Daftar Blog Saya

Selasa, 22 Mei 2012

TEORI SOSIAL POSTMODERN

Teori sosial postmodern lahir dari para pemikir aliran postmodernisme. Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalan memenuhi janji-janjinya. Pemikir postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia, metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern, seperti: emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman pribadi, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik (Ritzer, 2006: 19).
Banyak tokoh-tokoh postmodernisme yang sering diperbincangkan dalam kancah teori sosial karena karyanya yang unik dan menghebohkan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Jacques Derrida (Gramatologi dan Utusan), Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Skizoanalisis), Jacques Lacan (Imaginer, Simbolik, Nyata), Paul Virilio (Dramologi), Ulrich Beck (Modernitas dan Resiko), Jurgen Habermas (Modernitas: Proyek Yang Tak Selesai), Daniel Bell (Masyarakat Post-Industri), Fredric Jameson (Logika Kultural Kapitalisme Akhir), dan Anthony Giddens (Lokomotif Modernitas dan Teori Strukturasi)
a. Michael Foucault: Kekuasaan dan Wacana
Perhatian Faucault (1926-1984) terpusat pada bagaimana pengetahuan dihasilkan dan digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan wacana terkait dengan pengetahuan. Radikalisme Faucault adalah bagian dari apa yang disebut kecenderungan posmodern dalam sosiologi, yaitu penolakan atas teori besar (metanarasi) tentang masyarakat dan sejarah.
Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan
b. Jean Baudrillard: Simulacra
Menurut Baudrillard, masyarakat itu tidak ada. Jika ada, ia sepenuhnya tersusun dari tanda-tanda atau simulasi (yang juga diistilahkan dengan simulacra) karena kita hidup dalam jenis masyarakat pascaindustri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa komunikasi televisual dan tanda-tandanya telah begitu mendominasi realitas global sehingga orang-orang sangat kesulitan untuk memutuskan mana kenyataan sebenarnya.
Baudillard berpandangan bahwa apa disebut realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana yang secara cepat dan keras menggantikan pengalaman manusia dan realitas. Iklan adalah salah satu kendaraan utama simulasi ini. Simulasi juga cenderung memikirkan hidup untuk mereka sendiri, melebih-lebihkan kenyataan atas sesuatu
c. Jean Francois Lyotard: Narasi Besar
Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita tentang sejarah dan masyarakat yang diungkap oleh Marxisme dan ahli lain, harus diabaikan dalam dunia postmodern, majemuk, dan polivokal ini. Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia itu sendiri pada tingkat kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal.

PENUTUP
Teori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga/pelaku sosial pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan antara teori-teori besar (grand theory) dan teori yang cakupannya tidak seluas itu.
Sosiologi dalam dunia praksis tidak hanya meneliti masalah sosial untuk membangun proposisi dan teori tetapi sosiologi bukanlah seperangkat doktrin yang kaku dan selalu menekan apa yang seharusnya terjadi tetapi sebagai sudut pandang atau ilmu atau ilmu yang selalu mencoba “mengupas” realitas guna mengungkap fakta realitas yang tersembunyi dibalik realitas yang tampak.
Untuk selalu membedah dan mengembangkan teori sosiologi, seorang pengamat sosial atau sosiolog dituntut selalu tidak percaya pada apa yang tampak sekilas dan selalu mencoba menguak serta membongkar apa yang tersembunyi (laten) di balik realitas nyata (manifes) karena sosiologi berpendapat bahwa dunia bukanlah sebagaimana yang tampak tetapi dunia yang sesungguhnya baru bisa dipahami jika dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan.

sumber :
http://pensa-sb.info/teori-sosiologi/

Jumat, 18 Mei 2012

Proposal Skripsi


KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
 

PROPOSAL SKRIPSI
Nama             : Arif Mokhammad Yusuf
NIM              : 3501408078
Prodi              : Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Jurusan          : Sosiologi dan Antropologi
I.          JUDUL
“KAJIAN FENOMENOLOGI MENGENAI UPAYA PELESTARIAN BATIK BATANG SEBAGAI WARISAN BUDAYA MASYARAKAT”
II.            LATAR BELAKANG
Kabupaten Batang merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang resmi dinyatakan sebagai Kabupaten yang berdiri sendiri dengan segala bentuk administratif kepemerintahannya sejak tanggal 8 April 1966. Kabupaten Batang berada dalam lingkup wilayah Karesidenan Pekalongan dan lokasinya juga berbatasan langsung dengan Kabupaten dan kota Pekalongan, oleh karena itu kultur kehidupan masyarakat Batang hampir sama dengan kultur kehidupan masyarakat Pekalongan dalam hal logat bahasa, makanan khas, kesenian, maupun religi dan kepercayaannya.
