A.
FENOMENA
PRIMBON PADA MASYARAKAT JAWA
1.
Isi primbon
Primbon amat
lengkap memuat berbagai hal; tentang persoalan hidup. Biasanya, primbon
tersebut bersifat anonym. Kalau ada nama yang tertera, sebagian besar hanya
penghimpun saja. Karena itu, primbon termasuk kitab yang menjadi timbunan
berbagai ngelmu kejawen. Mungkin, kandungan primbon berasal dari
leluhur, dari kitab-kitab suluk, kitab-kitab wirid, dan sastra ajaran yang
lain. Primbon termaksud ada yang disakralkan, sehingga setiap Malam Selasa
Kliwon dan Malam Jemuwah Kliwon juga diberi kutukan kemenyan. Bahkan ada
diantara orang Jawa yang membungkus primbon dengan kain mori, diletakkan pada
tempat khusus yang tak boleh dibuka oleh anak kecil (Endraswara, 2006:
118-119).
Isi primbon berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan
kebutuhan sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3).
Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran,
perkawinan, kematian, dan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan alam (Sublidinata, 1985: 55), termasuk diantaranya tentang
penyakit dan pengobatannya. Karena itu, di dalam primbon pun ditemukan
petunjuk-petunjuk untuk mendapatkan kesehatan dengan pengobatan dan
resep-resepnya.
Isi primbon, sedikitnya menyangkut:
1)
pranata mangsa,
Kehebatan orang Jawa membaca alam semesta, telah melahirkan pranatamangsa
yang amat luhur. Pranatamangsa adalah ngelmu tafsir alam semesta
yang lahir dari kejernihan batin. Ini termasuk fenomena ramalan, yang dalam
dunia modern sering menyembul pada “prakiraan cuaca” TVRI, misalnya.
Pranatamangsa sampai sekarang masih banyak digunakan kaum tani di
pedesaan. Mereka, dengan cerdik tahu mangsa (saat tepat) untuk menanam
kelapa, pisang, menyebar benih padi, menebang bamboo, dan sebagainya. Ternyata,
atas dasar pranatamangsa itu, orang Jawa dapat menyiasati dan meminimallisir
petaka yang mungkin menimpa (Endraswara, 2006: 122)
Masih dalam Endraswara (2006: 123) dijelaskan bahwa pranatamangsa,
sering melebur lembut menjadi “horoskop” dan atau “bintang anda” (Nasib
Panjenengan) di media cetak. Biasanya, setahun penuh (12 bulan) ada juga yang
mingguan (khusus di Koran tergantung masa terbitnya). Horoskop di media cetak,
tergolong petungan ringan, yang belum tentu seratus persen ditaati.
2)
Petungan,
Numerologi Jawa sering disebut petung (perhitungan). Perhitungan tersebut
merupakan pertimbangan memet (sungguh-sungguh), memanfaatkan nalar
jelas, dan disertai laku tertentu. Petungan berarti pertimbangan yang jernih. Dalam
petungan terkandung pengertian kalkulasi, penafsiran (appraisal), dan pertimbangan (judgement). Petungan Jawa lebih khas dibanding
perhitungan budaya lain. Karena, di dalamnya memasukkan hal-hal yang rasional
dan irrasional.
Dalam kehidupan orang
Jawa, petungan menjadi jati diri. Petungan telah lekat dan sulit dihilangkan
dalam benak mereka. Karenanya, segala sikap dan perilaku orang Jawa selalu
bernuansa petungan. Petungan termaksud biasanya didasarkan atas peredaran
matahari, bulan, bintang, dan planet lain untuk meramal nasib manusia. Ilmu
yang popular dalam menghitung nasib baik dan buruk orang Jawa tersebut
dinamakan astrologi. Lepas dari cocok tidaknya sebuah hasil petungan, orang
Jawa tetap sulit meninggalkna pola pikir tersebut. Maka boleh dinyatakan bahwa
orang Jawa selalu menggunakan petungan dalam gerak dan langkah hidup, agar
dirinya selamat dari gangguan adikodrati.
