Indonesia
terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar dari sabang sampai
merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut mempunyai tradisi-tradisi atau
kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda. Salah satu suku bangsa yang kaya akan
tradisinya adalah suku Jawa. Di Jawa
dalam setiap kegiatan selalu diadakan suatu upacara- upacara mulai dari anak
masih dalam kandungan, kelahiran, khitanan, perkawinan, sampai kematian.
Upacara tersebut dikenal dengan “ Slametan “. Meskipun jaman sekarang masuk era
kemajuan, namun tradisi-tradisi yang ada di masyarakat Jawa ini masih terus
dilestarikan, khususnya masyarakat yang ada di pedesaan. Dengan adanya
upacara-upacara, warga masyarakat khususnya di Jawa bukan hanya selalu di
ingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat
abstrak dalam kegiatan atau kehidupan mereka sehari-hari. Geertz menjelaskan
bahwa slametan tidak hanya diadakan
dengan maksud untuk memelihara soliaritas diantara para peserta upacara itu
saja, tetapi juga dalam rangka memelihara hubungan baik dengan arwah nenek
moyang.
Bukan
sekedar sebagai sebuah tradisi, slametan juga dilihat sebagai aspek keagamaan
yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama
berubah menjadi serangkaian metafor dan simbol. Disamping itu, upacara dapat
juga dilihat dalam perspektif sosiologi yang menekankan pada aspek kelakuan,
yaitu sebagai sesuatu adat atau kebiasaan yang dilakukan secara tetap menurut
waktu dan tempat tertentu, dan untuk peristiwa atau keperluan tertentu.
Masyarakat Jawa yang cenderung masih menggunakan tradisi atau upacara slametan
adalah dari golongan Abangan yakni golongan sosial yang tinggal di pedesaan,
dan biasanaya masih percaya pada hal-hal mistik. Upacara slametan yang
dilakukan masyarakat Jawa sekarang ini, tidak lain juga sebagai akibat dari
pengaruh agama hindhu yang pernah dianut masyarakat Jawa sebelum Islam masuk.
Diadakanya slametan di setiap kegiatan-kegiatan atau acara-acara yang diadakan orang
jawa, juga dikarenakan Agama Jawa berintikan pada prinsip utama yang
dinamakan sangkan paraning dumadi ( dari mana manusia berasal, apa dan siapa
dia pada masa kini, dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya ).
Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu konsep mengenai eksistensi dan tempat
manusia di alam semesta beserta isinya ; dan berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan lingkungan hidup.
Hakikat
dari tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam bentuk upacara adalah
untuk mencapai tingkat selamat atau kesejahteraan yaitu suatu keadaan
ekuilibriumunsur-unsur yang ada dalam isi sutu wadah tertentu.
Tindakan-tindakan keagamaan ini berintikan pada azas saling menukar prestasi,
yang terwujud dalam bentuk persembahan atau pemberian sesuatu ( biasanya
makanan, minuman, bunga, menyan,dll ) kepada makhluk-makhluk halus tertentu dan
sebagai imbalannya makhluk-makhluk halus tersebut akan memberikan prestasi
sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memberi persembahan. Dalam persembahan
pada waktu slametan, biasanya makanan
yang disajikan kepada makhluk-makhluk halus tertentu disebutkan jenis-jenis
makanan yang berbeda-beda juga.
Dari
banyakanya upacara-upacara yang dilakukan orang jawa, yang akan di bahas dalam
tulisan ini adalah lebih kepada upacara perkawinan. Perkawinan menjadi arena
untuk meneguhkan identitas kultural seseorang. Ketika orang jawa menghadapi
peristiwa penting dalam daur hidup mereka, seperti perkawinan, umumnya mereka
akan melakukan serangkaian upacara tradisional untuk mengidentifikasi dirinya
sebagai bagian dari komunitas jawa.
Pada
masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta khususnya, upacara-upacara yang
diselenggarakan pada saat sebelum perkawinan, biasanya hanyalah merupakan
kegiatan-kegiatan yang tujuanya mempersiapkan segala sesuatu yang ada
hubunganya dengan kebutuhan perkawinan, yang betul-betul menunjukan sifat
upacara pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan,yaitu siraman dan midodareni.
Bagi masyarakat Jawa pada umumnya persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum perkawinan
yaitu sekitar empat puluh hari sebelum perkawinan. Calon mempelai wanita telah
dipingit atau disengker, artinya ia tidak diperkenankan ke luar rumah, apa lagi
bertemu dengan calon suaminya (mempelai laki-laki). Selama itu pula ia
diharuskan berpuasa ( Pati brata, Jawa ) dengan mengurangi segala macam makanan
yang mengandng lemak, minum jamu ( obat ) dan juga seluruh badanya dibarut
dengan ramuan yang disebut mangir untuk menghaluskan kulit dan lulur untuk
membuat kulit menjadi kuning.
Ketika
akan diadakanya upacara perkawinan, di Jawa umumnya terlebih dahulu
ditentukan atau ditetapkan suatu
perhitungan atau petungan ( sistem ramalan numerologi). Maksud diadakanya
hitungan ini adalah untuk mencari kecocokan antara calon mempelai pria dan
wanita dilihat dari wataknya masing-masing. Petungan juga merupakan cara orang
jawa untuk menghindarkan diri dari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam
yang hanya akan membawa ketidakuntungan. Bagi kalangan abangan atau masyarakat
jawa yang tinggal di pedesaan dan lebih menekankan unsur animistis, angka-angka
yang terdapat dalam sistem petungan cenderung diterangkan dalam pengertian roh,
dalam apa yang disebut nagadina atau” naga hari”. Sistem petungan juga
digunakan untuk menentukan hari baik untuk perkawinan dan untuk meramalkan
apakah suatu perkawinan yang direncanakan bisa terlaksan atau tidak. Proses
petungan biasanya hari lahir pengantin pria dan wanita akan dijumlahkan oleh
seorang dukun, untuk melihat apakah mereka cocok, kalau tidak perkawinan itu
tidak akan berlangsung, hal ini sangat di perhatikan oleh kalangan masyarakat
jawa yang masih tradisional yang umumnya yang masih tinggal di desa.