Kabupaten Batang secara geografis berada di wilayah pesisir utara bagian barat Jawa Tengah, oleh karena itu masyarakat Batang dalam pembagian bentang kebudayaan masyarakat Jawa digolongkan sebagai masyarakat Jawa pesisiran. Daerah-daerah di wilayah pesisir utara bagian barat Jawa Tengah dahulunya adalah daerah-daerah kota pelabuhan yang merupakan tempat menepinya kapal-kapal dagang yang datang dan membawa pengaruh-pengaruh kebudayaan asing masuk ke pulau Jawa, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bahwa kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Batang adalah kebudayaan-kebudayaan pesisiran yang mendapatkan pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk ke daerah Batang.
Kabupaten Batang secara umum memang berada di wilayah pesisiran, akan tetapi  Kabupaten Batang juga mempunyai topografi daerah yang berupa dataran rendah dan pegunungan. Kebudayaan yang berkembang di daerah pegunungan jelas berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di daerah dataran rendah ataupun di daerah pesisiran. Daerah pegunungan memiliki kondisi geografis dan potensi-potensi alam yang berbeda dengan daerah dataran rendah ataupun pesisiran, oleh karena itu masyarakat yang hidup di daerah pegunungan pun akan cenderung memiliki pola hidup dan cara mengembangkan diri yang berbeda dengan masyarakat yang hidup di daerah dataran rendah ataupun di daerah pesisiran. Van Peursen (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 259)  mengungkapkan bahwa kebudayaan dartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat),  kerja (ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.
Tiga bentuk topografi daerah dengan pola hidup serta kebudayaan yang berbeda dari masing-masing masyarakat yang tinggal di daerah tersebut merujuk kepada keberagaman budaya yang ada di daerah Batang. Keberagaman budaya yang ada di daerah Batang menjadi potensi daerah yang memberikan ciri khas tersendiri bagi masyarakat Batang. Salah satu potensi daerah yang merupakan ciri khas dan menjadi bagian dari hasil kebudayaan masyarakat Batang adalah kerajinan batik Batang. Batik Batang biasanya dikenal juga dengan sebutan Batik Batangan. Batik Batang adalah batik dengan motif asli yang berasal dari daerah Batang. Batik Batang sebagai warisan budaya nenek moyang masyarakat Batang telah diproduksi di wilayah alas roban sejak zaman pemerintahan Sultan Agung pada sekitar tahun 1613-1645 M (www.KhasanahBatikPekalongan.com).
Batik Batang memiliki corak dan motif  yang khas dan berbeda dengan corak dan motif  batik yang berasal dari daerah-daerah lainnya. Corak dan motif pada Batik Batang merupakan suatu bentuk representasi dari nilai-nilai seni budaya yang dimiliki oleh masyarakat Batang, oleh karena itu batik Batang juga menjadi salah satu simbol kepribadian dan identitas kebudayaan dari masyarakat Batang. Perbedaan corak dan motif batik Batang dengan corak dan motif batik dari daerah-daerah lainnya berkaitan juga dengan adanya perbedaan nilai-nilai budaya serta perbedaan kearifan lokal yang berkembang di daerah Batang dan di daerah-daerah asal motif  batik yang berbeda tersebut. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus, sehingga suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan yang lain (Koentjaraningrat, 1990 : 263).
Motif batik Sogan Ireng-irengan adalah salah satu jenis dari motif batik Batang. Batik motif sogan digunakan dalam lambang pemerintah Kabupaten Batang untuk menunjukkan bahwa seni kerajinan batik di Kabupaten Batang adalah seni kerajinan rakyat yang sudah mendarah daging dan diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat Batang. Batik Sogan dalam lambang pemerintah Kabupaten Batang juga mengandung makna bahwa rakyat Batang memelihara kebudayaan bangsa serta kebudayaan daerah yang berkepribadian (http://www.batangkab.go.id).