Hari dalam perhitungan (numerology) Jawa berjumlah tujuh, lalu disebut dina pitu, dan pasaran berjumlah lima disebut pasaran
lima. Atau sering disingkat dina lima dina pitu. Keduanya akan menentukan jumlah neptune dina (hidupnya hari dan pasaran). Masing-masing hari dan pasaran memiliki
nilai angka yang dapat digunakan untuk meramallkan berbagai hal.
Nilai angka nama-nama hari yaitu: Senin = 8, Selasa =
3, Rabu = 7, Kamis = 8, Jumat = 6, Sabtu = 9. Nilai angka pasaran: Legi = 5,
Paing = 9, Pon = 7, Wage = 4, lan Kliwon = 8. Rupa-rupanya para pengamat budaya Jawa masih kesulitan
menjelaskan secara logis tentang nilai-nilai angka tersebut. Umumnya orang Jawa
hanya taat pada budaya tradisi leluhur, tanpa ada upaya untuk memecahkan
persoalan tersebut. Akibatnya, perhitungan angka demikian selamanya masih
misterius.
Secara rinci, terjadinya perhitungan hidupnya hari dan
pasaran dapat dilihat pada table sebagai berikut:
Tabel asal-usul hari dan pasaran
|
||
Aturan asal-usul neptuning dina
|
Bersatunya hari dan pasaran
|
Perhitungan pancasuda
|
Sabtu 0+1 Legi
|
= 1
|
1. Wasesa Segara
|
1+1
|
= 2
|
2. Tunggak semi
|
Ahad 1+2 Paing
|
= 3
|
3. Satriya wibawa
|
2+2
|
= 4
|
4. Satriya wirang
|
Senin 2+3 Pon
|
= 5
|
5. Bumi kapetak
|
3+3
|
= 6
|
6. Lebu katiyub angin
|
Tabel Hidupnya hari dan pasaran
|
||
Selasa 3+4 Wage
|
= 7
|
1. Wasesa segara
|
4+4
|
= 8
|
2. Tunggak semi
|
Senin 4+5 Legi
|
= 9
|
3. Satriya wibawa
|
5+5
|
= 10
|
4. Satriya wirang
|
Ahad 5+6 (-)
|
= 11
|
5. Bumi kapetak
|
6+6
|
= 12
|
6. Lebu katiyub angin
|
Jumat 6+7 Pon
|
= 13
|
1. Wasesa segara
|
7+7
|
= 14
|
2. Tunggak semi
|
Rebo 7+8 Kliwon
|
= 15
|
3. Satriya wibawa
|
8+8
|
= 16
|
4. Satriya wiring
|
Kemis 8+9 Paing
|
= 17
|
5. Bumi kapetak
|
9+9
|
= 18
|
6. Lebu katiyub angin
|
Sabtu 9 0
|
|
|
Dari tabel tersebut dapat
dipahami, mengapa hari dan pasaran memiliki watak tertentu. Perhitungan tabel
diatas juga ada neptuning dina yang amat rahasia, yaitu berjumlah 11. Tampaknya
angka ini dianggap sakral dalam perhitungan Jawa. Hidupnya pasaran juga tak ada
yang bernilai 6, ini mungkin menggambarkan bahwa 6 adalah bilangan rahasia
dalam budaya Jawa.
Jika ditelusur lebih jauh lagi, dapat
dimengerti asal-usul hari dan pasaran. Yakni, Sabtu menjadi akhir hari dina dan
Legi menjadi awal mula pasaran. Keduanya secara filosofi merupakan gambaran
awal-akhir dunia. Sabtu, berarti akhir dari (mengakhiri). Akhir kebodohan yaitu
pandai, ini sebagai perilaku ening. Akhir dari pencarian ngelmu, adalah bodoh
sampai pandai (bontos ing kawruh). Sedangkan Legi, sebagai awal pasaran. Ini
merupakan gambaran permulaan pandai dari kebodohan, yaitu perilaku budi. Maka
Sabtu Legi sebagai gambaran perburuan ilmu. Bodoh dan pandai sebenarnya ada
awal akhirnya.