Perkawinan
merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi setiap orang. Suatu detik tatkala hubungan persaudaraan
diperluas dan berubah. Di Jawa perkawinan menjadi pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang akan segera memisahkan
diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orang tua
dan membentuk sebuah rumah tangga baru. Perkawianan di jawa hanya melibatkan
dua buah somah, yang akan dipersatukan kemudian melalui lahirnya seorang cucu
milik bersama, yang tidak dipandang semata-semata sebagai penggabungan dua
jaringan keluarga yang luas. Tetapi yang tidak kalah penting, bagi orang jawa adalah
pembentukan sebuah rumah tangga baru dan mandiri.
Kebanyakan
perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Tata cara perkawinan di
jawa bersifat perental tidak hanya dilihat dari kerangka organisasi
kekeluargaan semata-mata, tetapi harus dilihat sebagai suatu aspek dari sistem
ekonomi daan gengsi pada masyarakat luas, dan sebagai suatu fungsi bangunan
otoritas intern di dalam keluarga yang asasi.
Di
Jawa ada sebuah aturan bahwa saudara-saudara sepupu paralel pada pihak ayah
pantang saling menikah.Karena adanya hukum bahwa ayah si anak perempuan,
saudara laki-laki ayah, saudara laki-laki, semuanya tidak ada, maka anak
laki-laki saudara laki-laki ayah adalah wali baginya dan bertanggung jawab
untuk menyerahkanya dalam pernikahan itu. Aturan itu dinamakan sebagai pancer wali yang secara harfiah berarti
“ wali menurut garis langsung “.
Menurut
pandangan abangan ( yaitu perubahan dari pandangan kejawen yang bercorak
animistik ) pada umumnya berpendapat bahwa perkawinan hendaknya dilakukan atau
diselenggarakan di luar keluarga, karena jika tidak, apabila perkawinan
tersebut berakhir dengan perceraian maka hubungan antara keluarga yang semula
dekat itu akan menjadi goyah dan bahkan mungkin tidak saling bertegur sapa
untuk waktu yang lama.
Pola
pinangan secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari dua tahap yaitu
:
1. Tahap pertama, Semacam perundingan penjajakan
yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud
menghindarkan rasa malu apabila ditolak.
2. Tahap
kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan yang serba basa-basi, kunjungan
resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak
saudaranya yang lain, kunjungan ini di namakan nontoni.
Setelah dipinang
didakan proses lamaran ( nglamar )
yang intinya itu adalah memohon agar anak perempuannya diperbolehkan untuk
diambil menantu. Dalam acara nglamar peran
congkok sudah tidak diperlakukan lagi, namun kadang-kadang tugasnya berlanjut
menjadi juru bicara pihak laki-laki. Orang tua pihak laki-laki beserta anaknya,
dan beberapa anggota keluarga juga turut hadir ke rumah pihak perempuan.
Jika latar belakang
proses akan besanan ini jauh hari sudah tidak ada masalah lagi, maka acara
nglamar ini sebenarnya hanya memenuhi formalitas adat seperti yang dipahami
oleh masyarakat jawa. Akan tetapi jika kedua belah pihak masih belum saring
mengenal, dan memerlukan jawaban yang pasti, maka upacara nglamar menjadi
begitu penting dan menentukan sekali.
Jika lamaran pihak
laki-laki diterima dengan baik, maka biasanya jawaban langsung diberikan pada
saat pertemuan nglamar tadi. Pertemuan dua keluarga ini berubah menjadi pesta
yang penuh dengan suka cita.
Namun jika lamaran ini
ditolak, maka orang jawa punya etika yang lebih halus untuk mengungkapkannya.
Keluarga pihak perempuan minta waktu barang beberapa hari untuk
mempertimbangkan dan memutuskan dengan mengungkapkan berbagai alasan. Orang
jawa punya etika untuk tidak mempermalukan orang lain di hadapan umum.
Acara selanjutnya
dilanjut dengan upacara Ningset. Bila lamaram diterima, pada hari yang
disepakati keluarga laki-laki datang kerumah pihak perempuan dengan maksud
untuk menyerahkan beberapa barang penyerahan ( peningset ) sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut sudah
dipasangkan ( akan dijodohkan ) dengan anak laki-lakinya. Meskipun belum
dikawinkan, tetapi dengan peningset ini, hubungan sudah menjadi setengah resmi
dan terikat dan ntidak akan dijodohkan dengan laki-laki lain. Namun demikian,
tetap belum diperbolahkan berkumpul seperti layaknya orang berumah tangga.
Barang-barang apa saja
yang dibawa sebagai peningset,
tergantung kemampuan pihak laki-laki. Berikut ini sekedar contoh yang
sedarhana, apa saja yang biasanya dibawa sebagai peningset :
a. Jarit
( kain ) batik dengan motif yang dapat dipilih.
b. Kemben
( jarit kecil tutup dada ) corak pelangi
c. Cincin
pengantin
d. Jodhang
( peti tempat kue dan makanan yang ditandu oleh dua orang ) berisi,
Pada saat pertemuan
untuk menyerahkan peningset,
biasanyadibicarakan juga hari pernikahan. Dalam adat jawa, yang mempunyai hajat
mengawinkan adalah pihak orang tua perempuan, sehingga hari yang baik untuk
pernikahan biasanya ditentukan oleh pihak orangtua perempuan. Jika tidak ada
halangan yang luar biasa pentingnya, biasanya pihak laki-laki hanya menyetujui
saja hari yang ditentuksan oleh orangtua anak perempuan.
Setelah dilakukan
ningset, dilanjutkan dengan Sanggan Srah-
srahan . Tujuanya untuk membantu meringankan beban calon besan untuk
hajatan nanti. Srah-srahan biasanya berisi :
a. Pisang
raja satangkep, daun sirih, kinang sekali kunyah, bunga mawar,, kesemuanya
ditempatkan di baki.
b. Bokor
berisi panggang ayam, lawe satu ikat, minyak sundul langit, kunir dua buah,
kaca cermin, sisir, klasa bangka ( tikar kecil ), gula merah setangkep (
sepasang ).
c. Perhiasan,
gelang, kalung, anting-anting, peniti semuanya ditempatkan dibaki.
d. Busana
sepasang dan alat-alat komestik
e. Jodhang
( sejenis tandu ):
·
Jodhang pertama berisi
pala kasimpar, pala kependem, pala gumantung.