Batik sebagai suatu bentuk ekspresi seni budaya yang mempunyai makna filosofis di dalam setiap corak dan motifnya merupakan warisan kekayaan budaya daerah yang masih dijaga dan dipertahankan kelestariannya di Negara Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berisi tentang aturan untuk memakai seragam batik di lingkungan pendidikan dan di lembaga-lembaga kepemerintahan merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk tetap menjaga kelestarian batik di Indonesia. Pada tahun 2009, batik Indonesia mendapatkan pengakuan oleh UNESCO dan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee) tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi (Husamah, 2009: 01).
Batik Batang belum begitu dikenal oleh masyarakat umum meskipun batik Batang memiliki motif dan kualitas yang tidak kalah dengan batik-batik yang berasal dari daerah-daerah lainnya. Batik Batang bahkan belum begitu dikenal oleh sebagian masyarakat Batang meskipun batik Batang merupakan warisan kebudayaan dari nenek moyang masyarakat Batang itu sendiri. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian Batik Batang tentu dapat menjadi acuan untuk mengetahui mengapa Batik batang kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Pemahaman masyarakat Batang mengenai peranan serta arti pentingnya batik Batang bagi masyarakat Batang akan berpengaruh juga terhadap upaya-upaya pelestarian Batik Batang tersebut. Masyarakat Batang yang mempunyai pemahaman mengenai arti penting batik Batang sebagai warisan kekayaan budaya masyarakat Batang tentu akan lebih terdorong untuk memiliki rasa tanggung jawab dalam mengupayakan kelestarian batik Batang.
Batik-batik yang berasal dari daerah Pekalongan, Solo, maupun Jogjakarta cenderung lebih dikenal oleh masyarakat daripada batik-batik yang berasal dari daerah Batang. Batik-batik yang berasal dari daerah Solo dan Jogjakarta terkenal karena daerah Solo dan Jogjakarta adalah daerah keraton yang merupakan tempat dimana awal mula budaya batik mulai berkembang di Indonesia. Masyarakat juga cenderung mengenal batik-batik yang berasal dari daerah Pekalongan karena daerah Pekalongan adalah daerah yang sudah lama dikenal sebagai kota Batik. Letak Kabupaten Batang yang berada tepat di sebelah timur daerah Pekalongan dan dengan lebih superiornya batik Pekalongan dibandingkan dengan batik Batang kemungkinan turut menjadi alasan mengapa Batik Batang belum begitu dikenal oleh masyarakat umum.
Pembahasan diatas memberikan dorongan kepada penulis untuk lebih mengetahui tentang upaya-upaya pelestarian Batik Batang sebagai warisan kebudayaan masyarakat Batang. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mengangkat Judul “KAJIAN FENOMENOLOGI MENGENAI PELESTARIAN BATIK BATANG SEBAGAI WARISAN BUDAYA MASYARAKAT” dalam penelitian skripsinya agar penulis dapat melihat lebih dalam mengenai pelestarian batik Batang.
III.            RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, disusunlah rumusan permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk melestarikan batik Batang?
2.      Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat upaya pelestarian batik Batang?
3.      Apa saja solusi-solusi yang dilakukan terhadap faktor penghambat dalam upaya pelestarian batik Batang?
IV.            TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan fokus permasalahan penelitian di atas, maka penelitian ini dilaksankan dengan tujuan untuk :
1.      Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk melestarikan batik Batang.
2.      Mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat upaya pelestarian batik Batang.
3.      Mengetahui solusi-solusi yang dilakukan terhadap faktor penghambat dalam upaya pelestarian batik Batang.
V.          MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.         Manfaat teoritis
a.         Menambah khasanah keilmuan mengenai upaya pelestarian warisan budaya dari sudut pandang ilmu sosial.
b.         Memperkaya wawasan dalam khasanah ilmu sosial budaya.
c.         Sebagai bahan referensi dan acuan serta bahan tinjauan bagi para pembaca atau para peneliti berikutnya.
2.         Manfaat praktis
a.       Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi informasi yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dan evaluasi bagi Pemerintah Kabupaten Batang dalam upaya pelestarian batik Batang sebagai warisan budaya nenek moyang masyarakat Batang.
b.         Bagi masyarakat pemerhati batik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan kepada masyarakat pemerhati batik mengenai upaya pelestarian batik Batang, sehingga diharapkan masyarakat juga dapat lebih memahami arti pentingnya batik Batang sebagai warisan budaya nenek moyang masyarakat Batang yang perlu dilestarikan. Masyarakat yang memahami arti penting keberadaan batik Batang diharapkan dapat berpartisipasi pula dalam upaya pelestarian batik Batang tersebut.