Sabtu Legi juga sebagai lambang wasesa
segara, yaitu akhir budi, juga permulaan hidup. Mulai lahir dari kandungan ibu,
manusia telah diberi anugerah berupa budi. Manusia yang tadinya bodoh akan
menjadi pandai. Melalui budi tersebut manusia mampu mencapai keluhuran hidup di
dunia dan akhirat. Sebaliknya jika manusia tak mau mengasah budi, akan bodoh
seperti kerbau. Jika bodoh, jelas akan menajdi kendala hidup. Orang yang cerdik
mengasah budi, ibarat wong lumpuh ngideri jagad. Maksudnya, meskipun manusia
tadi tak mampu sdampai kemana-mana, jika budinya berkembang dan luhur, akan
mengetahui apa saja dan dimana saja.
Hari Ahad Paing, dilambangkan sebagai
satriya wibawa. Yakni sebagai kekuatan budi. Jika ada bayi yang lahir pada hari
tersebut, jika kuwat menjalankan laku, bias mengolah budi, akan menjadi satriya
yang bijaksana. Sebaliknya, jika gagal mengasah budi akan menjadi satriya
wiring. Maksudnya, hidupnya akan menanggung malu dan sengsara.
Hari yang paling gawat adalah Senin Pon,
karena termasuk hari Sampar Wangke. Ada juga hari semacam ini yang menyebut
hari Tali Wangke. Xhari tersebut dilambangkan bumi pinetak. Maksudnya, manusia
mudah apes dan celaka, bahkan sampai meninggal akibatnya jika kurang waspada.
Bumi pinetak telah menggambarkan bahwa manusia berasal dari anasir tanah
(bumi). Karena itu, pada hari tersebut manusia harus berhati-hati. Segala sikap
dan tindakan seharusnya benar-benar ditata, tak tergesa-gesa, dan Orang Jawa
berprinsip alon-alon waton klakon.
Perkembangan selanjutnya, petungan Jawa
telah merambah pada sela-sela masyarakat Jawa modern. Dalam petungan Jawa, ada
yang disebut istilah gotek (jare). Gotek (jarene wong biyen) ini akan
melahirkan gugon tuhon yang umurnya sudah sangat panjagng. Lebih-lebih, kalau
gotek tadi berhubungan dengan peristiwa yang kurang menyenangkan – orang Jawa
akan segera mengantisipasi.
Dasar petungan tidak hanya tahun, bulan,
minggu, dan hari, melainkan jam dan menit pun dapat diramalkan. Setiap jam
dalam diri manusia dapat diramal tentang daya linuwihnya. Yang diramal,
berkaitan dengan: keadaan alam semesta, keadaan orang yang lahir, masa
kanak-kanak, remaja, cirri-ciri yang mencolok, kesehatan, hubungan sosial,
pekerjaan yang cocok, karier, rejeki, hobi, jodoh, warna yang disukai, watak
dan lain-lain (Doyodipuro, 1998, dalam Endraswara, 2006: 122).
Petungan tersebut, sebenarnya untuk
menentukan dina becik-naas. Saat yang tepat, akan membawa keselamatan, begitu
sebaliknya. Hal ini, menurut hematnya juga akan menghadirkan sejumlah
persoalan.
3)
pawukon,
Wuku adalah nama
sebuah kesatuan waktu yang terdiri dari 30 pekan. Satu pekan atau minggu
terdiri dari 7 hari. Maka satu ‘tahun’ wuku terdiri dari 210 hari. Perhitungan
tahun secara wuku terutama digunakan di Bali dan Jawa.
Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu seperti layaknya horoskop atau perbintangan yang kita kenal
Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu seperti layaknya horoskop atau perbintangan yang kita kenal
Sebenarnya ide
dasar daripada perhitungan menurut wuku ini adalah bertemu dua hari dalam
sistem pancawara(pasar) dan saptawara(pekan) menjadi satu. Sistem pancawara
atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari
tujuh hari.
Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti. Misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.
Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti. Misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.