·
Jodhang kedua berisi
panganan seperti jadah, wajik, rasikan, jenang ( yang semuanya terbuat dari
beras ketan )
·
Jodhang ketiga berisi
segala jajan pasar
·
Jodhang keempat berisi
nasi dan segala lauk-pauknya.
f. Beras
sedhancin kurang lebih 60 kg.
g. Kelapa
sajanjang kurang lebih 25 buah
h. Ayam
sepasang dan angsa sepasang. Jika salah stu orang tua calon pengantin sedang
hamil, dicarikan ayam atau angsa yang sedang mengerami. Membawanya dengan cara
digendong selendang sindhur.
i.
Hewan yang dituntun
sepasang ( jantan dan betina), seperti sapi, kambing, kerbau yang tanduknya
dicat putih ( dengan kapur sirih ), dan lehernya dikalungi kain cinde.
j.
Ongkek
( sejenis angkring yang dipikul ) diisi berbagai peralatan dapur.
k. Srakah
( mahar ) bagi orang islam bisa ditambah dengan Qur’an dan perlengkapan sholat
l.
Buwuh,
sumbangan uang untuk membantu meringankan beban besan yang akan
menyelenggarakan hajatan. Besarnya tergantung kemampuan.
Orang jawa tidak mau
mengadakan upacara pernikahan maupun resepsi pernikahan pada bualan Sura ( penaggalan jawa ). Mereka
mempercayai bahwa pernikahan bulan tersebut akan berakhir dengan perpisahan
atau penderitaan.
Sebaliknya orang jawa
sangat senang menggunakan bulan Besar ( penaggalan jawa ). Karena dipercaya
bahwa bulan ini baik untuk menyelenggarakan pernikahan. Oleh karenya, pada
bulan ini banyak sekali orang jawa yang menyelenggarakan hajatan mantu. Dengan
sendirinya banyak sekali profesi yang terlibat dan panen besar pada bulan ini,
seperti dukun manten, perias manten, juru foto atau film, persewaan terob,
catering, musikus, penyanyi, dalang wayang kulit, gedung pertemuan, mobil temanten,
sound system, perangkai janur, MC, dll.
Kebanyakan
orang jawa menganggap bahwa pendaftaran perkawinan pada kantor pejabat agama
kecamatan ( naib ), kurang penting bila dibandingkan dengan upacara makan
bersama secara keagamaan ( slametan ),
yang diadakan di rumah pengantin perempuan. Pada kesempatan penjamuan kecil
bersama beberapa tetangga ini, orang tua pengantin secara resmi memohon agar
arwah baureksa rumah dan desa
memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada pasangan baru tersebut nantinya.
Kegiatan upacara perkawinan yaitu
1.
Upacara pasang tarub merupakan
upacara pertama. Tarup mengambil kisah legenda Ki Jaka Tarup. Tarub itu sendiri
berarti pemasangan bangunan tambahan antara lain janur (daun kelapa muda), gula
kelapa dan ragam hiasan lainnya seperti pohon pisang raja, tebu, cengkir, padi dan
daun beringin serta janur yang semuanya mempunyai arti paedagogis.
v
Tebu merupakan tumbuh-tumbuhan yang
mudah tumbuh. Bagi orang Jawa, tebu dipasang untuk tuwuhan karena mempunyai
arti melambangkan antebing kalbu,
yaitu sikap kemantapan hati atau keteguhan hati kedua mempelai yang satu denhan
yang lain merupakan jodoh. Suami istri yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun.
Melalui lambang atau simbol tuwuhan tebu ini orangtua telah memberikan
pengertian pada kedua mempelai bahwa mereka satu sama lain merupakan jodoh yang
telah atu hati da tidak boleh berpisah karena diantara keduanya telah
memantapkan dirinya. Mereka dalah suami istri dan menjadi suatu celaan bagi
mereka yang mudah bercerai.
v
Cengkir ( kelapa gadig muda ).
Cengkir bagi orang jawa melambangkan arti kencenging
pikir, maksudnya menunjukkan pada suatu pola pemikiran yang telah mantap,
bahwa laki-laki dan perempuan itu memang jodohnya. Dibelakang arti kata cengkir ini, tidak bisa dibenarkan bahwa
apabila paa suatu ketika laki-laki meninggalkan perempuan itu yang sudah
menjadi jodohnya atau istrinya, begitu pula sebaliknya. Melalui simbol cengkir ini orangtua akan memberikan
pengertian kepada kedua mempelai bahwa perkawinanmereka berdasarkan hasil
pemikitran yangtelah mereka pertimbangkan bersama. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan kalau suatu ketika mereka saling menyalahkan satu sama lain.
v
Padi ( pari, jawa ). Tumbuhan padi
merupakan lambang kehidupan pokok dalam masyarakat jawa yang sebagian besar
hidup dalam masyarakat jawa yang sebagian besar hidup dari pekerjaan bertani.
Disamping itu, tumbuhan padi dalam adat kepercayaan jawa mempunyai hubungan
yang erat dengan Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi rumah tangga atau dewi
kesuburan. Melalui lambang padi, orang tua mengharapkan kebahagiaan hidup kedua
mempelai itu.
v
Pisang Raja, jenis pisang yang
mempunyai nilai tertinggi diantara jenis pisang lainya. Simbol ini
menggambarkan pengantin laki-laki yang akan bertemu dengan pengantin wanita.