VI.       PENEGASAN ISTILAH
Penegasan istilah dimasudkan agar ada kesamaan pemahaman terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian “Kajian Pelestarian Batik Batang Sebagai Warisan Kebudayaan Masyarakat”. Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Upaya Pelestarian Batik Batang
Kata upaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000 : 1250) mempunyai arti sebagai usaha menyampaikan sesuatu maksud, akal, dan ikhtiar, sedangkan kata pelestarian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002 : 665) berasal dari kata lestari yang berarti kekal selama-lamanya. Pelestarian adalah perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan. Upaya pelestarian merupakan usaha yang dilakukan untuk melindungi dari kemusnahan dan mempertahankan keberadaan agar tetap mampu berkembang di tengah-tengah masyarakat. Upaya pelestarian batik Batang dapat diartikan sebagai usaha mempertahankan keberadaan batik Batik Batang agar tetap mampu berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Kata batik berasal dari Bahasa Jawa amba yang berarti menulis atau menggambar dan titik atau nitik yang berarti membuat titik-titik. Batik atau kain batik dapat diartikan sebagai seni gambar diatas kain menggunakan malam atau lilin untuk menahan warna dengan berbagai corak dan warna tertentu (Muslimah, 2010: 2-3). Batik dalam anggapan umum adalah sebentuk kain yang memiliki motif-motif tertentu, yang mana motif-motif tersebut telah digunakan beratus-ratus tahun (mentradisi) pada sebuah wastra atau kain yang bermotif (Kusumaningtyas, 2009:111).
Batik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah batik Batang. Batik Batang adalah batik yang berasal dari daerah Batang dan merupakan warisan budaya dari nenek moyang masyarakat Batang.
2.      Warisan Budaya
Cultur heritage dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai warisan budaya, peninggalan budaya, atau tinggalan budaya. Warisan budaya dapat didefinisikan sebagai perangkat-perangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya dari kolektivitas pemilik simbol tersebut (Kusumaningtyas, 2009: 61). General Conference UNESCO yang dilaksanakan pada tanggal 16 November 1972 mendefinisikan warisan budaya sebagai “Warisan dari masa lampau, yang kita nikmati saat ini dan akan kita teruskan kepada generasi yang akan datang” (Kusumaningtyas,  2009: 63).
Djojodigoena (dalam Husamah, 2009: 36) menyatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalaman lahir dan batin. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi sangkan paran, yakni dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan kemana manusia sesudah mati (paran). Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak sesuatu yang buruk. Buah perkembangan rasa terjelma dalam berbagai bentuk norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesenian.
Warisan budaya yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah batik Batang yang merupakan warisan budaya dari nenek moyang masyarakat Batang.

3.      Masyarakat Batang
Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang besifat kontinyu dan yang terkait oleh identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990: 146). Mayarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah masyarakat Batang. Masyarakat Batang merupakan masyarakat yang hidup di daerah Batang. Masyarakat Batang dalam bentang kebudayaan masyarakat Jawa digolongkan sebagai masyarakat Jawa pesisiran karena lokasi Kabupaten Batang berada di pesisir utara pulau Jawa.
Nama Batang sudah dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit sebagai suatu kota pelabuhan. Nama Batang berasal dari kata Bata-An. Bata berarti batu, dan An berarti satu atau pertama. Batang telah dikenal sejak orang-orang Tionghoa banyak berguru agama Budha ke Sriwijaya. Batang dikenal dengan nama Batan sebagai kota pelabuhan yang sejaman dengan Pemaleng (Pemalang) dan Tema (Demak) (http://www.batangkab.go.id)
VII.    TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai upaya-upaya pelestarian budaya telah dilakukan oleh beberapa pihak. Hasil-hasil dari peneltian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan-bahan referensi untuk tinjauan dalam berbagai kajian.
Penelitian Juliani (2010) yang mengkaji tentang “Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Brongan di Tengah Perkembangan Kesenian Modern di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora Kabupaten Blora” menjelaskan bahwa Kesenian Tradisonal Barongan merupakan kesenian rakyat yang sangat terkenal dikalangan masyrakat Blora, terutama masyarakat di daerah pedesaan. Paguyuban Kesenian Tradisonal Barongan di desa Kunden dapat bertahan di tengah perkembangan kesenian modern karena mempunyai beberapa faktor pendukung dalam upaya pelestariannya.