4)
Pengobatan,
Sistem pengobatan dapat dimasukkan pada salah satu unsure budaya
yaitu ke dalam unsure sistem pengetahuan, yang dalam realisasinya akan mengarah
pada unsure teknologi. Kebudayaan Jawa mempunyai sistem pengetahuan pengobatan
yang sudah ratusan tahun digunakan oleh masyarakat Jawa, yakni sebelum masuknya
teknik-teknik kedokteran modern. Sistem pengobatan tersebut disebut sebagai
sistem pengobatan tradisional.
Menurut Foster dan Anderson (1978: 51), di dalam masyarakat
pedesaan konsep penyakit dikenal dengan istilah sistem personalistik dan sistem
naturalistic. Sistem personalistik adalah penyakit yang dipercaya disebabkan oleh sesuatu hal
diluar si sakit seperti gangguan gaib seseorang (guna-guna), jin, makhluk
halus, kutukan, dan sebagainya; sistem naturalistic adalah penyakit yang
disebabkan oleh sebab alamiah seperti cuaca dan gangguan keseimbangan tubuh.
Pemahaman tentang penyakit tersebut mempengaruhi pola pengobatan
dan pemilihan alternative pengobatan. Setidak-tidaknya, konsep pengobatan
tradisional Jawa yang memiliki pandangan kosmologis tentang penyakit, memandang
penyakit tidak saja pada apa yang menyebabkan sakit, melainkan juga bagaimana
dan mengapa seseorang menajdi sakit.
Dalam tradisi Jawa, sistem pengobatan tradisionalnya mempunyai
beberapa karakter yang khas. Dalam menentukan penyakit, primbon menggunakan
perhitungan yang berdasarkan perhitungan waktu. Perhitungan yang banyak
digunakan ialah perhitungan yang menggunakan dasar perhitungan hari dan
pasaran.jumlah neptu dina lan pasaran saat datangnya penyakit dapat digunakan
untuk menentukan (1) asal penyakit, (2) tingkat penyakit, (3) bagian yang
sakit.
Antara primbon yang satu dengan yang lain kadang-kadang berbeda.
Namun, dari perhitungan-perhitungan itu, dapat ditarik berbagai jenis penyakit,
yaitu: 1) dari Allah, 2) karena perkatannya sendiri yang tidak dipenuhi (ujar),
3) dari jin/setan, dan 4) dari perbuatan jahat orang lain (teluh tarangnyana)
(sutrisno, 1961: 36-37).
5)
wirid /
wejangan
Istilah wirid berasal dari bahasa Arab yang memiliki banyak arti.
Asal katanya adalah warada yang berarti mengambil, kemudian bila berubah
bentuk menjadi wardah berarti sekuntum bunga mawar, atau wârid
yang membawa, wurûd berarti tiba, datang, atau warîd berarti urat
leher; sedangkan wirdun berarti bacaan-bacaan zikir, do'a yang
dibiasakan membacanya. Dalam Islam, istilah wirid ini sudah populer, sehingga
karena populernya tidak lagi dipersoalkan apa makna sesungguhnya dari istilah
tersebut.
Wirid atau wejangan, biasanya berupa sastra wedha. Didalamnya
terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju pada suatu titik mistik.
Utamanya kea rah memayu hayuning bawana. Agar tercipta keindahan dan harmonui
manusia Jawa dengan sesame, alam semesta dan Tuhan.
Wejangan memang masih banyak yang relevan untuk dunia sekarang.
Lebih-lebih tentang Maklumat Jati, yang mencakup 8 hal: wirayat jati, laksita
jati, panunggal jati, karana jati, purba jati, saloka jati, sasmita jati dan
wasana jati (Wibatsu, 1994: 13, dalam Endraswara, 2006: 124). Makliumat ini
berisi wejangan kebatinan untuk menuju pengalaman mistik. Hal semacam ini,
mungkin tak akan using dimakan zaman. Wirid atau wejangan adalah horoskop yang
bersumber dari kawruh leluhur. Di dalamnya menyangkut pepali, seperti Pepali Ki
Ageng Sela.