Sebenarnya untuk menggambarkan pertemuan ini, kadang-kadang dilengkapi dengan jenis
pisang lain, yaitu urut-urutanya, pisang raja- pisang saba- pisang khuthuk- dan
kemudian pisang emas ( pengantin wanita ). Oleh sebab itu sehubungan dengan
proses pertemuan kedua mempelai ini, orang jawa mengatakan raja saba kepethuk emas.
v
Daun Beringin, jenis tumbuhan ini
melambangkan keluarga yang dibentuk suami istri diharapkan dapat memberikan
pengayoman pada kerabat yang membutuhkan. Ini merupakan suatu pengertian yang
mempunyai sifat peringatan kepada kedua mempelai, bahwa pada dasarnya mereka itu
tidak hidup sendiri. Oleh sebab itu, segala sesuatunya harus disesuaikan dengan
keadaan lingkungan dimana mereka sebagai bagian dari kelompok kerabatnya.
Mereka hendaknya dapat menerima kepentingankelompok kerabatnya yang lain,
misalnya bila salah satu anggota kelompok kerabatnya sedang melakukan suatu
kegiatan, maka mereka diharapkan bisa membantunya.
v
Janur, merupakan atau melambangkan
ajaran orang tua kepada kedua mempelai, bahwa apabila terjadi di dalam rumah
tangga mereka suasana kurang baik, hendaknya hal ini jangan sampai orang di
luar keluarganya menfetahuinya. Sehingga dalam rumah tangga itu tetap serasi.
Hiasan ini
disebut dengan istilah tuwuhan.
Menurut Sidik Gandawarsito, tuwuhan ini melambangkan kemakmuran tanaman maupun
harapan kemakmuran bagi calon keluarga yang baru. Hal ini mengingat, bahwa
antara pengantin dan tanaman sangat erat hubungannya dengan adat kepercayaan
Jawa.
Nampaknya,
tuwuhan dengan segala macam jenis tumbuhan yang ada didalamnya merupakan
lambang yang menpunyai arti sosiologis dan juga arti paedagogis. Dalam arti
sosiologis dapat kita uraikan berdasarkan arti kata tuwuhan yang artinya
tumbuhan. Berdasarkan arti katanya, tuwuhan dapat kita analogikan sebagai suatu
proses yang menunjukkan perubahab status sosial seseorang dalam kelompok atau
masyarakatnya. Jadi melalui tanda-tanda simbolis yang diwujudkan dalam rupa
tuwuhan ini. Hal ini menunjukkan, bahwa kedua mempelai yang telah menjadi suami
istri itu, sejak perkawinannya mereka telah berubah status sebagai kesatuan keluarga
batih yang seterusnya akan bertanggungjawab atas asil atau akibat dari
perkawinan mereka. Didalam hal ini pula menyangkut perubahan pola cara berfikir
mereka, artinya sejak perkawinanya itu mereka harus mengubah pola cara-cara
berfikir pada masa muda, sebab sesudah perkawinannya itu mereke teleh di wisuda
untuk masuk golongan orang tua atau sebagai orang yang telah berkeluarga.
Upacara selamatan juga dilaksanakan bersamaan
upacara pasang tarub. Upacara selamatan yaitu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan Nabi-Nya agar proses hajatan dapat berjalan dengna lancar sesuai dengan
yang diharapkan. Upacara selamatan terdiri dari:
- Selamatan rasulan (berupa nasi uduk dengan lauk pauk, lalapan, pisang raja dua sisir)
- Nasi asahan (berupa nasi biasa dengan lauk pauk sambel goring dan kerupuk)
- Nasi golong
- Ketan, kolak dan apem yang jumlahnya masing masing gasal. Mengandung makan pemuliaan kepada leluhur.
2.
Upacara buangan (bucalan) merupakan pengadaan sesaji untuk roh halus baik
ataupun jahat, yang tediri dari:
- Pecok bakal yaitu berupa biji kacang-kacangan, jagung, kluwak, kemiri, telur ayam mentah dan masi banyak lagi. Semua itu ditempatkan dalam satu wadah besar.
- Gecok mentah yang terbuat dari daging sapi mentah yang sudah dipotong-potong lalu dibumbui bawang, lombok, garam, kencur, santan yang kemudian diwadahi lalu diletakan di pojok-pojok ruangan. Diletakan pada malam hari.
- Buncalan diletakan, seperti setiap pintu, sumur, toilet, pawuhan ( tempat sampah ), regol (gapura masuk halaman ),perempatan jalan terdekat, sungai terdekat,jembatan terdekat.
Selain
berbagai macam sesajen seperti buncalan tadi, masih ada dua lagi jenis sesajen
yang dibuat sebelum memulai hajatan nikah yaitu :
v Pendheman. Sajen ini
ditanam di depan kobongan atau krobongan ( sekat ruangan utama, tempat
pengantin berdua biasanya duduk berjajar ), di dapur, dan di petanen ( kamar di belakang krobogan
biasanya untukmenyimpan hasil panen atau untuk menyimpan bahan baku yang akan
diolah selama hajatan ). Zaman sekarang banyak rumah berlantai yang dilapisi
porselen, maka sajen tersebut cukup diletakkan di dekatnya saja.
v Caos dhahar. Sajen ini
diletakkan didekat gamelan ( musik jawa ). Zaman sekarang ditambah lagi di
dekat perangkat sound system dan di dekat genset ( generator pembangkit listrik
).
3. Upacara
menyiagakan beras di pedharingan. Maksudnya adalah bapak ibu yang mempunyai
hajatan sudah siap untuk memakai pakaian jawa. Diamana ibu memakai nyamping
tuluh watu dan kebaya lurik dengan menggendong bakhul berisi beras sedangkan
bapak mendampingi dengan memakai beskap landhung, udheng, nyampingan menuju ke
pedharingan dalam rumah untuk memasukan beras. Pedharingan adalah tempat
penyimpanan beras keluarga.
4.
Upacara menanak nasi . Upacara ini dilakukan oleh Ibu dibantu dengan Bapak
dimana Bapak mengambil beras dan air kemudian Ibu mencuci beras dan dibawa ke
dapur lalu bapak menyalakan api. Setelah itu kegiatan menanak nasi dilanjutkan
orang lain.
5.