Para seniman dalam upaya pelestarian kesenian tradisonal Barongan di desa Kunden melakukan peningkatan kualitas penampilan dan menyuguhkan beberapa adegan serta atraksi-atraksi baru, menambahkan alat-alat musik modern dan lagu-lagu baru yang sesuai dengan permintaan penonton dalam pementasan tanpa mengurangi unsur tradisional di dalamnya. Para seniman tesebut juga menambah frekuensi pertunjukkan, menjaga kondisi dan kestabilan para pemain, mendisiplinkan anggota-anggota grup kesenian dan memperluas jangkauan wilayah pertunjukkan.
Pemerintah Kabupaten Blora memberikan perhatian khusus dalam upaya pelestarian kesenian tradisonal Barongan dengan mengadakan deklarasi kesenian tradisional barongan dan menyertakan kesenian tradisional ke dalam Parade Seni Budaya Jawa Tengah. Masyarakat yang menjadi pendukung dalam upaya pelestarian kesenian Barongan juga menunjukkan peranannya dengan mengedarkan rekaman pertunjukkan yang berupa kaset CD yang dijual di lapak-lapak sekitar pasar.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian kesenian tradisonal Barongan diharapkan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat memiliki rasa tanggung jawab dan mengambil pembelajaran serta memahami arti penting dari kesenian tradisonal Barongan. Seniman diharapkan tetap professional dan selalu melestarikan kesenian Barongan sebagai kesenian tradisional yang tidak kalah populer dengan kesenian modern.
Setiana (2010) dalam “Kajian Foklor tentang Pelestarian Tradisi Macapat di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat” menuturkan bahwa kesenian macapat merupakan warisan budaya yang adiluhung. Kesenian macapat sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di tanah Jawa dan menjadi sebuah foklor atau tradisi masyarakat. Pada era globalisasi kesenian macapat meredup karena anak-anak muda lebih menyukai kesenian modern daripada kesenian tradisional.
Masyarakat kurang mengetahui tentang macapat dan hanya lebih mengenal macapat dalam bentuk campursari. Masyarakat kurang mengetahui macapat karena kesenian macapat sudah jarang ada dan sudah sedikit juga orang yang bisa mengajarkan kesenian macapat, oleh karena itu kesenian macapat perlu dilestarikan karena kesenian macapat sudah berada diambang kepunahan.
Pelestarian kesenian macapat tidak lepas dari unsur-unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Unsur-unsur yang paling berpengaruh dalam pelestarian kesenian macapat antara lain adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, media massa dan masyarakat. Proses pelestarian kesenian macapat dilakukan dengan diadakannya perlombaan-perlombaan kesenian macapat. Pelestarian kesenian macapat juga dilakukan dengan kaderisasi, penggunaan macapat dalam kehidupan sehari-hari dan menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berwenang.
Kaderisasi terhadap kesenian macapat dilakukan dengan mengajarkan kesenian macapat di tingkat pendidikan. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat melakukan pelestarian kesenian macapat dengan mendirikan sanggar KHP Krida Mardawa sebagai tempat untuk pembelajaran macapat. Kraton mengadakan pementasan kesenian macapat pada setiap hari jum’at dan selalu memasukkan macapat ke dalam setiap agenda acara resmi keraton.
Kajian Fenomenologi Mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang Sebagai Warisan Budaya Masyarakat merupakan kajian yang dilatar-belakangi oleh permasalahan mengenai belum begitu dikenalnya batik Batang oleh masyarakat umum, bahkan oleh sebagian masyarakat Batang sendiri. Penelitian ini akan berusaha untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Teori fungsionalisme struktural dalam penelitian ini digunakan untuk melakukan analisis terhadap upaya-upaya pelestarian batik Batang, faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam upaya pelestarian batik Batang, serta solusi-solusi yang dilakukan terhadap faktor penghambat dalam upaya pelestarian batik Batang tersebut.
VIII.  LANDASAN TEORI
Dalam Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat, peneliti melakukan analisis dengan menggunakan teori Fungsionalisme Struktural dari Talcott Parson.