Tradisi wirid ini bertolak dari Hadis Nabi Muhammad saw yang
menyatakan; "Ahabbu al-a'mâl ilâ Allâhi adwâmuhâ wa in qalla"
(Amal-amal kepada Allah yang paling sisukai adalah yang dilakukan secara
kontiniu (berulang-ulang), walaupun amal itu sedikit (kecil). Dengan demikian,
pada dasarnya kegiatan wirid adalah suatu kegiatan amal yang bernilai ibadah,
kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang pada setiap waktu tertentu, sehingga
menjadi kebiasaan.
2.
Fungsi primbon
Isi
primbon yang berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan
sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Kendati
sistem dalam primbon yang berbelit-bnelit, namun pada konsep ini terletak
konsep metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai,
sebagaimana kesesuain kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu
pemecahan untuk soal matematik, serta persesuaian seorang pria dengan wanita
yang dinikahinya (kalau tidak mereka bercerai). Sebagaimana dalam suatu
harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu dan bisa
diketahui. Sistem petungan dalam primbon misalnya, memberikan suatu jalan untuk
menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang
dengan sistem itu. Petungan adalah salah satu bentuk dari primbon yang
merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam
yang hanya akan membawa ketidakuntungan (Clifford Geertz, 1989: 38-39).
Pada
intinya, fungsi primbon bagi kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa yang
mempercayainya adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari bencana atau
malapetaka yang disebabkan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan antara alam.
Seperti misalnya pada perhitungan nikah (Endraswara, 2006: 115) menunjukkan
bahwa orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada
akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja).
B.
Persepsi masyarakat
Jawa terhadap primbon
1.
Masyarakat Jawa
dulu
Persepsi
mengenai primbon yang akan diangkat dalam sub bab ini lebih mengarah pada
bentuk primbon yang berujud petungan. Karena petungan ini yang paling banyak
kami temui ketika kami mengadakan observasi dan wawancara terhadap masyarakat
Jawa pesisir.
Primbon
pada zaman dahulu dipakai sebagai acuan penting dalam menentukan sebuah
peringatan (kematian, kelahiran, sukuran, membangun rumah dan sebagainya)
karena dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut
kehidupan kedepan/masa depan individu. Pada zaman dahulu juga masyarakat
Jawa masih berpegang teguh pada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi
pendahulu, karena seperti yang telah disebutkan diatas, ada suatu perasaan
patuh yang didasarkan pada tiga konsep sifat orang Jawa yaitu wedi, isin dan
sungkan. Ketiga sifat inilah yang mungkin melatarbelakangi masih
digunakannya primbon pada masa sekarang ini.
Sistem
perhitungan yang terkait dengan primbon yang paling sering digunakan oleh
masyarakat Jawa adalah perhitungan yang menyangkut proses pemilihan jodoh dan
sistem pengobatan tradisional Jawa.
a.
Perhitungan
Jodoh
Pada
perhitungan jodoh masyarakat Jawa “kuno” terdapat beberapa pertimbangan yang
dihitung dengan berlandaskan kitab primbon, yaitu diantaranya pertimbangan
“pasatowan”. Bagi orang Jawa yang akan mempunyai hajat pernikahan, ada
pertimbangan khusus dalam pemilihan jodoh yang disebut pasatowan, yaitu
mempersatukan dua unsure dari pihak laki-laki dan perempuan. Pertimbangan ini
biasa disebut dengan pasatowan salaki rabi, yang bias dilaksanakan dengan
menghitung jumlah neptu (hari kelahiran) calon pengantin wanita ditambah jumlah
hari kelahiran calon pengantin pria lalu dibagi 5, yang kemudian akan ditemukan
makna dari penjumlahan neptu kedua calon mempelai tersbut. Jika perhitungan
pasatowan di atas tak ditemukan yang menurut orang Jawa menguntungkan, biasanya
dihindari. Karena, orang Jawa takut terhadap akibat yang mungkin terjadi di
kemudian hari. Apabila perhitungan tersebut telah dilampaui, ternyata dalam
membangun keluarga ada hal-hal yang di luar jangkauan, tentu akan diterima
sebagai pesthi. Jadi, orang Jawa tetap menyadari bahwa perhitungan termasuk
sekedar sebagai upaya preventif, bukan mutlak hasilnya (Endraswara, 2006:
112-113).