Upacara pasang tuwuhan, yang bermaksud agar kedua pengantin kelak mendapatkan
keturunan yang baik. Kegiatan ini dilakukan di depan rumah ataupun di pintu
kamar mandi calon pengantin wanita. Tuwuh atinya tumbuh sedangkan tuwuhan
berarti tumbuh-tumbuhan. Jenis tumbuh-tumbuhan yang dipakai yaitu pisang raja
yang sudah masak di pohon 2 tandan melambangkan kelak agar pengantin menjadi
orang besar dan berwibawa. Cengkir gading 2 tangkal yaitu kelapa muda yang
masih berwarna kuning melambangkan bahwa niatanya punya hajat sudah bulat. Tebu
wulung 2 batang melambangkan bahwa yang punya hajat teguh pendirian dalam
mengawinkan putra putrinya. Daun keluwih (berlebih) 2 ikat melambangkan semoga
penyelenggaraan mantu tidak kurang bahkan diharapkan lebih. Daun ilalang 2 ikat
melambangkan semoga hajat perkawinan tidak ada halangan suatu apapun. Daun
lainnya 2 ikat melambangkan agar hajatan tidak ada gangguan. Ranting dan daun
beringin 2 ranting melambangkan semoga hajat perkawinan selalu dalam
perlindungan Tuhan. Padi kuning bulu 2 ikat melambangkan semoga pengantin kelak
selalu mendapatkan rejeki yang melimpah. Dahan dan bunga/bungkah buah kapas 2
tangkai melambangkan semoga pengantin kelak selalu sejahtera cukup sandang dan
pangan bahkan papan. Pengaron (barang keramik semacam kuali) berisi kembang
setaman 1 buah melambangkan suatu penghormatan kepada Dewa penjaga wisma dan
Dewi Sri.
Proses
pernikahan adat jawa dilanjutkan dengan acara siraman dan dodol dhawet,
yang dilakukan sebagai proses pembersihan jiwa dan raga yang dilakukan
sehari-hari sebelum ijab kobul. Ada tujuh pitulungan ( penolong ) yang
melakukan proses siraman. Air yang
digunakan untuk memendikan pengantin tersebut merupakan campuran dari kembang
setaman atau yang disebut dengan “Banyu Purwitosari” yang diambilkan dari tujuh
sumber mata air ( sumur ). Ketika memandikan si calon pengantin ini dilakukan
secara bergiliran, dimulai dari siraman oleh orang tua calon mempelai, kemudian
oleh pemaes atau dukun manten yang kemudian dilanjutkan dengan memecahkan kendi
oleh ayah pengantin perempuan sampai pecah dengan mengucapkan doa yang
kira-kira bunyinya sebagai berikut : “ Niat
ingsun ora mecah kendhi, nanging mecah pamore anakku “ artinya : Niat saya
bukan memecah kendi, tetapi memecah pamornya anak saya. . Pesta siraman
biasanya dilakukan atau diadakan di siang hari, sehari sebelum acara pernikahan. Siraman biasanya dilakukan
di kamar mandi atau di taman. Saat upacara siraman berlangsung, orangtua yakni
bapak menggunting rambut anak perempuanya yang memiliki makna bahwa pengantin
siap untuk menikah. Kemudian kedua orangtua pengantin perempuan menggendong
anak mereka yang melambangkan bahwa mereka siap mengentaskan seorang anak. Setelah
upacara siraman selesai, pengantin masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian,
serta mulai untuk dipasangkan paes atau dirias yang pada setiap ukiranya atau
hiasanya mengandug banyak arti dan filosofi tentang hidup. Selain mempelai
wanita yang melakukan siraman, biasanya mempelai laki-laki juga demikian.
Biasanya pihak keluarga mempelai wanita mengirim air ke keluarga calon
pengantin laki-laki untuk dimandikan kepada pengantin laki-laki. Tentu saja
kalau tempatnya tidak terlalu jauh.
Mengapa
harus susah-susah mengirim air untuk dimandikan pada calon pengantin laki-laki
? Karena air untuk memandikan kedua mempelai ini diambil dari tujuh sumber yang
mungkin tidak mudah dicari. Belum lagi air ini sudah diberi mantra-mantra oleh
juru sembaga ( dukun manten ),
ditambah bunga-bunga yang disebut sekar setaman ( mawar, melati, kantil,
kenanga ) yang menambah harumnya air.
Ketika
proses siraman, juga diadakan acara dodol
dhawet, maksudnya bapak dan ibu calon pengantin perempuan menjual dawet. Pembelinya
adalah tamu-tamu yang diundang, para tetangga, dan sanak keluarga. Zaman dulu,
uang yang digunakan dari pecahan genting, tetapi dengan kemajuan jaman, telah
dibuat kreasi oleh para seniman dengan koin yang berbuat dari tembikar ( tanah
liat yang dibakar ) dan dihiasi nama calon pengantin laki-laki dan perempuan.
Ibunya
yang melayani menjual dawet, sedangkan ayah sambil menggendong bakul (
keranjang kecil ) menerima uang koinnya. Ayahnya juga yang memegang payung
untuk memayungi ibu yang melayani pembeli.
Upacara
adat atau ritual ini mengandung doa atau harapa permohonan kepada Tuhan Ynag
Maha Kuasa agar besok waktu upacara pernikahan nanti banyak tamu yang
berdatangan memberi doa restu. Begitu banyaknya tamu-tamu yang berdatangan
sehingga berjubel seperti cendhol yang ada didalam dawet tersebut.
Setelah
dawet yang dijual habis, dan tamu-tamu pamit pulang, uang ( koin ) hasil
penjualan diberikan kepada calon pengantin perempuan yang tadi menunggu di
dalam kamar. Pemberian ini sebagai lambang pemberian terakhir dari orang
tuanya, karena selanjutnya tugas memberikan kesejahteraan akan diambil alih
oleh calon suaminya nanti.
Sesudah
siraman selesai pada malam harinya dilanjutkan dengan suatu slametan midadareni.
Menurut anggapan, malam midodareni dipandang sebagai malam yang paling suci.