Upaya pelestarian batik Batang dalam teori fungsionalisme struktural dapat dikatakan sebagai suatu sistem tindakan sosial. Parson mengemukakan bahwa fungsionalisme struktural dimulai dengan empat fugsi penting untuk semua sistem tindakan yang dikenal dengan sebutan sistem AGIL. Empat fungsi penting sistem tersebut adalah adaptation atau adaptasi (A), dimana sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar dan harus beradaptasi dengan lingkungan serta menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Goal attaiment atau pencapaian tujuan (G), sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Integration atau integrasi (I), sistem harus mengatur hubungan dengan bagian yang menjadi komponennya. Latensi atau pemeliharaan pola (L), sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mepertahankan motifasi tersebut (Ritzer dan Goodman, 2008: 257).
Parsons dalam analisis sistem sosial tertarik pada komponen-komponen struktural. Parson memperhatikan masalah tentang status peran dan juga komponen sistem sosial skala besar seperti kolektivitas, norma, dan nilai. Parson dalam analisis sistem sosial tidak sekedar seorang strukturalis tetapi seorang fungsionalis yang menguraikan sejumlah persyaratan fungsional bagi sistem sosial. Pertama, sistem sosial harus terstruktur sedemikian rupa sehingga dapat beroperasi secara baik dengan sistem lain. Kedua, agar dapat bertahan hidup, sistem sosial harus dapat didukung sebelumnya oleh sistem lain. Ketiga, sistem harus secara signifikan memenuhi proporsi kebutuhan aktor-aktornya. Keempat, sistem harus menimbulkan partisipasi yang memadai dari anggotanya. Kelima, sistem paling tidak harus memiliki kontrol minimun terhadap perilaku yang berpotensi merusak. Keenam, jika konflik menjadi sesuatu yang menmbulkan kerusakan yang signifikan harus dikontrol. Ketujuh, untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memeurlukan bahasa (Ritzer dan Goodman, 2008: 260).
Inti utama pemikiran Parson yaitu: (1) Tindakan diarahkan untuk mencapai tujuan. (2) Tindakan terjadi dalam suatu situasi, dimana beberapa elemennya sudah pasti, sedang elemen-elemen yang lain digunakan oleh yang bertindak itu sebagai alat menuju tujuan itu. (3) Secara normatif, tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. (4) Tindakan dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental. Kompenen-komponen dasar dari satuan tindakan adalah: tujuan (goal), alat dan kondisi, nilai, norma, ide-ide, dan aktor (Salim, 2007: 120).
Parsons mengungkapkan bahwa masyarakat agar dapat tetap eksis dalam mempertahankan keberadaannya harus dapat melakukan fungsi-fungsi atau memenuhi kebutuahan-kebutuhan sebagai sebuah sistem (Salim, 2007: 122). Teori Fungsionalisme Struktural yang digunakan dalam Kajian mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya ini diharapkan dapat digunakan untuk menganalisa serta menjawab permasalahan yang ada dalam upaya-upaya pelestarian Batik Batang sebagai warisan budaya masyarakat Batang.
IX.      
MASYARAKAT
BATANG
 
KERANGKA BERPIKIR
 







Gambar 1. Kerangka berfikir Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat
Kerangka berfikir tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Masyarakat Batang adalah masyarakat yang hidup di daerah Batang. Salah satu potensi daerah yang menjadi ciri khas dan merupakan hasil dari kebudayaan masyarakat Batang adalah kerajinan batik Batang. Batik Batang sebagai warisan kekayaan budaya nenek moyang masyarakat Batang belum begitu dikenal oleh masyarakat umum, bahkan oleh sebagian masyarakat Batang sendiri. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian Batik Batang menjadi acuan untuk mengetahui mengapa Batik batang kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Upaya-upaya pelestarian batik Batang mempunyai faktor-faktor pendukung dan penghambat. Solusi terhadap faktor-faktor penghambat upaya pelestarian batik Batang akan berpengaruh pula terhadap upaya pelestarian batik Batang.
X.       METODE PENELITIAN
1.      Pendekatan Penelitian
Penelitian dalam Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data deskriptif yang menggambarkan upaya-upaya pelestarian Batik Batang dengan melihat makna, fenomena serta kendala-kendala yang menyertainya.
Asumsi dasar pendekatan fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari pandangan moral, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis dan membuat kesimpulan. Fenomenologi berusaha untuk mengungkapkan suatu fenomena sosial dan kaitan-kaitannya dengan orang-orang dalam situasi tertentu. Fenomenologi dalam Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat digunakan untuk mengungkapkan upaya pelestarian batik Batang dengan melihat fenomena mengenai pandangan terhadap batik Batang.
