Maksudnya yang lahir pria atau wanita sama
saja.
Ø Gayung
yang dibuat dari kelapa. Kelapa utuh dipecah menjadi dua, dibawahnya diberi
lubang. Sisi atas dipasangi tangkai untuk pegangan. Maksudnya supaya bisa
berguna seperti pohon kelapa yang semua bagiannya bermanfaat baik buahnya,
daunnya, lidinya, batangnya, dsb.
Jualan Rujak dan
Dawet
Keseluruhan upacara siraman, diakhiri oleh
kedua calon orang tua yang berbahagia dengan berjualan rujak dan dawet. Alat
pembayarannya adalah kreweng, pecahan genteng. Rujak menggambarkan kehidupan
yang antusias. Dawet yang dijual namanya Dawet Plencing. Dawet itu minuman
sehat, plencing artinya pergi tanpa pamit. Jadi, dawet plencing melambangkan
kehidupan yang sehat dan selamat.
Setu Wage
Hari pelaksanaan siraman biasanya
diadakan pada hari Setu Wage, Sabtu wage. Makna singkatan dari Setu Wage adalah
Tu artinya metu, keluar dan Ge artinya gage, cepat-cepat. Jadi maksudnya, pada
waktu kelahiran bayi, si bayi supaya cepat keluar, sehat, dan selamat.
Ritual Untuk
Tujuh Bulan Kehamilan
Ketika wanita hamil untu pertama
kalinya, pada bulan ketujuh kehamilannya diadakan ritual mitoni. Mitoni berasal
dari kati pitu yaitu tujuh. Ritual mitoni diadakan dengan maksud untuk memohon berkah
Tuhan, untuk keselamatan calon orang tua dan anaknya. Bayi lahir pada masanya
dengan sehat, selamat, demikian ibunya melahirkan dengan lancar, sehat, dan
selamat. Selanjutnya diharapka seluruh keluarga hidup bahagia. Hal- hal penting
pada upacara mitoni adalah :
v Siraman
( pemandian calon ibu)
v Pendandanan
calon ibu
v Angreman
Tempat, berbagai baraang atau
ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah tersedia lengkap. Biasanya, pelaksanaan
siraman diadakan di kamar mandi atau di tempat khusus yang dibuat siraman, di
halaman belakang, atau samping rumah. Siraman dari kata siram artinya mandi.
Pada saat mitoni adalah pemandian untuk sesuci lahir batin bagi seorang calon
ibu atau orang tua beserta bayi dalam kandungan. Yang baku, di tempat siraman
ada bak atau tempat air yang telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air
yang dicampur dengan bunga siraman, yang terdiri dari melati, mawar, kenanga
dan kantil. Di pagi hari atau sore hari yang cerah, ada terdengar alunan suara
gamelan yang semarak, mengiringi pelaksanaan siraman. Di depan tempat siraman
yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek, dan ibu – ibu yang ikut
memandikan. Mereka semua berpakain tradisional Jawa, bagus, dan rapi. Tentu
saja disaksikan oleh para undangan yang hadir untuk menyaksikan dan memberi
restu kepada calon ibu. Calon ibu dengan berpakaian kain putih yang praktis,
tanpa mengenakan asesoris seperti gelang, kalung, subang, dsb datang ke tempat
siraman dengan diiringi oleh beberapa ibu. Dia langsung didudukan diatas sebuah
kursi yang dialasi dan dihias dengan sebuah tikar tua, maksudnya orang wajib
bekerja sesuai kemampuannya dan dedaunan seperti : opok – opok, alang – alang,
oro – oro, dadap sreb, awar – awar yang melambangkan keselamatandan daun kluwih
sebagai perlambang kehidupan yang makmur.
Orang pertama yang mendapat kehormatan
untuk memandikan adalah calon kakek, kemudian calon nenek, dan disusul oleh
beberapa ibu yang sudah punya cucu. Sesuai kebiasaan, jumlah yang memandiakan
adalah tujuh orang. Diambil perlambang positifnya, yaitu tujuh, bahasa jawanya
pitu, supaya memberi pitulungan, pertolongan. Sesudah selesai dimandikan dengan
di guyur air suci, terakhir di kucuri dengan air suci dari sebuah kendi sampai
airnya habis. Kendi yang kosong dibanting ketanah. Dilihat bagaimana pecahnya. Kalau
paruh atau corot kendi tidak pecah, hadirin ramai – ramai berteriak : Lanang!