Sebab pada saat ini pengantin perempuan didatangi para widadari ( bidadari ). Sehubungan dengan anggapan ini Difford
Geertz menagtakan bahwa malam midodareni merupakan puncak upacara sakral dari
rangkaian upacara perkawinan. Dalam upacara midodareni ini tampak pula sifat
ritusnya. Sifat ritusnya yaitu pada saat malam midodareni, calon mempelai
perempuan dengan berpakaian sederhana didudukkan di muka senthong tengah. Didalam masyarakat Jawa yang sebagian besar sebagi
petani, maka senthong tengah mempunuai arti megis dan sakral. Anggapan sakral
ini berhubungan dengan mata pencaharian hidup mereka sebagi petani. Menurut
anggapan mereka, senthong tengah ini merupakan tempat istirahat yang disediakan
untuk menghormati Dewi Padi atau Dewi Rumah Tangga yaitu Dewi Sri.Oleh sebab
itu, senthong tengah kadang-kadang disebut pula petanen atau pendaringan yang
maksudnya tempat istirahat Dewi Sri. Adapun maksud mempelai perempuan didudukan
di muka senthong tengah agar mendapat
restu Dewi Sri, yang kemudian diharapkan menjadi seorang yang pandai mengatur
rumah tangga.
Disamping
itu, sifat ritus malan midodareni dapat pula dilihat dari adanya kelengkapan
syarat-syarat upacara pengantin antara lain, kembar mayang, yang diambil
dari pembuatnya ( biasanya tukang rias manten
atau dhukun manten ), sebanyak dua
buah yang sama bentuknya. Sirih yang diberi hiasan titik-titik dengan kapur (
injet, jawa ). Cengkir, kelapa yang sangat muda dan bunga setaman. Tentang
persyaratan- persyaratan untuk melengkapi pada upacara malam midodareni ada
beberapa penafsiran yang bersifat ekonomi-paedagogis, terutama syarat-syarat
seperti kembar- mayang dan daun sirih. Kembar mayang ini semacam bouqette dai janur ( daun kelapa muda ),
berupa bunga mayang ( = bunga pinang )beberapa jenis daun-daunan, kelapa gading
kesemuanya itu berbentuk pohon hayat ( pohon surga ) dengan nenas atau bunga
pisang ( ontong, jawa ) sebagai
mahkota di atasnya. Hal ini melambangkan pohon kehidupan dan pohon yang dapat
memberikan segala sesuatu yang diinginkan.
Apabila diperhatikan
jenis tumbuhan-tumbuhan yang dipakai untuk merangkai kembar mayang, dapat
memberikan penafsiran lain. Kembar mayang mempunyai sebutan asli yaitu gagar mayang artinya mayang ( bunga pinang ) yang telah
mengurai ( mekar ). Berkembang penuh. Kembar mayang memberikan arti kiasan yang
menunjukkan adanya unsur-unsur pendidikan seks. Si gadis, mempelia wanita,
dikiaskan sebagai myang yang telah berkembang, sehingga tampak indahnya. Dengan
keindahan tersebut, mayang tersebut akan menimbulkan kegairahan sang kumbang,
mempelai laki-laki, datang hinggap untuk menghiap sari madunya. Sedangkan
perlengkapan lain yaitu sirih yang diberi titik-titik kapur, juga mengandung
arti kiasan yang mempunyai unsur-unsur pendidikan seks.
Berdasarkan penafsiran
yang ada, maka kembar mayang dan juga sirih serta kelengkapan manten lainya,
merupakan arti kiasan yang mendektkan pada arti pokok perkawinan secara
biologis. Disamping ulasan-ulasan tafsiran seperti tersebut diatas, berdasarkan
bentuk kembar mayang yang menyerupai wujud gunung itu, melukiskan eksistensi
manusia yang sebenarnya menampakan bagian kecil dunia. Van Peursen
mengatakan,bahwa manusia dan alam raya saling meresapi dan oleh karena itu
kekuatan manusiawi dan ilahi juga saling melebur. Poerbatjaraka dalam ulasanya
tentang ajaran filosofi dan mistik, juga menunjukkan hubungan manusia dengan
dunia alam raya yang antara lain tampak dalam perwujudanya dalam atau sebagai
gunung. Untuk lebih jelasnya ada kutipan isi mistik seperti dibawah ini :
Sifatnya yang halus, adalah Dunia. Apabila
diringkas, adalah gunung. Bila diringkas yang ebih halus, adalah manusia.
Dari kutipan ditas
dapat dipahami bahwa manusia dan gunung berasal dari satu yaitu merupakan
jelmaan Bathara Siwah. Oleh sebab
itu, dengan kembar mayang yang disertakan pada malam midodareni, merupakan
petunjuk bahwa manusia dan gunung merupakan satu kesatuan jelamaan Bathara Siwah. Artinya gunung dengan
tumbuhan yang ada merupakan kehidupan bagi manusia. Melalui mitos kembar mayang
inilah terlihat dan terasakan sifat-sifat ritus daripada malam midodareni.
Segala sesuatu yang yang diadakan untuk melengkapi upacara malam midodareni
disesuaikan dengan pandangan atau anggapan-anggapan yang religius. Oleh sebab
itu, mempelai wanita pada malam midodareni belum boleh tidur sebelum jam dua
belas malam, sebab ada anggapan bahwa pada ssat-saat itu para bidadari datang
untuk menyaksikan mempelai wanita.
Ketika
slametan midadareni berlangsung, para tamu disuguhi berbagai jenis panganan
yang berasal dari beras ketan yang dilumatkan pada suatu talam besar hingga
berbentuk suatu piringan biskuiat yang tipis. Panganan ini dimaksudkan untuk
melambangkan keinginan bahwa setiap orang dalam slametan ini sudah bebas dari
perasaan iri, benci,dll yang tersembunyi. Disamping berbagai makanan dari beras
ketan tersebut, ada juga bubur tiga warna yakni merah, putih dan campuran.
Dibuat dari sekam beras yang
ditumbuk,bubur ini disebut paru-paru.
Orang jawa atau kebanyakan dari mereka
percaya bahwa letak kehidupan adalah bafas manusia . Paru-paru
dimaksudkan untuk memuliakan “ roh hidup yang ada didalam nafas orang yang akan
dikawinkan itu “. Dalam slametan midadareni hanya pengantin perempuan yang
hadir dalam acara tersebut sedangkan pengantin laki-lakinya tidak. Sesudah
slametan, pengantin perempuan mengenakan pakaian yang sangat sederhana, gadis
itu akan di dudukan dikamar dari jam enam sore sampai tengah malam dan ditemani
oleh keluarga atau kerabat dekat perempuanya. Biasanya mereka memberi saran dan
nasehat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin perempuan akan datang
berkunjung, dan semuanya harus wanita.