Fenomenologi memfokuskan diri dan mengeksplorasi pengalaman akan kesadaran manusia. Edward (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 81), menjelaskan bahwa fenomenologi sering disebut juga sebagai metode pemberian tanda kurung (bracketing) dengan ide membuka persepsi yang murni lepas dari common sense atau akal sehat. Fenomenologi memandang tingkah laku manusia, tentang apa yang informan katakan dan apa yang diperbuat sebagai hasil dari bagaimana menafsirkannya.
Pendekatan fenomenologi memperhatikan emik dan etik. Sudut pandang emik merupakan sudut pandang yang berasal dari kacamata masyarakat yang diteliti, sedangkan sudut pandang etik adalah sudut pandang dari kacamata peneliti. Penelitian dengan pendekatan fenomenologi merupakan penelitian yang menggunakan kaidah-kaidah umum dan universal dengan tanpa mengabaikan pandangan-pandangan atau pemaknaan-pemaknaan dari masyarakat yang diteliti. Pendekatan fenomenologi menuntut pendekatan holistik dengan bersatunya subjek peneliti dan subjek pendukung objek lapangan, menghayati kasus, serta melibatkan peneliti dalam kasus lapangannya. Fenomenologi mencakup kasus dengan berbagai fenomena sosial dalam masyarakat dan berlandaskan rasionalisme.
Fenomenologi mendudukkan objek penelitian dalam suatu konstruksi ganda dan melihat objek dalam konteks natural, sehingga pendekatan fenomenologi dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui deskripsi mengenai upaya-upaya pelestrian batik Batang, faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat dalam upaya pelestarian batik Batang, serta solusi-solusi yang dilakukan terhadap faktor-faktor penghambat upaya pelestarian batik Batang.
2.      Fokus penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah upaya pelestarian batik Batang, faktor-faktor yang mendukung dan menghambat upaya pelestarian batik Batang, serta solusi-solusi terhadap faktor-faktor penghambat upaya pelestarian batik Batang. Indikator dalam penelitian ini meliputi : gambaran umum lokasi penelitian, gambaran umum mengenai batik Batang, pandangan dan alasan mengapa batik Batang kurang begitu dikenal oleh sebagian masyarakat Batang sendiri, upaya pelestarian batik Batang, faktor-faktor pendukung dan penghambat upaya pelestarian batik Batang, serta solusi terhadap faktor-faktor penghambat upaya pelestarian batik Batang.

3.      Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah pusat-pusat kerajinan batik Batang yang berada di Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Lokasi tersebut dipilih karena terdapat pihak-pihak yang berperan dalam upaya pelestarian batik Batang, sehingga memungkinkan peneliti untuk dapat memperoleh informasi yang lengkap dan sesuai.
4.      Sumber data penelitian
Sugiyono (2010: 62-63) mengungkapakan bahwa pengumpulan data penelitian dapat dilakukan dan diperoleh dari berbagai sumber;
a.       Sumber Primer
Sumber Primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah keterangan atau data yang diperoleh dari semua pihak yang terkait dan turut berperan serta dalam upaya pelestarian batik Batang. Sumber primer dalam penelitian ini antara lain para pengrajin batik Batang, pemasar batik Batang, pemerintah Kabupaten Batang serta masyarakat Batang yang turut berperan dalam upaya pelestarian batik Batang.
b.      Sumber Sekunder
Sumber Sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Pengumpulan data dapat diperoleh melalui sumber-sumber seperti dokumen, foto, data jumlah penduduk dan data geografis.
5.      Teknik pengumpulan data
a.       Teknik Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap subjek penelitian dimana sehari-hari berada dan biasa melakukan aktifitasnya. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi ujung tombak kegiatan observasi yang dilaksanakan, seperti pemanfaatan tape recorder dan handy camera (Satori dan Komariah, 2011: 90-128).
Unsur observasi menurut Spradley (dalam Satori dan Komariah, 2011: 111) adalah sebagai berikut:
1)      Ruang (tempat) dalam aspek fisiknya.
2)      Pelaku, yaitu semua orang yang terlibat dalam situasi.
3)       Kegiatan, yaitu apa yang dilakukan orang pada situasi itu.
4)      Objek, yaitu benda-benda yang terdapat ditemapat itu.
5)      Perbuatan, tindakan-tindakan tertentu.
6)      Kejadian atau peristiwa, yaitu rangkaian kegiatan.
7)      Waktu, urutan kegiatan.
8)      Tujuan, apa yang ingin dicapai dan makna perbuatan.