Artinya bayi yang akan lahir laki – laki. Apabila pecah, yang akan lahir wadon,
perempuan. Perlu diketahui bahwa suasana selama pelaksanaan siraman adalah
sakral tetapi riang. Pada masa kini, upacar siraman di pandu oleh seorang ibu
yang profesional dalam bidangnya, disertai seorang MC sehingga upacara berjalan
runut, lancar, dan bagus.
Peluncuran
Teropong
Ada kalanya, sesudah selesai pecah
kendi, sebuah teropong, alat tenun dari kayu diluncurkan kedalam kain tekstil
yang mempunya tujuh warna. Ini perlambang kelahiran bayi dengan lancar dan
selamat.
Siraman
Gaya Mataram
Siraman gaya mataram atau
jogjakarta kuno, sekarang boleh dibilang tidak dilakukan lagi. Pada siraman tsb
yang dimandikan tidak hanya calon ibu tapi juga calon ayah, secara bebarengan.
Pendandanan
Calon Ibu
Di sebuah ruangan yang telah
disiapkan untuk upacara pendandanan, beberapa ibu dengan disaksikan beberapa
hadirin, mendandani calon ibu denga beberapa motif kain batik dan lurik. Ada
enam motif kain batik, antara lain motif ksatrian, melambangkan sikap satria, wahyu tumurun yaitu wahyu yang
menurunkan kehidupan mulia, sidomukti
, maksudnya hidup makmur, sidoluhur ,
berbudi luhur, dsb.
Satu persatu kain batik itu
dikenakan, tetapi tidak ada yang sreg, sesuai. Lalu yang ketujuh dikenakan kain
lurik bermotif lasem , dengan semangat para hadirin berseru : Ya, ini cocok !
Lurik adalah bahan yang sederhana tetapi kuat, motif lasem mewujudkan perajutan
kasih yang bahagia, tahan lama. Begitulah perlambang positif dari upacara
pedandanan. Lurik yang dikenakan calon ibu tsb diikat dengan tali yang terdiri
dari benabg dan anyaman daun kelapa. Tali itu dipotong oleh calon ayah dengan
menggunakan sebilah keris yang ujungnya ditutup kunyit. Ini perlambang bahwa
semua kesulitan yang dihadapi keluarga, akan diatasi oleh sang ayah. Sesudah
memotong tali, sang ayah mengambil tiga langkah kebelakang, membalikan badan
dan lari keluar. Ini melambangkan kelahiran yang lancar dan selamat, bagi bayi
dan ibu.
Brojolan
Dua buah kelapa gading diluncurkan
kedalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh diatas
tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat.Kedua
buah kelapa gading itu di ukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya,
sepasang dewa dewi yang cantuk, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh,
figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani
kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang
dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur, dan mapan
lahir batin.
Calon
ayah mengambil salah satu kelapa tersebut dan memecahnya, dengan menggunakan
golok. Kalau kelapa itu pecah jadi dua, hadirin berseru : Wadon, perempuan.
Kalau kelapa itu airnya menyembur keluar, hadirin berteriak riang : Lanang,
Lelaki!. Anak yang dilahirkan laki maupun putri, sama saja tetap akan diasuh,
dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Kelapa
yang satunya, yang masih utuh diambil lalu dengan di emban oleh calon nenek
ditaruh ditempat tidur calon orang tua.
Angreman
Angreman berasal dari
kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk diatas tumpukan kain
yang tadi dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu sampai bayinya lahir
dengan sehat dan selamat. Mereka mengambil beberapa macam makanan dari sesaji
dan ditaruh di sebuah cobek. Mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu
menggambarkan ari – ari bayi. Di pagi harinya, calon ayah memecah kelapa
tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau di pagi hari ada seorang
wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa tersebut harus
diberikan. Lalu, wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Ini melambangkan
bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri
sendiri, saling menolong dan welas asih haruslah diutamakan.
sumber :
Geertz,
Clifford. Abangan,Santri,Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Pustaka Jaya
.google.com
http:bukhari.com