Selain
pertimbangan pasatowan tersebut, ada pula pertimbangan keturunan dan watak.
Dalam Endraswara (2006: 114) juga disebutkan wanita yang akan dijadikan isteri,
perlu dipertimbangkan dari aspek keturunan. Keturunan ini penting, karena dalam
perkawinan kelak akan melahirkan anak yang dapat didambakan. Di samping itu,
memilih isteri juga perlu mempertimbangkan unsure: 1) bobot, memilih wanita
yang asli (keturunan ayah), 2) bebet, ayah wanita yang supudya, banyak harta,
dermawan, 3) bibit, wanita cantik, pandai. Konsep bobot, bebet, bibit tersebut
dipercaya akan memudahkan hubungan suami isteri di masa yang akan datang.
Selain
itu, juga ditentukan watak-watake hari dalam menyelenggarakan pernikahan dan
slametan, yang tentunya watak-watak hari tersebut ada yang baik dan ada yang
buruk. Ada hari yang mampu mendatangkan keuntungan dan ada hari naas
(mendatangkan marabahaya). Khusus bagi orang tua yang akan menikahkan anaknya,
dalam menentukan hari dan pasaran pernikahan dapat menempuh perhitungan
menjumlah hari dan pasaran dan membagi 7.
Perhitungan
nikah diatas menunjukkan bahwa orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan
keselamatan, sehingga pada akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja).
Keberuntungan juga ditandai apabila dalam pernikahan mendapat keturunan yang
baik.
b.
Sistem
Pengobatan
Dalam
tradisi Jawa, sistem pengobatan tradisionalnya mempunyai beberapa karakter yang
khas. Dalam menentukan penyakit, primbon menggunakan perhitungan yang
berdasarkan perhitungan waktu. Perhitungan yang banyak digunakan ialah
perhitungan yang menggunakan dasar perhitungan hari dan pasaran.jumlah neptu
dina lan pasaran saat datangnya penyakit dapat digunakan untuk menentukan (1)
asal penyakit, (2) tingkat penyakit, (3) bagian yang sakit. Sebagai contoh,
asal penyakit ditentukan dengan angka-angka kelipatan tiga sampai sisa terakhir.
Sisa tersebut sebagai penentu asal penyakit yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1)
Sisa satu,
jatuh hitungan tikus, penyakit datang dari dalam rumah. Tebusannya adalah nasi
golong, pecel ayam, dan sayur menir.
2)
Sisa dua, jatuh
hitungan kadal, penyakit berasal dari luar rumah (halaman). Tebusannya adalah
tukon pasar.
3)
Sisa tiga,
jatuh hitungan ular, penyakit datang dari air. Tebusannya adalah jenang baning.
Antara primbon yang satu dengan yang lain kadang-kadang berbeda.
Namun, dari perhitungan-perhitungan itu, dapat ditarik berbagai jenis penyakit,
yaitu: 1) dari Allah, 2) karena perkatannya sendiri yang tidak dipenuhi (ujar),
3) dari jin/setan, dan 4) dari perbuatan jahat orang lain (teluh tarangnyana)
(sutrisno, 1961: 36-37).
Etiologi penyakit menurut primbon ini dapat dikatakan sebagai salah
satu bentuk “diagnose penyakit” yang disesuaikan dengan pandangan dan kondisi
zaman primbon tersebut pertama kali ditulis. Sebagai contoh, etiologi penyakit
dapat ditentukan berdasarkan lenggahipun dinten (tempat duduk hari). Tempat
duduk hari tersebut dapat dilihat dalam table berikut ini:
Nama Hari
|
Tempat duduk penyakit
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
sabtu
|
Telinga
Hidung
Perut
Tulang
Mata
Tungkai
|
Berdasarkan hari dimulainya sakit, maka dapat ditentukan anggota
badan yang memulai sakit atau sebab penyakitnya. Misalnya, bila sakit dimulai
hari Senin, asal penyakit dari telinga. Penyebabnya bias karena mendengar
berita buruk, menahan marah, dan sebagainya yang bersumber dari telinga
(Tjakraningrat, 1983: 23).