9)      Perasaan, emosi yang dirasakan dan dinyatakan.
b.         Teknik Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya-jawab, sehingga dapat terkonstruksi makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2010: 72).
Tujuh langkah dalam penggunaan teknik wawancara, yaitu:
1)      Menetapkan kepada siapa wawancara itu dilakukan.
2)      Menyiapkan pokok masalah yang akan dibicarakan.
3)      Mengawali atau membuka alur wawancara.
4)      Melangsungkan alur wawancara.
5)      Mengkonfirmasi ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya.
6)      Menuliskan hasil wawancara ke dalam cacatan lapangan.
7)      Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara.
6.      Validitas Data
Uji validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada sekaligus menguji kredibilitas data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu (Sugiyono, 2010:126). Teknik triangulasi dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada triangulasi sumber. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang lebih diperoleh melalui beberapa sumber.  
7.      Model Analisis Data
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif akan berusaha mendeskripsikan data atau kejadian dengan kalimat-kalimat penjelas secara kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis dengan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
a.       Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data untuk menarik kesimpulan dan verifikasi.
b.      Penyajian data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, Penyajian data dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih dan dengan mudah ditarik kesimpulan.
c.       Verifikasi
Penarikan kesimpulan atau verifikasi mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan data dan metode pencarian ulang yang digunakan. Makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohan dan kecocokan yang merupakan validitasnya.
XI.     SISTEMATIKA SKRIPSI
Skripsi ini berjudul “Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat”. Skripsi ini dikelompokan ke dalam V Bab untuk memperoleh gambaran dan memudahkan pembahasan dengan sistematika berikut :
Bagian awal skripsi tentang halaman sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan,pernyataan motto dan persembahan, prakata, sari, daftar isi, daftar singkat teknis dan tanda (bila ada), daftar tabel (bila ada), daftar gambar (bila ada), serta daftar lampiran. Bagian pokok terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan batasan istilah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BEPIKIR
Tinjauan pustaka berisi tentang kajian pustaka yang berhubungan dengan Kajian Fenomenologi mengenai Upaya Pelestarian Batik Batang sebagai Warisan Budaya Masyarakat dan kerangka teorinya berisi teori fungsionalisme struktural yang mendukung pemecahan masalah penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Menguraikan tentang dasar penelitian, lokasi penelitian, tahap-tahap penelitian, fokus penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, validitas data penelitian dan model analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang pelaporan hasil penelitian yaitu gambaran umum lokasi penelitian (kondisi geografis, administrasi, pendidikan, kehidupan beragama dan mata pencaharian) dan pembahasannya mengkaitkan dengan kerangka teori atau penelitian yang dilakukan sebelumnya.
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran.











DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Biki, Pipit Tanjung. 2009. Sejarah Perkembangan Kerajinan Batik Di Tinjau Dari Sosial Budaya Di Kabupaten Batang Tahun 1968-1973. Semarang : Unnes
Husamah. 2009. Mengusung Kembali Khazanah Identitas Budaya Bangsa. http://ejournal.umm.ac.id/100-109-1-PB.doc. Di Unduh pada (24/02/2012).
Juliani, Galih Esti. 2010. Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Brongan di Tengah Perkembangan Kesenian Modern di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora Kabupaten Blora.  Skripsi. Semarang : Pend. Sos-Ant. Unnes.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Kusumaningtyas, Rindia Fanny. 2009. Perlindungan Hak Cipta atas Motif Batik sebagai Warisan Budaya Bangsa (Studi terhadap Karya Seni Batik Tradisional Kraton Surakarta). Tesis. Semarang: Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP. (pdf). Di Unduh pada (24/02/2012).
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Posrmodern. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Salim, Agus. 2007. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Semarang : Universitas Negeri Semarang Press.
Satori, Djam’an dan Aan komariah. 2011. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Setiana, Erwan. 2010. Kajian Foklor tentang Pelestarian Tradisi Macapat di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Skripsi. Semarang : Pend. Sos-Ant. Unnes.
Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : ALFABETA.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Jogjakarta: Kasinius.
              , 2010. Batik Batang dalam Khasanah Batik Indonesia. www.KhasanahBatikPekalongan.com/menu.php.htm/ (di unduh pada 25/02/2012).
             , ______. Sejarah Batang. http://www.batangkab.go.id/index. php?nav=com_menu&id=2 (di unduh pada 23/02/2012).