Sementara gadis itu duduk disana, ibunya melaksanakan upacara membeli kembang mayang “ bunga – bunga yang
sedang bermekaran “. Kembang mayang adalah tumbuh-tumbuhan gabungan yang besar.
Batang-batangnya terbuat dari batang pisang, kumpulan bunga-bunganya dari
berbagai deadunan yang diberi lekuk-lekuk di pinggiranya dan dililiti ranting-ranting
kelapa muda. Kesemuanya mewakili keperawanan kedua pengantin dan dua buah
kembang mayang dibuat untuk masing-masing pengantin.
Selanjutnya upacara
Ijab Kabul, orang jawa biasanya menganggap atau percaya kalau lahir, menikah
dan meninggal adalah takdir. Upacara ijab merupakan syarat yang paling penting
dalam mengesahkan perkawinan atau pernikahan. Setelah upacara” ijab kabul”.
Kemudian barulah upacara perkawinan berlangsung. Upacara perkawinan itu
disebut kepanggihan ( pertemuan ) dan
selalu diadakan dirumah mempelai perempuan. Ketika upacara panggih, kembang
mayang dibawa keluar rumah dan diletakkan di penyimpanan dekat rumah yang
tujuanya untuk mengusir roh jahat. Menurut tradisi anak laki-laki harus
memberikan dua macam hadiah perkawinan kepada pihak perempuan, yang disebut
sebagai paningset yang biasanya berupa pakaian dan perhiasan yang sering
diberikan dengan sebuah slametan.” dilanjutkan dengan upacara panggih yaitu
pertemuan antara pengantin perempuan dan pengantin laki-laki di depan rumah
yang dihias dengan Tarub. Pemasangan Tarup bagi orang jawa dianggap wajib
karena mereka (khususnya yang masih menganut unsur-unsur kejawen ) meyakini
Tarup itu untuk persembahan atau jelmaan dari Jaka Tarup. Bisa percaya atau tidak
di salah satu daerah di Rembang tepatnya di dk. Tajen Kec. Pamotan, akan di
adakan upacara perkawinan, kebetulan sepasang calon pengantin ini tinggal
berdekatan alias tetanggaan, nah pihak keluarga perempuan ini tidak percaya
denagn mitos taup tersebut, sehingga tidak membuat tarup di depan rumahnya,
namun entah kebetulan atau bagaimana malam harinya setelah proses perkawinan
selesai, pengantin laki-laki tadi mendadak menjerit-jerit, marah-marah seperti
orang yang kesurupan.
Sekarang setelah segala
sesuatunya siap untuk pertemuan yang sebenarnya. Sebuah kain sarung tua milik
pengantin perempuan dibentangkan di depan rumah di tempat mereka akan
dipertemukan, tempat yang sudah dipilih berdasarkan petungan , arah kedatangan
pengantin laki-laki pun sudah ditetapkan dengan pertimbangan naga dina. Di
ujung kain diletakkan sebuah mangkuk kuningan yang berisi air bunga dan sebutir telur ayam dan dibawahnya sebuah
kuk tenggala lembu. Sebuah sajen khusus ditaruh di sentong tengah yang terdiri
dari kedelai, buncis hijau, buncis kuning, bawang, merica, secarik kain batik
dalam bambu, beras, berbagai macam bahan jamu, cermin, dua sisir pisang, kelapa
muda yang sudah dikupas, sebutir telur, sebuah kendi kecil berisi air, dan
lampu kecil minyak tanah. Sajen tersebut mungkian saja di letakkan disekitar
tempat-tempat yang berbahaya, sebutir kelapa dilemparkan ke sumur dan dukun
manten berkeliling memercikkan air yang telah diberi mantera agar harta benda
keluarga itu tidak hilang, rusak atau dicuri selamaupacara perkawinan itu.
Lanjut ke upacara setelah
kepanggihan yakni upacara “balangan suruh, pengantin wanita bertemu pengantin
laki-laki. Mereka mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar 3 meter. Mereka
mulai melempar sebundel daun suruh atau jeruk di dalamnya bersama dengan benang
putih. Mereka melakukanya dengan keinginan besar dan bahagia, semua orang
tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno, daun bendel tersebut mempunyai
kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan melempar daun bendel satu
sama lain, akan menunjukan kalau mereka benar-benar orang sejati bukan setan
atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau
pengantin perempuan. Menurut kepercayaan mereka, siapa yang duluan mengenai
sasaran akan menjadi pasangan yang dominan dalam perkawinan itu. Namun biasanya
ada aturan tidak tertulis kalau pengantin perempuan harus berusaha mengalah
dalam bagian ini.
Setelah upacara balang suruh selesai
lalu dilanjutkan dengan upacara “ wiji dadi “, yakni pengantin laki-laki
menginjak telur hingga pecah dengan kaki kanannya, (putihnya melambangkan
hilangnya kesucian diri dan kuningnya melambangkn pecahnya selaput dara ).
Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air
dicampur dengan bermacam-macam bunga. Mengartikan bahwa pengantin laki-laki
siap menjadi ayah serta suami yang bertanggung jawab dan pengantin perempuan
akan melayani setia suaminya atau dari
sumber lain hal tersebut melambangkan sikap teas laki-laki untuk menurunkan
keturunanya melalui seorang perempuan yang menjadi istrinya dan menerimanya
dengan segala kesucian hatinya. Kemudian setelah perbuatan itu dilakukan,
pengantin perempuan tadi bangkit, barbalik menghadap rumah, berdiri disisi
pengantin laki-laki di atas kedua kuktenggala lembu, yang melambangkan bahwa
hanya mereka berdualah yang benar-benar terlibat, yang mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi diantara suami dan istri. Namun kadang-kadang kemudian
masing-masing mencecap air bunga dari gayung batok kelapa yang diberikan oleh
ibu mempelai wanita, dan sehelai selendang dilingkarkan melingkupi kedua
mempelai bersama ibu mertua seakan-akan ia menggendong keduanya dengan
selendang, kain yang biasa digunakan untuk menggendong bayi sampai ia bisa
berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ibu mempelai wanita telah
mengambil menantunya sebagai anaknya sendiri bersama dengan anak perempuanya.