Berdasarkan hari dimulainya sakit juga dapat ditentukan tentang
jenis-jenis penyakit sebagaimana diuraikan dalam Kitab Primbon Betaljemur
Adammakna (Tjakraningrat, 1991: 228) yang dibuat table sebagai berikut:
Nama hari
|
Sebab penyakit
|
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
|
Mempunyai nadzar yang belum dilaksanakan
Diguna-gunai oleh orang lain
Diganggu oleh makhluk halus/setan
Terkena tulah dari orang tua
Diganggu makhluk halus yang ada di kolong rumah
Diganggu oleh setan yang berasal dari hutan
Diganggu oleh makhluk halus/setan
|
2.
Masyarakat jawa
kekinian
Menurut
para informan yang kami temui di daerah Lempung Kabupaten Rembang, petungan
memang masih banyak dipakai, tetapi kebanyakan mereka mengungkapkan bahwa
pemakaian primbon saat ini hanya sebagian saja, dalam arti tidak sepenuhnya.
Primbon saat ini masih digunakan ketika masyarakat menghadapi berbagai
aktivitas kehidupannya, seperti perhitungan ketika membangun rumah, mencari
jodoh yang tepat, mencari pekerjaan, perhitungan untuk masa panen padi, dan
pertimbangan pencarian barang yang hilang. Fungsi primbon sendiri bagi mereka
adalah untuk ngelakoni atau menghindari pantangan, untuk membantu diri pribadi
dalam mentukan pilihan, atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Terdapat
sebuah pantangan yang berlaku pada masyarakat rembang khususnya dan masyarakat
Jawa pada umumnya yang berkaitan dengan perhitungan angka. Yaitu diantaranya
adalah: 1) hari pernikahan orang tua dilarang digunakan untuk hari pernikahan
anaknya, 2) dilarang melaksanakan peringatan atau kegiatan yang bertepatan
dengan hari meninggalnya orang tua, 3) dilarang mengadakan peringatan atau
acara apapun pada bulan pertama Sura. Ketiga patokan kehidupan ini bertujuan
agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan dapat selamat dunia dan akhirat,
karena bila sikap masyarakat bertentangan dengan ketiga hal diatas, maka
ditakutkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti rumah tangganya
akan kacau. Masyarakat Jawa saat ini masih banyak yang percaya akan perhitungan-perhitungan
yang menentukan nasib tersebut. Kepercayaan mereka itu dilatarbelakangi
beberapa sebab, yaitu diantaranya untuk mengikuti tradisi yang sudah ada pada
keluarga mereka. Selain itu, jika tidak percaya dan tidak menjalankan
dikhawatirkan nasib orang yang bersangkutan akan celaka kelak di kemudian hari.
Maka dari itu, mereka masih menggunakannya sebagai antisipasi agar tidak
terjadi hal-hal yang buruk.
Sekarang
: petungan tidak begitu dipedulikan, karena orang sekarang lebih percaya pada
logika, terutama anak muda sekarang ini. Mereka baru percaya ketika sudah
kejadian.
C.
Perubahan makna
primbon pada masyarakat jawa
Perubahan merupakan proses yang wajar, alamiah sehingga segala
sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berubah. Perubahan sosial sebagai
“cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami
kehidupan manusia dalam perkaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Perubahan
sosial bukan lagi akibat pembangunan yang sedang gencar dilakukan oleh seperangkat
birokrasi pemerintah, tetapi suatu bentuk perubahan yang benar-benar menjadi
keinginan organisme sosial dalam bentuknya yang wajar (alamiah) (Agus Salim,
2002: 2-10).
Begitu pula yang terjadi pada makna primbon yang ada pada pandangan
masyarakat Jawa sendiri. Masyarakat Jawa kekinian sudah tidak sepenuhnya
menggunakan primbon sebagai landasan mereka dalam menjalani kehidupan.
1.
Factor Penyebab
Perubahan Makna Primbon pada Masyarakat Jawa
Orang Jawa yang masih mengagungkan kebudayaannya tidak pernah meninggalkan
petungan. Pada masa sekarang ini, pada tengah-tengah zaman modern juga masih
banyak orang Jawa yang selalu menggunakan petungan ketika akan menjalankan
acara-acara penting agar pada saat hari pelaksanaannya diberi kelancaran dan
keselamatan. Seperti ketika terdapat keluarga Jawa yang akan menggelar acara
pernikahan. Jika keluarga tersebut termasuk keluarga yang masih kental adat
Jawanya, sebelum menentukan hari pelaksanaan pernikahan, tentu saja diawali
dengan petungan yang sangat njlimet.
Selain itu, yang terkait dengan sistem pengobatan tradisional juga
sedikit tergeser kedudukannya dalam pandangan masyarakat umum. Hal ini
dikarenakan praktik-praktik kedokteran makin berkembang pesat dengan banyak
bermunculannya pusat-pusat layanan kesehatan. Meskipun sistem pengobatan
tersebut masih fungsional bagi masyarakat, tetapi kedudukan sistem pengobatan
tradisional tersebut berada di bawah sistem pengobatan medis, yaitu sebagai
pengobatan alternatif.
Pada intinya, perubahan makna primbon dalam masyarakat Jawa
dilatarbelakangi oleh pengaruh kebudayaan modern yang masuk. Sedangkan kebudayaan
modern tersebut menuntut rasionalitas berpikir. Pengaruh yang lain bersumber
dari ajaran agama yang mempercayai apa yang telah digariskan Tuhan.
2.
Makna primbon
sekarang?
Dalam endraswara (2006: 108) dijelaskan bahwa lepas dari
pro-kontra, kalau kita tak “munafik”, mungkin hamper seluruh masyarakat Jawa
masih senang untuk back to basic. Masih gemar menggunakan budaya tradisi yang
yang disebut horoskop, sebuah perwujudan dari primbon. Apalagi, orang Jawa
deles, tulen tentu sulit lepas dari horoskop. Meskipun mereka tidak njlimet
sekali, tetap teguh dan santun memanfaatkan petungan. Terlebih lagi, ketika
mereka “harus” berhadapan dengan hal luar biasa, termasuk dalam laku mistik.
Primbon pun sekarang dianggap masih fungsional bagi masyarakat.
Meskipun tidak sepenuhnya mereka “tunduk” pada ketentuan-ketentuan yang ada
pada primbon tersebut, namun mereka masih menggunakannya sebagai landasan dalam
mengawali tindakannya. Namun, alasan mereka tetap menjalankan perhitungan
tersebut hanya karena mewarisi apa yang sudah ada pada keluarganya turun
temurun, sehingga mereka sendiri terkadang tidak tahu makna dibalik dilakukan
perhitungan tersebut. Sedangkan alasan lain adalah perhitungan ini hanya
dipakai sebagai bahan pertimbangan baik tidaknya tindakan yang akan dijalani.
Maka dari itu, daripada mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, masyarakat pun
terutama masyarakat Jawa tetap menggunakan dan mematuhi perhitungan, agar
selalu diberi keselamatan dan agar kehidupannya selaras baik dengan alam
lingkungan maupun alam adi kodrati.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta:
Cakrawala
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi
Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana
Wasino. 2007. Pandangan Hidup Orang Jawa di Era Global.
Bahan Diskusi dalam Seminar Kebudayaan Nasional: Dinamika Sos&Ant Terpadu,
Himpro Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Semarang
Subalidinata, R.S. 1985. “Primbon dalam Kehidupan Masyarakat
Jawa”. Dalam soedarsono dkk. (Editor). Aksara dan Ramalan Nasib dalam
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Nusantara(Javanologi), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sutrisno, Eddy T. 1961. Primbon Djawi Adji Wara. Surakarta:
Mas
Koentjaranignrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa (The Religion of Java). Jakarta: Pustaka Jaya