Sedangkan pemberian air bunga melambangkan keinginannya untuk tetap merawat
keduanya.
Berikutnya Pupuk, ibu mempelai perempuan mengusap
mempelai mnaenantu laki-laki sebagai pertanda iklas menerimanya sebagai bagian
dari keluarganya. Setelah kegiatan pupuk, diteruskan dengan Sinduran, artinya disini berjalan
perlahan-lahan dengan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa kedua
mempelai sudah diterima sebagai keluarganya.
Kemudian mempelai
memasuki rumah, didudukan tanpa bergerak. Diam tanpa gerak biasanya
diasosiasikan dengan kekuatan spiritual menurut alam pikiran orang jawa. Duduk
dengan ketenangan mutlak, tanpa makan atau tidur, memusatkan pikiran pada titik
tertentu hingga pikiran menjadi kosong, seperti sebuah tapa yaitu jalan utama ke arah kekuatan dalam dan kekuasaan luar.
Setelah upacara
sinduran, dilanjutkan lagi dengan upacara Timabang,
yaitu kedua mempelai di pangkuan bapak mempelai perempuan sebagai tanda kasih
sayang orang tua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
Setelah upacara
Timbang, yaitu upacara Kacar-kucur, yang dituangkan ke pangkuan perempuan
sebagai simbol pemberian nafkah. Kemudian upacara Dahar Klimah, dimana kedua mempelai saling menyuapi satu sama lain
yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah maupun senang.
Dukun manten yang
menyelenggarakan semua urusan sejak upacara dimulai, terus membacakan mantera.
Setelah membacakan mantera sebuah slametan diadakan dengan satu lapis nasi
kuning di atas lapisan nasi putih yang melambangkan cinta dan kesucian di
tiap-tiap piring daun pisang. Pasangan pengantin makan bersama-sama dan
menyuapi satu sama lain. Pertama-tama pengantin laki-laki membuat tiga bulatan
kecil dari nasi dengan tangan kananya dan diberikanya ke pengantin wanita.
Setelah pengantin wanita memakanya, dia melakukan hal yang sama untuk suaminya.
Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Selanjutnya piring pengantin
laki-laki ditutupkan diatas piring pengantin wanita menjadi satu kesatuan dan
dalam keadaan seperti itu di tempatkan di sentong
tengah selama lima hari. Kalau nasi itu mulai basi, itu menendakan bahwa si
gadis tidak perawan lagi dan perwujudan perkawinan telah terjadi, tetapi hanya
anggota-anggota keluarga terdekat yang diperbolehkan untuk memeriksa pertanda
ini.
Selanjutnya setelah upacara dahar kembul,
adalah upacara sungkeman, kedua
mempelai bersujud kepada kedua orangtua untuk memohon doa restu dari orangtua
mereka masing-masing. Selama sengkeman sedang berlangsung, pemaes mengambil
keris dari pengantin laki-laki. Setelah sungkeman, pengantin laki-laki memakai
kembali kerisnya.
Setelah sungkeman
adalah Kirab yakni kirap kanarendran
dan kirab kasatrian. Acara ini lebih
bersifat hiburan, bukan merupakan ritual baku dalam mperkawinan. Kirab artinya dipertontonkan,
kanarendran seperti narendra ( raja
), kasatrian seperti satria.
Dalam acara kirab kanarendran, pengantinberdua dengan
memakai busana seperti raja dipertonotonkan kepada tamu yang hadir, sambil
barjalan dari tempat duduk pelaminan menuju kamar untuk ganti busana kasatrian.
Seperti
tdi dijelaskan diawal, pada umumnya yang menyelenggarakan hajatan mantu adalah
pihak orangtua pengantin perempuan. Namun adakalanya pihak orangtua pengantin
laki-laki juga ingin menyelenggarakan hajatan mantu, yang dinamakan atau
dikenal dengan Ngunduh Mantu.
Hajatan
mantu diselenggarakan berselang lima hari ( orang jawa menyebut sepasar )
darihajatan di tempat pihak pengantin perempuan. Ngunduh artinya memanen atau
memetik, mantu diartikan hajatan mantu. Secara umum diartikan mengadakan
hajatan mantu sendiri, setelah hajatan mantu di rumah besan selesai.
Sebelum
berangkat, lebih dulu diadakan selamatan dengan maksud mohon doa restu agar
perjalan ke rumah pengantin laki-laki diberi kelancaran dan keselamatan.
Pada
saat bersamaan dirumah pihak pengantin laki-laki sudah dipersiapkan acara
penerimaan dan penghormatan sepantasnya.Pengantin berdua yang diiringi seluruh
keluarga datang ditempat acara. Sesampai di gapura tempat upacara, pengantin
dijemput orangtua pengantin laki-laki. Ibu pengantin memberikan kalungan berupa
untaian bungan melati kepada pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Acara
ini mengganbarkan bahwa peristiwa pernikahan tersebut telah diakui dan diterima
oleh seluruh keluarga, sekligus membawa pengantin perempuan masuk ke dalam
kerabat pengantin laki-laki.
Setelah
dikalungi untaian bunga, pengantin berdua diberi minum toya wening. Toya artinya air,
wening artinya jernih. Acara ini memberikan peringatan kepada pengantin
berdua agar dalam membina keluarga selalu dengan penuh kesabaran dan kejernihan
hati.
Pada
waktu upacara ngunduh mantu tersebut juga dilakukan pemberian jenang tuwa (
nama tua ) kepada pengantin laki-laki.
DAFTAR
PUSTAKA
Geertz,
Clifford. Abangan,Santri,Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa : Pustaka Jaya
Geertz,
Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta
: PT Grafiti Pers
Purwadi.
2005. Upacara Tradisional Jawa.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar